Oleh Iswadi Pratama*)
Membaca sajak-sajak Ahmad Yulden Erwin dalam kumpulan Perawi Tanpa Rumah ini, seperti menyusuri lanskap geografis dengan batas-batas wilayah yang terus menerus diterobos. Seperti sebuah perjalanan dengan hasrat teramat besar untuk menjelajah setiap jengkal tanah. Migrasi, ekspansi, dan transformasi adalah prosedur-prosedur yang senantiasa digunakan dalam perjalanan menjelajah itu. Ia “bermigrasi” sepanjang berupaya menemukan “ruang-puitik” dalam sajak-sajaknya. Mulai dari ruang yang rutin dalam kehidupan sehari-hari, filsafat, hingga ruang spiritualisme juga post-kolonialisme. Dalam ruang yang berlapis-lapis itu, sajak-sajaknya terus “bertansformasi” dari sisi bentuk dan “berekspansi” dari sisi tematik (isi). Semua ini mengisyaratkan suatu gerak pikiran (permenungan) dan gejolak batin yang mengelak untuk “jenak” apalagi “tunduk”. Ia tak hendak menjadi “pemeluk teguh” dan mengimani sebuah “kitab”. Itulah mengapa, dalam Perawi Tanpa Rumah ini, kita bisa berselancar dalam sekian banyak variasi gaya, bentuk, isi (tema) sajak.
- Haiku dan Imajisme
Marilah kita mulai pengembaraan panjang Sang Perawi dari halaman rumah, sebuah latar tempat dan ruang yang dekat dan sehari-hari.
Kitab Halaman
Kini mulai kubaca lagi halaman rumahku:
pagar batu, lima rumpun seruni, sepasang
kenari, serta tiga larik haiku berlari memeluk
ranting petai cina. Kau tidak dapat bertanya:
Apakah Tuan tengah bermimpi atau terjaga?
Tiada batas kecuali dalam pikiranmu semata.
Tanah basah, genangan air bekas hujan, kilat
tiba-tiba menyergap tatkala sekuntum anyelir
mekar penyap di fajar mataku. Bila kau dapat
melihat dengan jiwaku, maka akan kautatap
sepasang kutilang berkicau di dahan mangga,
akan kautataphalus jemari ruang menyentuh
daun-daun waluh luruh di halaman tetangga;
pada detik ini, janganlah sungkan bertanya:
Apakah patik masih bermimpi atau terjaga?
Dalam sajak bernuansa imajis di atas, segala ihwal yang sederhana bukan saja mendapat tempat, melainkan pula “dimuliakan” dari makna yang telah rutin dan beku. Deretan kalimat, klausa, frasa, dan kata sebagai berikut: halaman rumah, pagar batu, lima rumpun seruni, sepasang kenari, tiga larik haiku, ranting petai cina, tanah basah, genangan air bekas hujan, kilat, sekuntum anyelir mekar, sepasang kutilang berkicau di dahan mangga, halus jemari ruang menyentuh daun-daun waluh di halaman tetangga. Mereka tidak hadir semenjana. Bukan sekadar hendak mengukuhkan suasana. Melainkan mengacu pula pada sebuah konsep; sebuah gagasan filosofis (spiritual?) tentang penyingkapan realitas atau ke-tercerah-an.
Larik pertama sajak: Kini mulai kubaca lagi halaman rumahku: mengisyaratkan sebuah kesadaran untuk “kembali” pada sesuatu yang dekat dan intim—yang lama dilupakan/tinggalkan. Keterangan waktu “Kini” di awal kalimat dan “lagi”, menandakan bahwa semua hal yang dekat dan intim itu (halaman rumah) pernah begitu bermakna dan lalu terlupakan, maka aku lirik merasa perlu mengenal (membaca) dan memaknainya kembali.
Dari sini, bisa diasumsikan bahwa seseorang akan mulai merindukan rumah atau tempat kembali setelah sekian lama bertualang atau pergi dan merasa lelah. Namun, apakah perjalanan kembali (pulang) ini adalah sebuah perjalanan romantik belaka?
