Oleh Syarief Makhya
Baru-baru ini, DPR RI mengadakan sesi dengar pendapat dengan Menteri Usaha Kecil dan Menengah. Dalam kesempatan tersebut, disampaikan agar Menteri memberikan perlindungan kepada pedagang kecil, ksrens banyak dari mereka yang menghadapi kesulitan ekonomi, seperti gulung tikar atau gagal bersaing, akibat semakin banyaknya jumlah Indomaret, Alfamaret, dan toko modern lainnya. Saat ini, jumlah toko modern tersebut sudah mencapai 23.456 unit dan sudah tersebar hingga ke desa-desa.
Kritik dan desakan dari Dewan dan masyarakat agar pemerintah membatasi Indomaret dan Alfamaretsebenarnya sudah lama diperjuangkan dan disampaika ke pemerintah, tetapi tidak cukup ampuh untuk memaksa pemerintah kota atau kabupaten melakukan pembatasan izin usaha di daerahnya.
Saat ini, jika dilihat dalam jarak kurang dari 1 km di wilayah kelurahan yang sama, bisa ditemukan 2-3 Indomaret atau Alfamaret berdiri berdampingan. Bahkan, aturan resmi tentang jam buka dan tutup yang seharusnya dimulai pukul 9 pagi dan tutup pukul 16.00 kini sudah dilanggar, karena ada beberapa yang beroperasi 24 jam tanpa memperhatikan ketentuan tersebut.
Para pedagang kecil yang dulunya dapat bertahan dengan usaha mereka kini mulai merasa terpinggirkan. Keberadaan minimarket besar ini semakin mendominasi pasar, sementara mereka kesulitan untuk bersaing. Selain harga yang lebih kompetitif, kenyamanan dan kemudahan akses yang ditawarkan oleh minimarket modern semakin menarik perhatian konsumen. Akibatnya, pedagang kecil yang biasanya mengandalkan pelanggan setia mulai kehilangan daya saing dan kesulitan bertahan.
Di sisi lain, meskipun minimarket besar memberikan kemudahan, banyak yang menganggap keberadaan mereka juga membawa dampak negatif bagi perekonomian lokal. Hal ini memunculkan pertanyaan tentang sejauh mana keberadaan minimarket besar seharusnya diatur untuk menjaga keseimbangan antara usaha besar dan usaha kecil yang ada di masyarakat.
Keberpihakan Pemerintah?
Tergusurnya pedagang kecil oleh pengusaha minimarket, sementara pemerintah cenderung berpihak kepada pengusaha, secara jelas menunjukkan bahwa pemerintah kota/kabupaten lebih diuntungkan dari akumulasi pendapatan melalui pemberian surat izin usaha dan pajak, daripada berfokus pada perlindungan dan kesejahteraan pedagang kecil.
Dalam perspektif ekonomi-politik, pemerintah sangat bergantung pada akumulasi kapital melalui sektor-sektor tertentu, dengan cara mengeksploitasi sumber daya ekonomi. Dengan logika ini, pemerintah lebih cenderung mengabaikan aspek etika lingkungan, mengorbankan kepentingan rakyat kecil, serta memarjinalkan sektor usaha kecil demi keuntungan jangka pendek.
Pertanyaannya, mengapa pemerintah cenderung pro-pengusaha ? Dalam perspektif kepentingan pemerintah sekarang ini, pemerintah hanya bisa melaksanakan fungsi-fungsinya khususnya fungsi pembangunan sangat tergantung pada ketersedian anggaran yang cukup dan hanya bisa diatasi dengan cara mendedot pendapatan dari sektor pajak, perizinanan dan retribusi. Kontribusi yang paling besar pemasukan negara itu hanya dari sektor pengusaha. Ini lah argumen yang sangat kuat kecenderungan sikap pemerintah yang berpihak pada kepentingan para pemilik modal.
Tidak hanya di sektor pemasukan keuangan, tetapi juga di sektor ketertiban, kenapa pemerintah tidak memfasilitasi dan memberdayakan pedagang kaki lima. Atas nama ketertiban dan kenyamanan pedagang kaki lima tidak diizinkan untuk berjualan di tempat-tempat strategis karena mengganggu lalu lintas, kumuh dan dilihat tidak estestik.
Dalam kondisi demikian, bagaimana sebaiknya memposisikan agar pemerintah mengambil jalan tengah yang memungkinkan kepentingan rakyat kecil dan kepentingan pengusaha dapat berjalan beriringan? Salah satu cara untuk mencapainya adalah dengan merancang kebijakan yang berpihak pada keseimbangan antara kedua pihak.
Beberapa contoh yang bisa dikategorikan sebagai best practices, antara lain di Kabupaten Bontang, di daerah ini izin pembukaan Indomaret dan Alfamaret dibatasi hanya boleh ada satu di setiap kelurahan. Demikian halnya di Kota Padang, dan beberapa kabupaten di Kalimantan Timur, Gubernur melakukan pembatasan izin usaha pendirian pusat-pusat perbelanjaan modern. Kebijakan-kebijakan tersebut semua dimaksudkan agar tidak merugikan pedagang kecil, yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi masyarakat.
Selain itu, upaya lain yang perlu dilakukan adalah adanya tekanan yang konstruktif dari masyarakat agar kebijakan yang diambil tetap memperhatikan keberlangsungan usaha mikro dan kecil. Oleh karena itu, asosiasi perkumpulan pedagang kecil dan sejenisnya harus menjadi bagian dari kekuatan masyarakat untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan pemerintah.
Asosiasi-asosiasi pedagang kecil atau organisasi serupa harus melakukan aksi demostratif , membangun posisi tawar yang kuat, agar efektif dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan. Dalam struktur argumen kebijakan, jika kelompok pemorotes atau yang tidak setuju terhadap kebijakan jumlahnya sedikit dan tidak memiliki pengaruh yang besar, maka pengambilan keputusan cenderung akan mengacu pada kelompok yang mendukung kebijakan pemerintah. Maka dari itu, penting bagi organisasi pedagang kecil untuk lebih terorganisir dan berperan aktif dalam memperjuangkan kepentingan mereka.
*) Staf Pengajar FISIP Universitas Lampung