Saat ini sebagian wilayah Indonesia telah mulai turun hujan meski sebagian besar masih menghadapi kekeringan. Bahkan lima propinsi yaitu Riau, Jambi, Sumsel, Kalbar dan Kalimantan Tengah masih dilanda bencana dengan sebutan bencana asap. Secara kumulatif, menurut pemerintah kerugian ekonomi atas kasus kebakaran ini mencapai 100 miliar rupiah.
Untuk mengatasi kebakaran, negara lagi-lagi dipaksa menjadi pihak yang paling bertanggung jawab untuk menggelontorkan miliaran rupiah uang dari APBN dan APBD guna memadamkan api, dan bukan dari pihak yang membakar. Tidak urung Presiden pun harus menyampaikan maaf pada negera-negara tetangga. Jika seperti ini terus adanya, Walhi menilai bahwa negara telah kalah dan tiga kali merugi.
Pertama hutan yang terbakar menyebabkan rusaknya ekosistem dan tercemarnya lingkungan oleh asap.
Kedua, terdapat ribuan masyarakat dilokasi kebakaran telah terdampak penyakit ispa dan ketiga, dana pajak masyarakat digunakan untuk memadamkan api khususnya di konsesi-konsesi perusahaan yang lahannya terbakar. Dan khusus di Riau kasus dibakar dan terbakarnya hutan dan lahan seolah tak jemu-jemu karena berturut – turut terjadi dalam kurun 17 tahun. Semua hal tersebut merupakan preseden buruk dan Walhi mengingatkan agar tidak boleh terulang lagi diera pememerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
Kelemahan UU No.24 tahun 2007 yang hanya menyebutkan tiga katagori bencana, menyebabkan bencana asap tidak mampu terjawab masuk dalam katagoari bencana apa?. Karenanya dikenalkan istilah baru yaitu bencana asap, dan konsekuansi atas semua ini maka mau tidak mau memang negara yang harus bertanggung jawab.
Walhi sejak lama mengkatagorikan kebakaran hutan dan lahan sebagai bencana ekologis bertujuan agar negara berwibawa dan tidak selalu dirugikan. Dan terpenting adalah menempatkan subjek pembakar hutan dan lahan sebagai pihak yang paling bertanggung jawab, bukan negara yang harus bersusah payah memadamkan api dilahan konsesi dan menggunakan dana pajak masyarakat.
Dalam sepuluh bulan terakhir Walhi mencatat terdapat 1,3 juta pengungsi bencana ekologis, padahal Indonesia tidak dalam situasi perang namun jumlah pengungsi begitu besar. Untuk memperkecil risiko bencana, Walhi meminta pemerintah memberikan perhatian serius kepada daerah yang memiliki tingkat degradasi daerah aliran sungai dan deforestasi hutan yang tinggi. Daerah yang memiliki ruang terbuka hijau terbatas, tekstur tanah yang labil serta daerah daerah yang memiliki perbedaan tidak jelas antara musim hujan dan kemarau. Daerah tersebut seperti sebagian besar pulau Jawa, pantai barat Sumatera, NTT, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan.
Mengingat esensi bencana adalah hak, maka untuk meminimalisir jatuhnya korban jiwa dan besarnya kerugian ekonomi akibat banjir, Walhi menyarankan kepada pemerintah agar siap siaga dan semaksimal mungkin menyiapkan sumber daya yang dimiliki termasuk perlatan tempur non perang agar mudah dimobilisasi bila terjadi banjir.
Masyarakat yang oleh pemerintah wilayahnya dikategorikan rawan bencana, untuk terus waspada dan membangun kekuatan kolektif untuk mereduksi ancaman dan risiko bencana dikemudian hari. Dalam situasi politik negara yang belum stabil agak sulit mengharapkan negara hadir lebih awal di lokasi bencana. Karena itu, sekali lagi, Walhi mengharapkan terbangunya kemandirian masyarakat sebagai kunci utama menghadapi bencana.
Mukri Friatna,
Manajer Penanganan Bencana Eksekutif Nasional WALHI