Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila
Saat membaca umpan balik dari artikel yang terbit dan dikirimkan ke beberapa teman, ada seorang sohib lama yang dulu pernah menjadi guru salah satu SLTA terkenal di kota ini dan kemudian menapaki karier di pemerintahan, memberikan masukan bagaimana melihat fenomena pejabat yang tidak bangga dengan jabatannya. Bhkan lebih senang merangkap “jabatan hobi” seperti pencinta burung berkicau dan atau lainnya. Atau berprofesi rangkap pejabat sekaligus penjahat, sehingga melakukan penyimpangan menjadi semacam kewajaran dan keharusan.
Pada sisi lain dijumpai ada penulis yang sangat getol menulis informasi yang bersifat provokatif, bahkan tendensius dengan cara mengumbar angan-angan, kemudian angan itu dipaparkan pada layar media berupa tulisan. Logika yang dipakai adalah “andaikata”, sehingga tulisannya tidak dimulai dari pengamatan data lapangan, atau paling tidak data skunder yang dapat dipercaya; apalagi direkonstruksi dengan kerangka teori tertentu, sama sekali tidak dilakukan.
Pada waktu dikonfirmasi bahwa menulis itu ada tataaturan dan etika bahkan filosofinya serta undang-undang yang mengaturnya, ternyata yang bersangkutan tidak memahami. Dia sekadar menyalurkan emosinya melalui tulisan di era keterbukaan media seperti sekarang: senjata ampuhnya adalah jika terbentur akan “minta maaf” dan semua dianggap selesai. Medianya dibuat sendiri, ditulis sendiri, dan dinikmati sendiri; dibagikan hanya sekadar untuk melampiaskan libido bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja. Pada era keterbukaan teknologi dan informasi seperti saat ini hal tersebut dengan sangat mudah dilakukan.
Kalimat terakhir tadi sekarang sedang menjadi fenomena yang fenomenal. Bahkan sekelas ahli penceramah agamapun melakukannya. Semula menggebu-gebu melalui kanal media sosial menghakimi penceramah lain dengan dalilnya sendiri, pemahamannya sendiri. Di luar apa yang diyakini itu tidak benar bahkan mengharamkannya. Beliau lupa bahwa dua ditambah dua itu sama juga dengan dua di kali dua. Ilmu “pokoknya” adalah senjata ampuh yang digunakan untuk membabat pemikiran yang berbeda.
Akhirnya setelah dikonfirmasi akan kebenaran lain dari sudut la in, yang bersangkutan dengan muka datar meminta maaf dimuka alat pengeras suara, dengan ekspresi tanpa dosa ditampilkan, yang semula garang akhirnya bagai ayam sayur lemah lunglai.
Secara kuantitas fenomena di atas sebenarnya tidak banyak, namun untuk merusak susu sebelanga itu cukup dengan nila satu titik. Banyak hal yang indah semula, tetapi karena ulah segelintir orang; keindahan itu menjadi rusak bahkan hancur porak poranda. Pemaksaan kehendak oleh segelintir orang tanpa memahami tata aturan kehidupan sosial bernegara sering dilabrak. Bisa dibayangkan penganut keyakinan tertentu yang jumlahnya minoritas, merasa mendapatkan perilaku ketidakadilan ditengah mayoritas, karena kehendaknya tidak dituruti; ini menjadi aneh.
Tambah runyam lagi penguasa menggunakan kekuasaannya untuk membela yang minoritas hanya karena pemikiran untuk melindungi bukan melayani. Padahal setelah ditelisik, sebenarnya diantara mereka sudah ada kesepakatan yang semula dibuat bersama, dipatuhi bersama; ternyata kesepakatan itu dilanggar atasnama kebebasan yang kebablasan. Setelah ada reaksi, justru dibesar-besarkan; untung masih banyak orang yang waras di negeri ini. Alhasil perdamaian dibuat atas dasar permintaan maaf yang dikondisikan dan pada akhirnya digiring kesudut untuk memenuhi permintaan pendamainya.
Hal di atas adalah persoalan-persoalan besar; belum yang remeh temeh dihadapi rakyat dalam keseharian pada dunia nyata. Bagaimana pusat perbelanjaan rakyat dikota ini tidak sepi pengunjung karena jika masuk untuk parkir kendaraan saja harus merogoh kocek sampai sepuluh ribu rupiah, sekalipun resminya hanya lima ribu. Saat konsumen bertanya kepada petugas, yang diperoleh jawaban untuk menantang adrinalin keluar dari sarangnya. Atau kalau tidak yang keluar sumpah serapah dari mereka; tentu saja jika dilayani hanya membuang waktu saja; akhirnya berkesimpulan untuk datang dan untuk tidak kembali lagi.
Ternyata banyak sekali peristiwa yang berposisi seperti Pedang bermata dua, bahkan menulispun tidak luput dari kondisi seperti itu. Bisa dibayangkan tulisan yang merupakan produk berfikir tingkat tinggi, maksud penulisnya diperuntukkan mengupas hal-hal yang fundamental, bahkan fenomenal; ternyata ada pembaca yang merasa terkena akan tulisan itu. Menggunakan istilah filsafat ilmu banyak sekali hal yang masih berada pada wilayah ontology menjadi multitafsir; karena tidak memahami epistemologi pemikiran penulisnya, apalagi wilayah axiologinya. Namun karena wilayah filsafat tidak membicarakan benar dan salah, sebab itu ranah ilmu pengetahuan; maka kebodohan sering menjebak pembacanya pada pertentangan suka dan tidak suka, baik secara personal maupun komunal. Akibat lanjut muncul musuh kolektif yang jika ditanya mengapa dimusuhi, jawaban paling aman “pokoknya”. Ternyata melek literasi tidak cukup hanya yang dipahamkan dipermukaan; akan tetapi lebih jauh kealam hakiki dari suatu pemaparan pemikiran melalui tulisan.
Tampaknya negeri ini banyak orang yang “sakit fikir” sehingga tidak bisa menafsir; akibatnya kesesatan berfikir terbangun dimana-mana. Apakah ini dampak pembangunan yang berorientasi pada “pemenuhan hasrat lahiriah dan menomor duakan hal hal batiniah”. Pertanyaan ini tentunya menjadi menghujam manakala dilabelkan kepada pernyataan “mau dibawa kemana negeri ini”.
Selamat ngopi pagi.