Opini  

Pemda tidak Cukup Dana: Ancaman bagi Pelayanan Publik?

Dr. Syarief Makhya (Foto: Istimewa)
Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh Syarief Makhya

Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal (RMD), dalam rapat dengar pendapat bersama Menteri Dalam Negeri serta sejumlah gubernur dengan Komisi II DPR RI, menyampaikan secara terang-terangan bahwa anggaran yang tersedia tidak mencukupi untuk memperbaiki jalan-jalan yang rusak

Gubernur Mirza menyampaikan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya berkontribusi sekitar 6%. Sebagian besar daerah di Lampung masih sangat bergantung pada dana dari pemerintah pusat seperti DAU, DAK, dan DBH.Dari 15 kabupaten/kota, sekitar 10 hingga 11 daerah memiliki PAD di bawah 10%, bahkan ada yang hanya 3%. Hal ini berdampak pada terbatasnya anggaran belanja modal.

Dari total belanja Rp7,5 triliun, hanya Rp1,2 triliun yang bisa digunakan untuk pembangunan infrastruktur, termasuk jalan sepanjang 1.700 km yang melayani 9,4 juta penduduk. Salah satu kabupaten bahkan hanya memiliki anggaran Rp30 miliar untuk memperbaiki 2.400 km jalan. (rmolllampung, .id/soal-jalan-rusak-gubernur-lampung-curhat-minim-anggaran-ke-dpr-ri, diakses 1 Mei 2025).

Dari data tersebut ada tiga persoalan dasar yaitu PAD rendah, belanja modal lebih kecil dibandingkan belanja pegawai, tidak ada kontribusi langsung pajak dari BUMN untuk peningkatan PAD, dan daerah sangat tergantung pada dana transfer. Akibatnya , upaya untuk memperbaiki kondisi jalan yang sangat buruk tidak dapat dilakukan karena anggaran tidak cukup tersedia..

Kondisi kekurangan anggaran tersebut sudah berlangsung cukup lama. Bukan karena persoalan ketidaktahuan bagaimana mengatasi persoalan tersebut, tetapi karena problem struktural. Minimnya anggaran bukan sekadar akibat lemahnya kinerja atau kesalahan pengelolaan daerah, tetapi disebabkan masalah mendasar dalam sistem atau struktur pemerintahan dan keuangan daerah.

Problem struktural yang menyebabkan kekurangan anggaran di daerah meliputi beberapa hal. Pertama, keterbatasan kewenangan fiskal, yaitu pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan untuk menggali potensi ekonomi lokal atau memungut pajak secara signifikan.

Kedua, ketergantungan pada sektor ekonomi yang tidak memberi dampak fiskal langsung, seperti pertambangan atau pelabuhan yang dikelola oleh BUMN atau pemerintah pusat.

Ketiga, desain sistem keuangan daerah yang timpang, yaitu sebagian besar pendapatan daerah bersumber dari transfer pemerintah pusat seperti DAU, DAK, dan DBH, bukan dari pendapatan asli daerah. Keempat, ketimpangan pembangunan dan infrastruktur, yang menghambat pengembangan potensi ekonomi lokal sebagai sumber pendapatan.

Dengan demikian, persoalan kekurangan anggaran bukan sekadar masalah pengelolaan, tetapi berkaitan dengan aturan, kewenangan, dan desain hubungan pusat-daerah yang secara struktural tidak menguntungkan bagi daerah.

Bagaimana Mengatasinya?

Minimnya anggaran akibat problem struktural membuat upaya daerah untuk mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak cukup mampu memenuhi kebutuhan anggaran yang sangat besar untuk meningkatkan pelayanan publik. Kondisi ini menunjukkan bahwa peningkatan PAD tidak bisa sepenuhnya mengandalkan sektor pajak daerah.

Berdasarkan hasil riset, kontribusi PAD terhadap total APBD di banyak daerah paling tinggi hanya mencapai sekitar 30%, sementara sebagian besar masih bergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat (Makhya, 2023) .

