Opini  

Pemerintah di Persimpangan Jalan: Antara Ekonomi dan Kesehatan

Pandu Wibowo/Ist
Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Pandu Wibowo*

Antara pemulihan ekonomi nasional dan kesehatan masyarakat menjadi keputusan yang harus diambil oleh pemerintah secara hati-hati dan tepat, karena dampak pengambilan keputusan (trade off) ini langsung dirasakan secara cepat oleh 200 juta rakyat Indonesia.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru-baru ini telah melayangkan pernyataan kontroversial kepada masyarakat Indonesia yakni Indonesia akan memasuki fase tatanan kehidupan baru yang disebut ”The New Normal” akibat pandemi Covid-19 yang sudah berbulan-bulan tidak selesai juga, bahkan tidak sama sekali menunjukan penurunan angka penularan setiap harinya. Dalam rapat terbatas bersama para Menterinya, Presiden juga menyampaikan rencana pengurangan pembatasan sosial hingga perizinan operasi di beberapa sektor yang mulai akan dikaji kembali.

Rencana “The New Normal” ini bukan tanpa alasan. Pemerintah menginginkan perekonomian Indonesia kembali pulih. Sampai saat ini, pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan rontok dari 3 persen menjadi 1,5 persen atau bahkan lebih rendah akibat wabah Covid-19, dan kerontokan ekonomi dunia tersebut menular ke Indonesia.

Perekonomian Indonesia pada kuartal 1 terjadi kontraksi dari biasanya 5 persen menjadi 2,8 persen, angka pengangguran meningkat tajam di angka 6,4 juta jiwa, investasi hanya tumbuh 1,7 persen dari sebelumnya 5 persen. Apabila kondisi ekonomi ini dibiarkan, maka Indonesia akan menjadi negara yang gagal dalam perekonomian, dan akan memicu krisis sosial yang amat besar. Namun, rencana “The New Normal” bukan tanpa kritik.

Kritik dimulai dari para pakar kesehatan dan juga para tenaga medis yang sedang berjuang di lapangan dalam menangani pasien Covid-19. Mereka mempertanyakan, mengapa angka penularan Covid-19 belum turun, tetapi rencana “The New Normal” sudah dilayangkan pemerintah? Justeru menurut para pakar kesehatan, rencana tersebut akan menambah angka positif Covid-19 dan angka kematian masyarakat karena Covid-19 di Indonesia, dan Indonesia sendiri tidak akan pernah menemui kapan wabah ini berakhir.

Tentu dengan melihat kondisi perekonomian nasional dan kesehatan masyarakat saat ini, seolah pemerintah sedang ada di persimpangan jalan. Mau jalan menuju pemulihan ekonomi atau jalan pemulihan kesehatan masyarakat. Ibarat buah simalakama, masing-masing kebijakan tersebut memiliki sisi positif dan negatifnya, serta dampak besar yang ada dibelakangnya.

Dalam kondisi seperti ini, pemerintah tidak boleh dilema. Pemerintah juga tidak boleh seolah mengikuti trend negara-negara dunia yang telah menerapkan “The New Normal”. Pemerintah harus jeli melihat kondisi di dalam negaranya, karena kondisinya berbeda dengan negara-negara lain di dunia. Pemerintah harus tegas dan tepat dalam menentukan kebijakan. Oleh sebab itu, sebelum kebijakan dikeluarkan, maka harus dilakukan pengkajian yang serius dengan melibatkan para pakar, terutama pakar ekonomi dan kesehatan masyarakat.

Korea Selatan, Vietman, Taiwan, Selandia Baru adalah beberapa negara yang telah menerapkan “The New Normal”. Penerapan “The New Normal” bukan asal kebijakan yang dilakukan, melainkan kondisi di negara-negara tersebut angka positif Covid-19 dan angka kematian karena Covid-19 menunjukan penurunan atau kurva datar (flatten the curve). World Health Organization (WHO) juga menyampaikan bahwa “The New Normal” memiliki syarat-syarat penting yang harus dimiliki oleh negara yang terdampak Covid-19, yakni salah satunya adalah angka positif Covid-19 menunjukan penurunan.

Apakah kebijakan “The New Normal” sudah tepat dilakukan?

Chandler dan Plano (1988) selaku filosof ilmu kebijakan publik selalu mengatakan dalam setiap kesempatan kepada para murid-muridnya, yakni “To determine public policy, it must consider current conditions and available resources”. Sebagaimana yang disampaikan oleh Chandler dan Plano, menentukan kebijakan publik harus didasarkan pada sebuah kondisi yang rasakan dan juga ketersediaan sumber daya yang ada. Apabila sebuah kebijakan publik ditentukan dan diterapkan tanpa mempertimbangkan aspek tersebut, maka kebijakan publik akan gagal dan menambah dampak negatif di sebuah tatanan sosial.

Merujuk dari teori Chandler dan Plano, kiranya apabila pemerintah memaksakan kebijakan “The New Normal” tanpa memperhatikan jumlah angka positif Covid-19 dan jumlah masyarakat yang meninggal karena Covid-19 yang terus bertambah setiap harinya, maka kebijakan “The New Normal” adalah kebijakan yang tidak tepat dilakukan untuk saat ini. Ada sebuah opportunity cost (biaya peluang) yang hilang, yakni hilangnya nyawa masyarakat, dan hilangnya kesempatan masyarakat untuk sembuh serta hidup sehat kembali dari Covid-19 ini. Padahal dalam prinsip human capital, manusia adalah aset, jadi apapun situasi dan kondisinya, kesehatan, keselamatan, dan kenyamanan manusia harus menjadi prioritas utama.

