Para remaja di Kampung 29 Ilir, sebuah kampung miskin, mementaskan pertunjukan mengenai kenakalan remaja. |
Oleh Taufik Wijaya*
TEATER atau seni pertunjukan peran merupakan kesenian yang cukup tua keberadaannya di Indonesia. Mulai dari bentuk yang tradisional, semacam senjang, Abdul Muluk, wayang orang, warahan, hingga dalam bentuk teater modern. Sama seperti dalam berbagai kebudayaan lainnya di dunia, teater di Indonesia diyakini muncul setelah seni rupa dan sastra.
Sebagai sebuah karya seni, teater memiliki keunikan dibandingkan dengan bentuk kesenian lainnya, seperti sastra, musik, tari dan seni rupa. Bila bentuk kesenian lainnya cenderung dilakukan secara individual dan hanya beranjak dari satu disiplin seni, maka teater justru harus dikerjakan oleh sebuah tim yang memiliki berbagai latar belakang seni, bahkan dari berbagai disiplin ilmu. Artinya, sebuah pertunjukkan teater didukung mulai dari aktor, pekerja seni musik, tari, seni rupa, tari, sutradara, hingga seorang intelektual serta ahli manejemen dan promosi. Oleh sebab itu, proses sebuah pertunjukan teater membutuhkan energi yang luar biasa. Mulai dari pemikiran, waktu, tenaga, hingga biaya.
Lantaran membutuhkan energi yang luar biasa, maka sebuah pertunjukan teater dapat disebut sebagai sebuah peristiwa kebudayaan. Yang mana banyak nilai-nilai yang dapat direkam, direnungkan, direfleksikan, dari sebuah pertunjukan teater.
Hari ini, bangsa Indonesia menghadapi krisis pada dirinya. Bangsa ini seakan kehilangan karakter luhurnya. Bangsa yang dikenal cinta damai, santun, justru hari ini menjadi bangsa yang terkesan “barbar”. Berbagai bentuk kekerasan terjadi di mana saja. Mulai di rumah, jalan, pasar, kantor pemerintah, kantor polisi, kantor tentara, desa, hingga di rumah ibadah.
Bentuknya mulai dari kekerasan fisik, kekerasan psikologi, pelecehan seksual, hingga penyebaran fitnah yang bertujuan membunuh karakter. Dan pelakunya dari anak-anak, remaja, orangtua, guru, polisi, buruh, mahasiswa, tentara, politisi, seniman, pejabat pemerintah, guru agama, dosen, hingga jurnalis.
Sulit menjelaskan hal tersebut terjadi? Tapi saya sepakat jika hal tersebut disebabkan oleh kemiskinan dan kebodohan. Kemiskinan dan kebodohan di tengah kehidupan yang liberal. Akibatnya ibarat harimau dan kera yang dibebaskan di dalam sebuah mall.
Yang ironi, berbagai bentuk organisasi atau kelompok sudah diterapkan pemerintah dan masyarakat. Mulai dari ormas, organisasi keagamaan, organisasi kerakyatan, organisasi hobbies semacam suporter sepakbola, hingga partai politik. Yang terjadi bukan kekerasan itu berkurang, justru berbagai organisasi atau kelompok tersebut mendorong kekerasan yang lebih jauh. Yang sangat terasa misalnya kekerasan yang dilakukan kelompok suporter sepakbola.
Teater Melawan Kekerasan
Kenapa teater dinilai mampu membentuk karakter seorang manusia? Ada beberapa alasannya. Pertama, sebuah teater terbangun karena rasa humanisme. Sebab teater lebih cenderung membahas persoalan manusia. Baik mengenai kesedihan, cinta, kegembiraan, harapan, ketakutan, dendam dan kebencian yang dirasakan manusia. Nilai-nilai humanisme itu yang membuat teater menerima perbedaan. Sebab perbedaan warna kulit, status sosial, maupun kepercayaan, tidak membebaskan seorang manusia dari rasa cinta, harapan, benci, ketakutan, dan kesedihan.
Rasa humanisme itu tumbuh karena sebuah teater dimulai dari pengenalan atas pribadi para anggota atau penggiatnya. Mengenal dan memahami setiap manusia yang ada di sebuah kelompok teater merupakan sikap awal rasa humanisme. Selain itu, pertunjukan teater yang menonjolnya dunia akting, studinya lebih fokus mengenai perilaku manusia.
Dalam sejarahnya, cerita atau nilai-nilai kemanusiaan yang ditampilkan sebuah teater yakni nilai-nilai positif, yang mana kekerasan, kebencian, rasa tamak, munafik, selalu terkalahkan di atas panggung pertunjukan. Konsekuensi dari pijakan tersebut, para penggiat teater pun melakukan studi, baik secara individu maupun kelompok mengenai nilai-nilai luhur dalam sebuah kebudayaan yang berkembang di masyarakatnya.
Kedua, teater juga mengajarkan sebuah manejemen kebersamaan. Sebuah pertunjukkan teater bukan hasil dari seseorang. Artinya pertunjukan teater bukan hanya karya sutradara, aktor, pemusik, penulis naskah, maupun manajer pertunjukan. Dia merupakan hasil karya kelompok. Dengan demikian, sebuah teater mampu mengajarkan seseorang untuk berlatih bekerjasama dengan orang lain.
Ketiga, sebagai sebuah karya seni, teater juga bersikap terbuka. Teater tidak berpikir secara tradisional, yang cenderung menolak sesuatu yang baru. Baik itu ilmu pengetahuan maupun teknologi. Lantaran sikapnya terbuka, maka teater mengajarkan seseorang untuk menerima berbagai pemikiran maupun teknologi, sejauh memberikan dampak yang positif bagi manusia atau masyarakat.
Belajar dari program Pentas Teater Kampung: Membaca Kembali Pancasila yang diselenggarakan Lembaga Analisis Informasi (ESSAI) dan Yayasan TIFA di sejumlah kampung, sekolah dan kampus di Palembang 2012-2014, ternyata masyarakat sangat membutuhkan wadah alternatif semacam teater. Sebab bagi mereka teater bebas dari nilai-nilai yang selama ini menjadi “pembeda” di masyarakat, seperti status sosial, pendidikan, kepercayaan. Teater menjadikan mereka menyatu.
Melalui teater pula mereka dapat mendiskusikan dan mengekspresikan apa yang mereka gelisahkan selama ini.*
*Pekerja budaya