Di lanskap luar kita menemukan “pagar batu”, “rumpun seruni”, “sepasang kenari” dan seterusnya, dan dari lanskap interior kita mendapatkan “tiga larik haiku berlari memeluk ranting petai cinta”. Haiku, sajak tradisonal Jepang itu, dipersonifikasikan sebagai subyek yang berlari memeluk ranting petai cina. Dengan cara ini, sekaligus membuatnya mendapat penekanan makna yang melebihkan derajatnya dibanding pagar batu, rumpun seruni, atau sepasang kelinci. Lalu siapakah si aku lirik ini, jika bukan seorang penyair—sebab meskipun tak harus penyair yang menyimpan haiku di dalam kamarnya, tetapi pasti hanya penyair yang bisa merasakan kehadiran haiku dalam kesadarannya saat melihat ranting petai cina.
Haiku, kita tahu, adalah sebuah sumber dari mana aliran imajisme yang di disebarkan oleh para penyair Amerika dan Inggris antara 1912-1927; diantaranya TE Hulme, Ezra Pound, Amy Lowell, Richard Aldington, Hilda Doolittle, John Gould Fletcher, dan F.S., Flint, mendapat pengaruh—di samping dari Sajak Cina klasik.
Maka, kita bisa mengatakan bahwa pergaulan Erwin dengan teks-teks haiku maupun puisi-puisi imajis pada galibnya adalah sebuah usaha untuk “membaca lagi halaman rumah” ; sesuatu yang dekat dan intim. Dengan demikian, “halaman rumah” diperlakukan sebagai sebuah teks tempat Erwin mempertemukan dua tradisi (konsepsi) sastra dari belahan Timur (Haiku) dan Barat (Imajisme).
Bila dalam sajak-sajak imajis juga haiku kita akan segera disergap suatu suasana dari citraan inderawi yang utuh-penuh, jernih, dan cenderung mengelak dari tafsir subyektif penyair, maka dalam sajak di atas Erwin sengaja menundanya dengan tiba-tiba mengajukan pernyataan: Kau tidak dapat bertanya:/ Apakah Tuan tengah bermimpi atau terjaga?/ Tiada batas kecuali dalam pikiranmu semata.
Seakan ada yang sedang “mencurigai” bahwa pembacaan si aku lirik pada apa yang dekat dan intim itu adalah sebuah pembacaan (pengenalan) yang sepele, atau sebuah sikap kepenyairan yang terlalu lumrah, atau sekadar sikap nostalgik seperti pulangnya seorang petualang yang rindu kampung halaman.
Kecurigaan (semacam mempertanyakan) yang mungkin mulai muncul di benak pembaca, segera disanggah dan bahkan dipatahkan dengan “Kau tidak dapat bertanya.
Selanjutnya, ia menyebut si aku lirik (penyair) sebagai “Tuan”. Dengan ini, Erwin hendak meneguhkan derajat si aku lirik—jika ia memosisikan dirinya sebagai penutur ke dua setelah aku lirik. Namun, jika si penutur ini masih si aku lirik, maka ia telah mengukuhkan dirinya sendiri kepada pembaca. Pengukuhan atau peneguhan itu bisa saja dimaksudkan agar posisi pembaca dan aku lirik (siapa pun yang menjadi subyeknya) ada dalam posisi setara.
Barangkali inilah yang dimaksud Erwin dalam Kredo (Prinsip) Puisi Sugesti-nya yang dalam draft awal Perawi Tanpa Rumah ini pernah ia sertakan; sebuah sikap kepenyairan yang tetap memberi ruang kepada aku lirik (tokoh ciptaan penyair) seraya mempersilakan aku-aku yang lain untuk hadir; aku obyek, dan aku pembaca. Dalam sajak di atas, aku lirik (tokoh yang membaca lagi halaman rumah) menjadi aku obyek, Erwin sebagai “aku-penyair” yang memproduksi teks, dan aku pembaca.
Dengan kata lain, Erwin membelah diri menjadi dua aku: sebagai produsen teks dan sebagai “Si Tuan” dalam sajaknya. Dengan ini, Erwin menyodorkan sebuah afirmasi bahwa kembalinya ia kepada sebentuk kesederhanaan haiku dan puisi imajisme adalah sebuah pilihan sikap estetik; suatu ketercerahan yang memberinya sugesti kesadaran, dan lalu sugesti itu ia pantulkan kepada pembaca melalui sajak; cermin simularkra-nya. Sugesti itu tentu saja berupa penyaranan atau ajakan untuk membiarkan diri (akal dan perasaan) terbuka untuk hal-hal yang bersahaja dan sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Keterbukaan diri (keterjagaan yang tanpa persepsi)) itulah yang pada gilirannya akan memberikan “pencerahan”: kilat tiba-tiba menyergap, tatkala sekuntum anyelir/mekar penyap di fajar mataku.
