Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu sosial di pascasarjana FKIP Unila
Menjelang pemilu, hampir semua orang yang memiliki syahwat untuk berkuasa sibuk mendekati rakyat. Bahkan ada yang tidak segan-segan seolah-olah jadi rakyat dengan cara peduli rakyat. Semua jurus dikeluarkan untuk “menjual diri”, bahkan jika diperlukan “ganti baju” untuk mendapatkan simpati.
Rumah yang biasa tertutup menjadi terbuka: siapapun bisa datang untuk makan dan pergi asal nanti memilih diri. Logistik disiapkan walau hanya mi instan dan sebutir telur serta sebungkus rokok. Kopi gula tidak boleh putus untuk melengkapi bualan agar menjadi seru. Cerita dengan judul “andaikan” menjadi topik yang menyeruak kemana-mana.
Tim sukses dibentuk dengan berbagai warna. Jago membual akan terkumpul dengan sendirinya. Mereka ini akan datang sebelum fajar dan akan pulang menjelang malam dengan alasan mereka akan turun untuk kampanye dari pintu ke pintu. Maka, memerlukan “sangu dan cerutu” untuk kataganti uang dan rokok.
Belum lagi mereka yang berdasi, biasa datang dengan modal tampilan necis membawa kendaraan rental, bertamu dengan membawa sejuta harapan dan seribu janji. Bualan yang dijual adalah mau menghubungkan dengan pejabat tertinggi di negeri, atau tokoh masyarakat yang berpengaruh, untuk mendapatkan dukungan sebagai sandaran. Model yang serupa ini sebenarnya sama dan sebangun dengan yang di atas; mereka hanya igin “cuan dan pertamax”; hanya tampilannya yang berbeda.
Pahlawan kesiangan muncul dimana-mana; seolah mereka pemerhati rakyat, walau selama ini entah kemana saat rakyat sengsara, jalan rusak dimana-mana, mau bertemu setelah menjabat selalu sembunyi di bawah meja. Kalaulah terpaksa ketemu jurus yang diandalkan hanya dua, pertama, marah-marah dan menantang berkelahi bak gaya preman; atau dengan satu kalimat “sedang dianggarkan”. Semua seolah selesai walau itu semu, bahkan ada teman yang menggoda mengatakan “kapan ya beliau tobat nasuha”.
Tim sukses selalu menjual kecap nomor satu di dunia, dan ini yang menari: mereka diberi gelar oleh teman wartawan senior sebagai “radio canting”. Pekerjaannya menjual kecap nomor satu saat di muka calon, namun setelah mereka jauh dari pantauan justru menjadi pemuka dua atau sebelas. Pekerjaannya “ngopi sana, makan sini, ngudut sana, ngemil sini”. Semua calon dihubungi dan dia seperti “juru selamat” yang kesiangan. Padahal dia tidak kerja apa-apa dan hanya menjual muka mencari muka.
Ada pengalaman beberapa tahun silam seorang teman mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Ia sudah diingatkan untuk hati hati menghadapi “buaya” seperti ini. Bisa-bisa kepala kita pun akan dicukur gundul. Alhasil nasihat tadi benar adanya, dengan mengatasnamakan “peduli rakyat” semua menjadi halal untuk dilakukan, dengan cara apapun, untuk masalah apapun.
Seolah peduli rakyat seperti ini sebentar lagi akan muncul dan membahana, bahkan ada perusahaan yang menyiapkan sejumlah orang untuk dijadikan “pasukan bayaran” guna melancarkan semua urusan, asal jelas jadwalnya dan uangnya.
Ingat beberapa tahun lalu ada pengorganisir yang siap menyiapkan sejumlah orang. Jika teriakan berdurasi sekian jam, sekian orang, maka dana yang harus disiapkan per orang sekian. Laporan cukup menggunakan rekaman gambar dan media yang digunakan, tinggal yang berkepentingan membayar. Ada kejadian lucu saat mereka berteriak-teriak ada diantara mereka yang mengatakan setengah jam lagi selesai, ayo makin keras teriaknya. Hitungan matematika yang digunakanpun sangat sederhana, jika bekerja seperti biasa perhari paling mendapatkan uang seratus lima puluh ribu rupiah, dengan durasi kerja delapan jam, istirahat setengah jam. Sementara ikut kegiatan “teriak-teriak” dengan durasi waktu dua jam mendapatkan uang seratus ribu ditambah nasi bungkus, ini sudah sangat lumayan, dengan tambahan bebas transfortasi.
Kelompok “pekerja” ini bisa saja terjadi waktu pagi dipakai oleh “pengguna A” berteriak model “A”. Kemudian kelompok yang sama karena orderan sore hari untuk kelompok “B”, maka teriakkannya sesuai pesanan “B”. Kejadian lucu sore itu ada anggota yang pagi hari tidak hadir, tetapi sore hari ikut; sehingga dalam berteriak salah alamat, untung teman sebelahnya mengingatkan bahwa sore ini kita punya “B”. Riuh rendah seperti ini akan sangat terasa semakin mendekati masa akhir dari kampanye, bisa dibayangkan jualan “peduli rakyat” akan begitu larisnya.
Belum lagi yang menggunakan media sosial, hari ini sudah mulai muncul satu dua calon yang sudah teken kontrak kepada ahli media untuk menembakkan amunisi untuk pencitraan diri. Sasarannya adalah mereka yang tidak punya banyak waktu untuk mencermati, sehingga terbentuk “Cognitive Map” dalam benaknya bahwa apa yang diusungnya adalah benar adanya. Narasi yang dibangun sangat artifisial sehingga seolah-olah sahih, membuat pembaca terkesima dan tidak perlu menggunakan akal sehatnya untuk langsung percaya. Model yang begini tentu harganya berbeda dengan yang di atas. Bahkan beberapa di antara mereka memang dibayar untuk melakukan ini, sehingga narasi-narasi yang dibangun sebelumnya dilakukan penelitian tentang sasaran publiknya.
Mari kita yang masih memiliki akal dan nalar sehat untuk negeri ini; menyimak dan jangan segan mengingatkan kepada siapapun yang akan merusak negeri ini, katakan kepada mereka “kami masih waras untuk membedakan mana yang benar dan mana yang menyimpang”. Salam NKRI.