Tomi Lebang
Sore ini saya mengingat Profesor Baharuddin Lopa, orang Mandar yang hidupnya bak legenda. Saya beruntung sering bertemu dengannya semasa ia jadi menteri atau Jaksa Agung RI, dan saya jurnalis muda saat itu. Dan tentu saja saya sebagai pengagumnya.
Lopa pernah menceritakan sebuah riwayat yang terjadi di Mandar, di saat dirinya masih kanak-kanak. Di penghujung tahun 1930-an, di Balanipa terjadi pembunuhan yang dilakukan oleh seorang pemuda — kasus yang menurut hukum adat harus diganjar dengan hukuman mati. Akan tetapi dalam adat Mandar, terhukum bisa menerima keringanan bila ia meminta perlindungan pabbicara (pemuka adat yang berwewenang menjatuhkan hukuman).
Enam dari tujuh pabbicara setuju meringankan hukuman, tapi seorang pabbicara sekaligus Ketua Dewan Adat bersikukuh menghukum mati pelanggar adat ini.
Hukuman akhirnya dijatuhkan. Pemuda terhukum ini dieksekusi dan meregang nyawa di atas pangkuan Ketua Dewan Adat tadi.
Siapa pabbicara yang bersikukuh agar pelanggar adat ini dihukum mati? Ternyata, ia adalah ibu kandung sang pemuda malang.
Alasan pabbicara, pemuda itu tidak datang berlindung kepadanya untuk pengampunan.
“Ia pulang ke rumah ibundanya, sehingga ia tidak berhak diberi keringanan hukuman,” kata sang pabbicara.
Kisah ini begitu tertanam di benak Lopa. ”Saya amat terkesan dengan kisah itu. Bahwa penegakan hukum tak boleh terhalangi, sekalipun karena alasan hubungan darah termasuk jika itu antara ayah dan anak,” tutur Lopa pada banyak kesempatan.
Semangat pabbicara di negerinya ini, di benak Lopa, bersesuaian dengan hadits Rasulullah SAW: qulil hakka walau qaana mura’ (katakanlah yang benar, walaupun pahit).
“Rasulullah juga pernah mengatakan: sekalipun anakku Fatimah, kalau mencuri kupotong tangannya,” kata Lopa.
Dalam kitab suci Al-Qur’an, kata Lopa, “ada lebih 30 ayat yang mempersoalkan keadilan. Antara lain, dalam surat An Nisaa ayat 135, yang artinya: Tegakkanlah keadilan karena Allah, sekalipun kepada dirimu, kedua orang tuamu, dan kerabatmu. Kemudian Al-Qur’an Surat Al-Maidah. Surat Al-Maidah itu terdiri atas banyak ayat, semua tentang keadilan.
Semua menyinggung rasa keadilan,” kata Lopa kepada saya, yang lalu dimuat dalam wawancara dengan Majalah TEMPO, Rabu 14 Februari 2001 silam.
Dan dengan prinsip-prinsip itulah, Lopa mengawal hukum. Banyak yang menganggapnya bekerja dengan kaca mata kuda.