Menyimak larik-larik di atas, konsepsi Erwin mengenai pencerahan adalah: terbukanya diri (situasi no-mind) membuat aku lirik merasakan kehadiran yang bersifat hakiki (presensi) dari sekuntum anyelir yang mekar dan membawanya pada suatu kesadaran yang lebih tinggi: kilat tiba-tiba menyergap. Dengan kalimat lain; bukanlah cahaya kilat (momen ketercerahan) yang menyebabkan aku lirik menyadari kehadiran sekuntum anyelir (realitas yang bersahaja), melainkan sebaliknya.
Barangkali, ini pula yang menjadi konsepsi penciptaan sajak oleh para Penyair haiku. Dan dijelajah oleh para penyair imajis melalui penghadiran imaji-imaji yang bersih dari persepsi (pemaknaan) demi menghadirkan realitas yang lebih dalam. Namun, dengan spirit sugestinya, Erwin hendak bergerak lebih jauh; semacam usaha memberi atau membujuk pembacanya untuk berpartisipasi dalam moment itu: dengan cara “melihat dengan jiwaku”. Erwin memilih verba “melihat” bukan “berpikir”. Sebab, selama seseorang menggunakan pikirannya dalam mengenali realitas, maka ia akan kembali terjebak dalam ukuran-ukuran, batasan, persepsi.
“Melihat dengan jiwaku” adalah sebuah situasi di mana pengetahuan kognitif berhenti bekerja, sebuah situasi di mana individu akan terserap ke dalam realitas; merasakan kehadiran realitas secara utuh-penuh. Dengan begitu, akan kau dengar/ sepasang kutilang berkicau di dahan mangga,akan kautatap halus jemari ruang menyentuh daun-daun waluh luruh di halaman tetangga.
Sugesti yang diberikan Erwin melalui larik-larik di atas seakan hendak memerikan bahwa kita (pembaca) tak pernah benar-benar mendengar sepasang kutilang berkicau, juga tak pernah benar-benar melihat daun-daun waluh luruh kecuali pada saat kita terbebas dari segala beban persepsi. Maka, kita akan merasakan Ke-hadir-an realitas sepenuhnya. Hanya dan hanya jika dalam keadaan seperti itu, kita bisa bertanya kepada si Tuan (penyair): Apakah patik masih bermimpi atau terjaga?
Sebab, dalam kebahagiaan estetik semacam itu, tak ada lagi batas antara mimpi dan terjaga. Sebuah momen sesaat yang menjadi abadi. Ini mengingatkan saya pada sajak Wislawa Szimborska, penyair wanita dari Polandia: Tak ada hidup/ yang tak bisa kekal/ meskipun hanya sebentar.
Bila kita membayangkan sebuah film, maka tokoh utama dalam film tersebut, si aku lirik (Si Perawi) dalam sajak di atas—yang sekaligus dijadikan sebagai prolog dalam buku ini—adalah seseorang yang sudah“pulang” (menemukan rumah) dan mendapatkan kedamaian dalam diri sendiri. Dari sini, alur bergerak mundur, sebuah flash-back tentang perjalanan si Perawi. Suatu perjalanan pencarian akan hakikat “Kebenaran”, keber-Ada-an, kerinduan pada apa yang sejati dan sebuah batas yang kukuh. Ringkasnya, Ia mencari sebuah tujuan—juga alas an—yang tak ada lagi tujuan atau alasan lain yang lebih benar dan tak terbantah serta mampu menjelaskan mengapa ia harus menempuh sebuah perjalanan yang lebih sering tak tepermanai dan penuh dengan kontradiksi. Karena itu ia (sang Perawi) memilih untuk tak lagi menaruh harapan pada “tujuan”, pada “batas”, pada “akhir” yang penuh makna. Ia memilih untuk tak percaya.
Orag-orang tak lagi
merindukan rumah.
Langit mencatat kitab darah.
Jarak menjelma
debu dalam pikiranmu.
Senyap mendidih.
Kaki-kaki waktu
menjejak kaldera ungu.
Namun, tiada jarak tercipta,
karena debu hanyalah rintih;
kaki-kaki waktu dalam pikiranmu.
Aku tidak berpikir
akan kembali ke rumah.
Aku bukan perawi kitab darah.
(…..)