Oleh karena itu, pilihannya, pemda harus berupaya untuk meningkatkan dana transfer dari pemerintah pusat, memperjuangkan agar perusahan-perusahan milik BUMN memiliki kontribusi terhadap pajak daerah , dan secara bersama -sama kepala daerah di seluruh Indonesia untuk merformasi sistem keuangan daerah yang bisa menguntungkkan daerah

Selain itu, harus dilakukan reformasi stuktural di sektor keuangan daerah. Juga perlu diimbangi dengan efisiensi sumber daya manuia pemerintahan yang sekrang kondisinya sangat gemuk . Dengan tata kelola pemerintahan daerah yang sekrang rata-rata sudah menggunakan teknologi informasi, dan berbasis aplikasi, pekerjaan yang tadinya dikerjakan 4-5 orang, sekrang cukup di kerjakan satu pegawai.

Efisiensi atau penghematan anggaran yang diintruksikan Presiden Prabowo yaitu kebijakan untuk mengalihkan belanja negara dan daerah ke program-program yang berdampak langsung bagi masyarakat, seperti pembangunan infrastruktur, ketahanan pangan, layanan kesehatan, dan pendidikan, sekaligus mengurangi pemborosan dalam belanja operasional seperti perjalanan dinas, kegiatan seremonial, dan pengadaan barang yang tidak mendesak.

Efesiensi juga bisa dilakukan dengan cara Dinas Informasi dan Komunikasi, anggaran kerjasama media, tujuannya kegiatan gubernur yang diliput media, dengan biaya Rp 50 miliar per tahun atau sekitar Rp250 miliar/tahun. Tetapi, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulayadi bisa melakukan sendiri melalaui IG, Tiktok, dan Youtube yang bisa menghemat anggaran hanya Rp3 miliar/tahun .

Dengan pengghematan ini bisa dilakukan realokasi angaran belanja media menjadi belanja infrastruktur sebesar Rp57 miliar.

Pelayanan Publik

Setidaknya terdapat empat ancaman utama jika pemerintah daerah gagal meningkatkan anggaran, khususnya untuk mendukung pembangunan dan pelayanan publik: Pertama,
keterbatasan anggaran menyebabkan pemerintah daerah kesulitan dalam menyediakan layanan dasar seperti kesehatan, pendidikan, air bersih, dan transportasi. Akibatnya, kualitas hidup masyarakat dapat menurun secara signifikan.

Kedua, minimnya dana menghambat pembangunan maupun pemeliharaan infrastruktur penting seperti jalan, jembatan, fasilitas kesehatan, dan sekolah. Hal ini berdampak langsung pada mobilitas ekonomi dan memperlebar kesenjangan antarwilayah.

Ketiga, ruang fiskal yang sempit membuat program pengentasan kemiskinan dan bantuan sosial sulit dijalankan secara optimal. Ini berpotensi memperdalam ketimpangan antar kelompok masyarakat serta antara daerah maju dan tertinggal.

Keempat, ketergantungan permanen pada pemerintah pusat; tanpa peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), pemerintah daerah akan terus bergantung pada dana transfer dari pusat seperti DAU, DAK, dan DBH.

Ketergantungan ini mengurangi kemandirian fiskal dan membatasi kemampuan daerah dalam menentukan dan menjalankan prioritas pembangunan secara otonom.

Akhirnya, dalam konteks politik, citra positif kinerja layanan publik berkorelasi positif dengan meningkatnya kerprcayaan masyarakat terhadap kepala daerah dan kinerja pemerintahan daerah . Dalam perspektif ini keberhasilan meningkatkan kualuitas pelayanan publik, merupakan bagian dari investasi politik untuk meraih dukungan rakyat di masa yang akan datang. ***

Dr. Syarief Makhya adalah Dosen FISIP Universitas Lampung