Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
Setelah melalui perjalanan panjang daerah ini memiliki pemimpin baru; baru dalam konteks segalanya; dari generasi baru, orang baru, partainyapun relatif baru. Tidak kalah pentingnya adalah harapan baru yang dipikulkan kepada pemimpin baru dari semua warga yang ada di wilayah ini.
Berdasarkan pengalaman masa lampau, pengalaman birokrasi yang panjang dari seorang pemimpin kepala daerah, tidak menjamin memberikan solusi permasalahan daerahnya dengan baik. Bahkan kejadian sebaliknya, yang ada hanya marah-marah bila tidak satu pikiran dengannya. Kali ini kita disuguhkan pemimpin yang tidak memiliki latarbelakang pengalaman birokrasi kepemerintahan, bahkan murni politikus dan pengusaha. Tentu saja sebagai hukum alam dan hukum sosial, kesalahan itu ada di mana-mana, tidak terkecuali kita semua. Yang paling penting adalah kesiapan mau di koreksi, mau diberi saran, mau mendengarkan.
Belum beberapa jam saja, pemimpin baru sudah mendapat “pukulan ringan” dari mereka yang tidak menyukai keberadaannya, dengan cara menyebarkan melalui media sosial bahwa pada waktu membacakan teks falsafah negara, dilompatkan ke nomor urutan berikut. Ternyata hal ini langsung disambut oleh pemerhati media sosial Lampung dengan memberikan koreksi dan tanggapan bahwa berita itu adalah hoaks. Ia memberikan klarifikasi bukti lengkap akan hal itu. Sayangnya sampai tulisan ini dibuat, permohonan maaf dan penarikan medsos sesat tadi belum dilakukan.
Tentu ke depan peristiwa-peristiwa seperti ini akan muncul sebagai wujud dinamika kehidupan. Hal itu tidak perlu dirisaukan sejauh ada bukti-bukti untuk meluruskan. Justru di sini peran Dinas Kominfo sangat diperlukan.
Lalu apa harapan yang mendesak untuk diselesaikan oleh pemimpin muda harapan bangsa ini ke depan? Pertama, infrastruktur jalan yang sudah begitu amat sangat mendesak. Bisa dirasakan jalan-jalan provinsi yang ada hampir semua wilayah kondisinya hancur, sebagai contoh jalan-jalan di wilayah perbatasan provinsi yang berhadapan dengan provinsi tetangga hampir semua tidak layak jalan. Bahkan ada satu jalan fital secara ekonomi, namun sudah lebih dari sepuluh tahun tidak tersentuh aspal perbaikan sekalipun.
Kedua, ekonomi kerakyatan yang bersinggungan langsung dengan periuk nasi mereka. Sebagai contoh harga komoditas pertanian yang dengan mudah dikendalikan oleh para pemilik modal. Akhirnya rakyat menjadi sangat sengsara, karena jika panen harga menjadi hancur. Sementara jika tidak dalam kondisi panen, harga dinaikkan sejadi-jadinya dengan dalih hukum ekonomi pasar. Di sini kehadiran pemerintah daerah sangat dinanti oleh warga untuk dapat memberikan solusi. Pembelajaran yang diperoleh dari kasus Singkong yang menasional, menunjukkan kelemahan pemimpin daerah pada masa lalu terhadap rakyatnya.
Ketiga, keamanan yang akhir-akhir ini mencuat kembali kepermukaan. Harus ada koordinasi tingkat pimpinan agar ada semacam kerjasama kelembagaan yang terusmenerus dari atas sampai bawah, terutama pengadaan fasilitas pendukung; agar mobilitas petugas keamanan dalam memberikan rasa aman untuk dapat hadir ditengah masyarakat menjadi semakin terasa.
Keempat, bidang pendidikan dan kesehatan. Program makan siang bergizi itu tidak dapat dilaksanakan dengan maksimal manakala bidang pendidikan dan kesehatan berjalan sendiri-sendiri. Harus ada semacam pusat pengendali di bawah langsung pimpinan daerah, agar program tersebut berjalan sesuai dengan arahan pemerintah pusat; jika itu tidak dipikirkan dan dirancang dengan baik, maka yang akan terjadi adalah membuat sarang korupsi baru bagi para penyelenggara negara. Belajar dari kosus Covid yang banyak meninggalkan catatan-catatan merah pada bidang pembiayaan dan keuangan.
Kelima, bidang birokrasi. Pada bidang ini karena menyangkut tataaturan administrasi negara, pimpinan daerah diminta hati-hati sebelum mengambil keputusan. Jangan sampai pemindahan/mutasi, pengangkatan pada jabatan-jabatan tertentu yang menjadi kewenangan pimpinan daerah justru dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu untuk memuluskan keinginannya dengan berlindung dari ketidakpahaman administrasi negara dari pimpinan daerah.
Untuk itu, tidak salah jika “team sinkronisasi” dan atau apapun namanya yang membantu kepala daerah mempersiapkan segalanya ini, dapat menangkap aspirasi dan merumuskannya dalam bentuk kebijakan, dan kemudian menjadi masukan Badan Perencana Daerah untuk menyusun kebijakkan program.
Masih banyak hal yang harus didiskusikan. Diskusi-diskusi dialogis baik formal maupun informal yang pernah dibangun semasa Haris Hasyim, Ansori Djausal, Muhajir Utomo dan masih banyak lagi, patut untuk dihidupkan kembali dengan darah muda baru agar ada ruang partisipasi publik terbangun guna kepentingan daerah ini ke depan.