Sebuah perjalanan pastilah mensyaratkan jarak (ruang) dan waktu. Dari sana sejarah dimulai, pedoman ditetapkan, makna dinisbatkan, dan akhir ditentukan. Namun, saat sejarah hanya berisi pertikaian dan penderitaan; tragedi demi tragedi yang memilukan tak dapat dihindarkan, siapa pun bisa mulai mempertanyakan dan tak percaya: apa maksud seluruh “kehadiran”? Iman terus menerus dihadapkan pada hantaman-hantaman yang amat keras, makin keras, dan tak tertanggungkan. Seseorang bisa mulai tak percaya pada hal-hal baik dalam kehidupan; selain sebagai permainan dan dongeng yang penuh tipu-daya. Namun, selama jarak dan waktu ada, maka semua harus berjalan memasuki labirin sejarah yang acap hanya berakhir pada jurang-jurang gelap kekosongan.
Di sana, “kompas moral”, segala janji akan kebaikan dan akhir yang penuh makna, telah tak berguna. Biang dari semua itu adalah persepsi akan “jarak” dan “waktu”; yang dengan itu kehadiran manusia dimungkinkan tapi sekaligus terus-menerus diremukkan. Maka, satu-satunya jalan adalah membalas hantaman itu dengan menghancurkan persepsi pikiran atas jarak dan waktu. Pikiran, sumber dari semua penderitaan manusia, di mana jarak dan waktu bermula dan harus diakhiri di sana. Pikiran harus dibuat menjadi kaldera (kawah gunung api) yang akan mengakhiri segala kontradiksi. Karena jarak dan waktu telah tak ada, maka perjalanan menjadi nisbi, dan perjalanan kembali ke “rumah” (muasal) tak terperi menjadi dimungkinkan. Lalu kompas moral itu; kitab yang berisi peta, kisah-kisah, janji-janji—telah tak dibutuhkan lagi:
Aku perawi tanpa rumah.
Lihatlah, lihatlah,
telah kulempar
seluruh kitabmu
ke sungai-sungai darah.
(Perawi Tanpa Rumah; hal.9-10)
Kekecewaan terhadap “kompas moral” dalam sajak di atas, juga masih bisa kita rasakan getirnya saat membaca sajak berikutnya:
…..
Mengapa kau baca tabula itu sebagai kitabmu?”
—Benar, Ibu. Kami telah bosan dengan teka-teki
dan nubuatmu, juga narasi ular derik itu. Dan kini:
Kami telah bosan hanya dibuat untuk menyangkalmu.
Setelah pikiran menjadi kaldera, menjadi kawah gunung api di mana seluruh persepsi diremukkan hingga tak bersisa, kini ia menjelma mendai “tabula”, lembaran kosong yang dibawa manusia sejak lahir. Suatu keadaan yang murni, belum tercemar oleh apa pun. Tentu saja, kita tak akan menemukan apa-apa dalam kekosongan selain kekosongan. Tak dapat membaca (memaknai) apa pun. Bukan soal bila di tabula itu memang tak tergurat apa pun, sebab hanya itulah cara yang bisa dilakukan untuk tak percaya lagi pada “kitab darah”, yang hanya berisi teka-teki (kontradiksi) dan bualan.
…..
14) Karena itu, aku Hermes Trismegistus, memiliki tiga
jenis pesan dari tiga semesta: Semua ini hanyalah dusta,
semua ini hanyalah tipu daya, semua ini bukan apa-apa.
(Tabula, hal 11-12)
Usaha untuk menyangkal atau membatalkan “kitab”, untuk menolak percaya lagi, masih terus berlanjut pada sajak-sajak berikutnya. Sang Perawi dan sebenarnya mereka yang mendengarkan dan mengikutinya sama-sama merasa jeri dan terluka dengan apa yang mereka imani selama ini. Sajak-sajak Erwin dalam kumpulan ini, acap berbicara kepada kita melalui Perawi, sering pula melalui mereka yang menjadi pengikutnya atau melalui penutur kedua.
……
Mungkin kita akan berlari dari jalan demi jalan sambil
membayangkan sepasang kupu-kupu terbang berkejaran
di taman firdaus itu
Keluar! Kini kalian telah mengutuk takdir kalian sendiri. Kini
kalian akan menjelma dua tetes embun yang terlempar
ke tengah gurun, atau menjelma dua tetes air mata yang
mengalir pelan pada pipi ibu tua, atau menjelma sepasang
nyamuk yang berdengung di dalam telinga seorang raja”.
