TERASLAMPUNG.COM — Kocok bekem merupakan istilah permainan proyek bernilai besar tanpa lelang atau tender. Tahu-tahu pemenang proyek sudah muncul, lalu mengerjakan proyek. Di dunia politik dan ketatanegaraan, ternyata kocok bekem juga terjadi. Ialah ketika Patrialis Akbar — ketika itu eks-politisi PAN dan mantan Menteri Hukum dan HAM — dipilih sebagai hakim Mahkamah Konstitusi tanpa melalui proses uji kepatutan dan kelayakakan.
“Patrialis Akbar menjadi hakim MK tanpa lewat proses seleksi. Ia dipilih Presiden SBY (ketika itu),” kata mantan hakim MK, Mahfudh MD, Kamis (26/1/2017).
Patrialis beruntung karena ia termasuk orang kepercayaan Presiden SBY. Meski dicopot dari jabatannya sebagai Menteri Hukum dan HAM lalu dilukir sebagai salah satu komisaris BUMN, ia kemudian dipilih SBY sebagai hakim MK. Ketika itu tidak ada yang protes, meskipun mungkin banyak pihak yang ngomel di belakang.
Media tempo.co mereview: Penunjukan Patrialis Akbar sebagai hakim Mahkamah Konstitusi periode 2013-2018 pada Juli 2013 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menimbulkan kontroversi. Kala itu, aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho, menilai pengangkatan Patrialis tidak transparan.
“Apalagi tidak melalui uji seleksi di Dewan Perwakilan Rakyat,” ujar Emerson Yuntho, anggota Badan Pekerja ICW kala itu, 31 Juli 2013.
Kala itu pemerintahan SBY berkukuh melanjutkan penunjukan politikus PAN itu. Menko Polkam Djoko Suyanto kala itu menegaskan,”Ini wakil pemerintah di Mahkamah Konstitusi, maka hak pemerintah menentukan.”
Produk hakim MK model kocok bekem seperti ini, menurut Mahfudh MD, yang membuat kredibilitas MK sebagai lembaga tinggi hukum dalam kondisi seperti sekarang. Sebab itu, Mahfudh mengusulkan agar segera dibenahi.
“Seharusnya pemilihan hakim MK jangan lewat keputusan politik (di DPR) dan bersifat tertutup. Semua harus terbuka dan transparan. Kalau di DPR, maka itu menjadi keputusan politik sehingga yang dipilih adalah kawan-kawan mereka,” kata Mahfud MD.