TERASLAMPUNG.COM, HONG KONG— Sekitar 6.000-an massa pekerja migran dan aktivis di Hong Kong dari Komite Keadilan untuk Erwiana melakukan aksi demo menuntut keadilan untuk Erwiana. Mereka berjalan dari Southorn Playground Wanchai, menuju kantor pusat kepolisian Hong Kong di Arsenal Street, Hong Kong, Selasa (21/1/2014).
“Kami minta kepolisian Hong Kong mempercepat proses penyelidikan atas kasus Erwiana dan mengkaji ulang cara kerja polisi dalam merespons keluhan-keluhan pekerja migran. Polisi Hong Kong juga harus mengamankan semua bukti-bukti yang diperlukan untuk memperkuat kasus Erwiana termasuk bukti berupa jejak rekam dari CCTV, serta menginformasikan kepada seluruh komunitas/publik tentang perkembangan hasil penyelidikan atas kasus Erwiana,” kata Sringatin, juru bicara Komite Keadilan bagi Erwiana, Selasa (21/1/2014).
Komite Keadilan untuk Erwiana juga mendesak pihak kepolisian Hong Kong untuk memastikan berjalannya proses penyelidikan atas kasus Erwiana dan dengan secepatnya memproses kasus penganiayaan yang dilakukan majikan Erwiana sehingga majikan tersebut tidak memiliki kesempatan untuk meninggalkan Hong Kong.
Selama kurang lebih setengah jam, massa yang terdiri dari buruh migrant Indonesia, Philipina, serta warga lokal menggelar orasi di depan kantor pusat kepolisian Hong Kong yang berada di Arsenal Street, kemudian melanjutkan longmarch melewati Justice Drive, Queensway Rodney Street dan Tim Mei Avenue menuju kantor pusat pemerintahan Hong Kong.
Ketika berada di kantor pusat pemerintahan Hong Kong, surat keprihatinan dari gabungan organisasi pekerja migran dan organisasi lainnya yang yang berisi seruan bagi pemerintah Hong Kong untuk bertanggung jawab atas penganiayaan terhadap Erwiana, juga diserahkan pada pihak pemerintah Hong Kong.
Menurut Sringatin, Pemerintah Hong Kong tidak bisa berkelit dalam kasus Erwiana. Majikan Erwiana, kata Sringatin, memang tidak menganiaya Erwiana dengan alat pemukul dari besi.
“Yang membuat wajah Erwiana sampai lebam dan kehilangan berat badan adalah akibat kelaparan. Majikan Erwiana melarang Erwiana menikmati hak liburnya atau yang memperlakukan Erwiana ibarat seorang budak. Kebijakan-kebijakan yang menimbulkan pekerja migran tetap berada dalam kondisi rentan terhadap penganiayaan dan penindasan adalah berasal dari pihak pemerintah Hong Kong,’’ ungkap Sringatin.
Sringatin menjelaskan, kebikan-kebijakan yang rentan pada penganiayaan terhadap pekerja migrant ini termasuk didalamnya peraturan wajib tinggal bersama majikan, peraturan 2 minggu, peraturan-peraturan tentang sistem perekrutan oleh pihak agen yang tidak adil, dan praktik pendiskriminasikan secara sosial terhadap buruh migran.
‘’Dengan kondisi ini, para pekerja migrant (PRT) biasanya tidak mempunyai pilihan selain membiarkan dirinya kehilangan mata pencaharian atau membiarkan dirinya mengalami kekerasan atau penganiayaan. Kedua pilihan ini tidak seharusnya menjadi pilihan sama sekali bagi buruh migran (PRT). Kami adalah pekerja yang memiliki hak-hak yang dijamin oleh hukumk Internasioanal yang dalam hal ini pemerintah Hong Kong harus pastikan bahwa hak-hak tersebut berjalan seiring dengan hukum Internasional tersebut,’’ desak Sringatin.
Di depan kantor pemerintahan Hong Kong, selama kurang lebih satu jam massa berorasi. Selain Sringatin selaku juru bicara Komite Keadilan untuk Erwiana, pesan solidaritas juga disampaikan oleh Mabel dari Amnesti Internasional, Cyd Ho dari Labour Party, Cheng Ching Fat dari The Hong Kong Confederation on Trade Union ( HKCTU), dan Eni Lestari dari Asian Migrant Coordinating Body (AMCB).
Menurut Sringatin aksi keprihatinan tersebut merupakan langkah awal dari sejumlah aksi utama yang akan di jalankan oleh Komite dalam rangka mengusahakan keadilan bagi Erwiana dan reformasi kebijakan bagi para buruh migrant.
“Kami akan menyebarluaskan seruan keprihatinan ini akan kepada seluruh komunitas untuk mendapat dukungan lebih luas dan menginformasikan kepada publik tentang kondisi permasalahan yang dihadapi para buruh migran,” kata Sringatin.
Komite Keadilan untuk Erwiana merupakan lembaga yang digawangi oleh Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI), Badan Koordinasi Pekerja Migran Asia – Aliansi Pekerja Migran Internasinal (AMCB-IMA), dan sejumlah aktivis dari lembaga nonpemerintahan dan aktivis dari Hong Kong.