Begitulah perawi tua itu berkata, sambil menerka-nerka
rima pada firman berikutnya.
(Mazmur Pagi, hal 13)
Sebuah Firman, sebuah janji dan jalan kebahagiaan dan keselamatan paling representatif dan paling banyak mengubah wajah sejarah dan peradaban itu, yang telah dibela dan diperjuangkan seraya mengorbankan sedemikian banyak jiwa, pada akhirnya tinggal sebuah produk bahasa yang dibayangkan indah karena rimanya terjaga. Suatu ironi yang teramat pedih dari iman yang hendak diselamatkan. Bagaimana mungkin, mereka yang membawa pesan dan janji keselamatan bagi semua orang, bahkan tak mampu menyelamatkan (tak diselamatkan) oleh apa yang ia imani? Pertanyaan, atau lebih tepat gugatan seperti ini, menggema dengan keras dalam sajak : “Yantra” hal (25-27).
Pada sajak Yantra 1, Penyair tidak lagi menyodorkan pada kita sebuah sajak sebagaimana galibnya yang kita pahami sebagai sajak: bahkan tak ada 1 huruf pun yang tertera di sana—selain judul. Ia hanya berupa sebuah bujur sangkar dalam posisi tegak dan mutlak hitam. Suatu situasi kritis (critical moment) sebab pada lanjutan sajak berjudul sama itu penyair hanya menyisakan tanda baca koma dan di bagian akhir hanya kertas kosong. Ketiga sajak ini mungkin bisa mengingatkan kita pada peti mati, pada sebuah lubang kubur, pada sebuah akhir; suatu kematian yang tak termaknai.
Demikianlah, bila kita terus mengikuti sajak demi sajak yang terkumpul dalam buku ini, kita akan terus menjelajah ke berbagai ranah spiritual yang pernah ada; sejak masa Gilgamesh (masa Babilonia), hingga Buddha, Isa, Muhamad, seraya menanggungkan rasa perih terambing, terlempar tanpa ampun di bumi yang berdebu, boyak, dan diselimuti lumpur darah serta prasasti-prasasti kegetiran umat manusia dalam menemukan sebuah tujuan yang kukuh dan pasti. Manusia telah kehilangan pusat nilai untuk diyakini, telah kehilangan gravitasi. Hidup manusia sepenuhnya melayang, mengambang. Manusia seperti harus menyelam di samudera tanpa dasar, berenang tak menemu permukaan dan tepian.
Namun, di antara kengerian itu, kita masih bisa menemukan harapan. Bukan lagi pada “kompas moral” atau kitab-kitab masyhur yang dituturkan para Perawi Keselamatan, melainkan pada kebijakan-kebijakan kuno yang kadung tergusur oleh kitab Para Perawi.
…
Kini, kau tak lagi membutuhkan
seorang pemandu. Yang kau butuhkan
hanyalah membuka kedua matamu.
Yang kau butuhkan hanyalah matamu.
(Wakan Tanka, Nebraska, hal 57-58)
Wakan Tanka, sebuah kepercayaan Suku Indian Sioux di Nebraska, Amerika Serikat mengenai “Roh Yang Agung”, sebuah sumber sekaligus kekuatan yang meresapi keberadaan segala sesuatu di alam semesta.
Harapan, semacam keberpihakan terhadap ajaran-ajaran spiritual kuno semacam ini, seakan menggantikan “iman” yang dibawa oleh para Perawi Mashur dengan kitab-kitab mereka yang masyhur pula. Ajaran-ajaran spiritual kuno itu seperti harta karun terpendam yang kembali digali dengan sisa-sisa tenaga dari kelelahan perjalanan mengikuti Para Perawi. Namun ia juga menyisakan pertanyaan pada kita. Bila ia, aku yang mencari jawaban final tentang akhir yang kukuh itu, tak bisa percaya dengan semua nubuat, nujuman, firman, dan kitab-kitab yang telah mengubah sekaligus mendatangkan berbagai tragedi dalam peradaban manusia, bagaimana ia masih bisa percaya pada ajaran-ajaran kuno itu? Ajaran yang kemudian ia temukan pula isyaratnya bahkan pada sebaris haiku. Dan justru haikulah yang berhasil membawanya pulang, menemukan rumah. Mengapa? Mungkin karena haiku menolak persepsi, menolak dualisme dan mematahkan kontradiksi.
Kemiling, 20 Juli 2018
*) Iswadi Pratama, penyair dan sutradara Teater Satu Lampung.