Sebaliknya, jika pemerintah lebih memilih kebijakan “The New Normal” hanya karena alasan pemulihan ekonomi di tengah kondisi Covid-19 yang belum menunjukan angka penurunan, maka pemerintah sama saja membiarkan masyarakat bekerja namun dengan risiko kematian yang tinggi. Bahkan seharusnya, pemerintah menjamin hidup masyarakat di tengah kondisi pandemi Covid-19 untuk tetap berdiam di rumah dan tidak bekerja sementara, namun tetap diberikan insentif kehidupan (makan, minum, dan kebutuhan pokok lainnya).

Dengan melihat kondisi dan fakta di lapangan dan juga rencana pemerintah menerapkan kebijakan “The New Normal” ini, ada 3 sekenario yang harus menjadi pertimbangan pemerintah, yakni:

Pertama, skenario choose economics. Dalam skenario ini, pemerintah akan kembali memulihkan kondisi ekonomi dengan cara relaksasi kebijakan isolasi masyarakat seperti diperbolehkannya masyarakat untuk bebas melakukan aktivitas ekonomi di publik dengan tujuan agar ada perputaran dan pemulihan ekonomi. Namun dampak dari choose economics adalah jumlah kasus positif Covid-19 akan terus bertambah, angka kematian karena Covid-19 terus meningkat, dan masa berakhir Covid-19 yang lama atau bahkan tidak tahu kapan berakhirnya.

Kedua, skenario choose health. Dalam skenario ini, pemerintah lebih memilih fokus menurunkan angka penyebaran Covid-19, menangani pasien Covid-19, dan menekan angka kematian masyarakat karena Covid-19. Namun dampak dari choose health adalah lesunya pertumbuhan ekonomi nasional yang ditandai dengan jumlah pengangguran meningkat dan pertumbahan ekonomi melambat.

Ketiga, skenario moderate step. Dalam skenario ini, pemerintah bukan berarti memilih untuk fokus di keduanya (ekonomi dan kesehatan), karena hal itu tidak akan dapat berjalan secara efektif di antara keduanya. Maksud sekenario moderate step adalah menyelesaikan satu permasalahan terlebih dahulu sampai timbul sinyal positif masalah itu akan selesai, baru beranjak menyelesaikan permasalan lainnya. Dalam hal ini, pemerintah bisa tetap fokus menekan angka Covid-19 sampai dengan menunjukan penurunan (flatten the curve) baru secara bertahap beranjak ke kebijakan pemulihan ekonomi nasional.

Berdasarkan 3 (tiga) skenario di atas, penulis lebih memilih sekenario ketiga yakni moderate step, mengingat jika pemerintah memilih skenario pertama atau kedua (choose economics dan choose health) akan menghasilkan opportunity cost sehingga timbul adanya eksternalitas negatif di tatanan masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, untuk mengindari buah simalakama atas pemilihan kebijakan dimaksud, moderate step menjadi kebijakan yang paling realistis untuk dipilih.

Dalam skenario moderate step ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan, dipertimbangkan, dan dilakukan oleh pemerintah untuk menjadi rekomendasi kebijakan, yaitu:

1. Saat ini pemerintah harus tetap fokus menekan jumlah penularan kasus Covid-19, angka kematian masyarakat karena Covid-19, dan pemulihan pasien yang sedang dirawat karena tertular Covid-19. Selain itu, pemerintah juga harus berhasil dalam melakukan pemetaan kasus Covid-19 dengan melakukan tes masal kepada masyarakat yang belum dilakukan secara maksimal sampai dengan saat ini. Hal in perlu dilakukan guna mengetahui wilayah penyebaran Covid-19 di Indonesia.

2. Dalam hal penanganan dan penekanan angka Covid-19 sebelum dilakukannya kebijakan “The New Normal”, maka pemerintah harus menjamin kehidupan masyarakat yang diminta untuk tetap di rumah mulai dari menjamin bahan makanan dan minuman, serta kebutuhan pokok lainnya. Hal ini perlu dilakukan oleh pemerintah sebagai bukti bahwa pemerintah peduli terhadap rakyatnya dan menunjukan bahwa Indonesia bukan negara miskin.

3. Apabila pemerintah telah berhasil menekan jumlah korban Covid-19 tersebut dengan menunjukan angka penurunan bahkan sampai dengan flatten the curve, maka pemerintah baru bisa secara bertahap melakukan kebijakan pemulihan ekonomi nasional, dengan membuka izin usaha/kantor kembali dan membebaskan aktivitas masyarakat di publik.

4. Pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan “The New Normal” dengan beberapa persyaratan ketat, yakni: selain menurunnya angka penyebaran Covid-19, angka orang dalam pemantauan (ODP), dan angka orang yang meninggal dunia, juga harus tetap memperhatikan kebijakan protokol kesehatan yang telah ditetapkan dan disosialisasikan pemerintah selama ini.

Dengan memilih kebijakan sekenario moderate step dan rekomendasi kebijakan yang penulis sampaikan, maka dengan ini penanganan Covid-19 di Indonesia dapat berjalan dengan baik yakni tetap fokus dalam penyelamatan masyarakat dari ancaman Covid-19, sehingga secara bertahap beranjak dalam pemulihan ekonomi nasional.***

*Pandu Wibowo, S.Sos, M.E adalah Dewan Peneliti Center for Information and Development Studies (CIDES) Indonesia