Pembinaan yang Membinasakan

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial Pascasarjana FKIP Unila

Akhir-akhir ini banyak kita jumpai pada kehidupan nyata adanya upaya dari pihak penguasa dengan dalil pembinaan, tetapi justru itu merupakan kata penghalus dari pembinasaa. Sebagai contoh, karena ketidakmampuan menjadi pemimpin, maka dengan kekuasaan yang dimiliki, melakukan distorsi kata, seperti pemecatan diganti dengan mempermalukan, dirumahkan sebagai kata ganti pemutusan hubungan kerja. Masih banyak lagi diksi yang bermakna beda dengan apa yang menjadi kenyataannya.

Pola perubahan makna serupa ini dimulai sejak Orde Baru. Pada masa itu utang luar negeri disebut  “bantuan luar negeri”, ditahan diganti dengan istilah diamankan. Masih banyak lagi ketidakjujuran ditampilkan. Entah mengapa akhir-akhir ini, iklim pembalikan makna diksi ini kabuh lagi; terutama dilakukan oleh unsur pemerintahan juga.

Tukang sapu jalan karena ikut demo memperjuangkan haknya, diberhentikan dengan alasan membuat malu, walaupun diksi itu tidak pernah ada pada ranah hukum. Sementara pendampinnya karena sudah dapat “uang saku” lalu kabur, pegawai yang diperjuangkan ditinggal di pinggir jalan. Pegawai universitas karena diduga ada kaitannya dengan rezim sebelumnya, maka diberhentikan dengan dalih “perampingan pegawai”, walaupun kenyataannya tidak ada satu pun tes sebagai penyaring untuk perampingan tadi. Bahkan surat keputusannya sudah ada sebelum rapat dimulai. Dengan kata lain, ditentukan duluan baru dibicarakan.

Ironis lagi, pada waktu pimpinan daerah adalah sang suami, program bina lingkungan (biling) jadi politik andalan. Sekarang ketika sang istri berkuasa, menjadi program “pemaksaan”. Sekolah harus ada program biling. Uang bantuan tidak diberikan. Jika protes maka surat keputusan pemecatan sudah disiapkan. Alasannya yang protes perlu pembinaan, walaupun kenyataannya pembinasaan. Pada sisi lain: jika berpijak dari pemikiran Dandy Ibrahim seorang wartawan senior di kota ini mengatakan bahwa dana biling pertanggungjawabannya tidak jelas, bahkan dugaannya bisa disalahgunakan. Ada dana BOS yang besarannya cukup lumayan untuk per-anak. Jika dianggap kurang sekolah bisa membuat RKS dan memanfatkan dana komite untuk menutupi kekurangan dana BOS. Belum lagi ada BOS-DA yang dipersiapkan pemerintah, walaupun yang ini kedengaranya samar samar.

Bisa jadi informasi ini benar. Oleh karena itu, titik tumpu ada pada pembinaan dalam penggunaan, atau istilah sekarang disebut pendampingan; hanya saja mendampingi dengan “ikut serta menyediakan” tempat penyaluran tak resmi, bisa saja terjadi; karena keduanya dapat berkelindan dalam aspek operasionalnya. Sementara itu; menurut Fathoni seorang ilmuwan muda mengatakan bahwa nama BOS itu yang kurang tepat karena bisa bermakna lain, beda kalau namanya DANSI alias dana siswa.

Tampaknya ada “pembinaan” tersetruktur dari para bos yang bermakna sebagai Juragan; sehingga konotasi BOS dengan Bos menjadi kata sulih yang bertulis sama bermakna beda. Kasihan mereka yang paling bawah karena harus hati-hati berada pada garis “pembinaan” dengan “pembinasaan”; yang lebarnya sangat tipis sekali.

Semua di atas baru yang mikro. Apalagi atas nama demokrasi semua orang boleh bicara apa saja. Wal hasil, ada adagium pasangan yang terbalik yaitu: pembinaan yang membinasakan; membinasakan dengan dibina terlebih dahulu. Bagaimana ketua RT diberi insentif (kata ganti honorarium),  yang semua itu digunakan sebagai tali kendali politik. Jika ada ketua RT yang membangkang dengan mudah dipecat tengah jalan dengan alasan penyegaran; terutama saat dilaksakannya pemilihan pemimpin utama di suatu wilayah atau apapun namanya.

Namun begitu menunggak tidak bisa bayar, dengan ringan dikatakan, itu berupa insentif jika ada anggarannya, dengan kata lain tidak wajib untuk diberikan jika tidak ada uangnya. Tampaknya pepatah lama berlaku untuk kasus ini yang mengatakan “habis manis sepah dibuang”. Tinggal harapannya ada di legislatif yang mudah mudahan masih memiliki hati nurani untuk tidak ikut membinasakan.

Uang rakyat untuk bancakan guna memuaskan libido penguasa. Ironisnya berlindung pada kepentingan rakyat dengan menggunakan kausa kata “pembinaan”; walaupun ujungnya semua orang tau adalah memperbesar pundi-pundi penguasa.

Semoga Tuhan menyelamatkan negeri ini dari para penguasa yang lalim.