Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di FKIP Unila
Pada saat berjalan bersama dengan seorang profesor yang juga generasi penerus; menuju tempat acara pertemuan ilmiah di perbatasan negara ini, beliau membeberkan fakta fakta bagaimana pemimpin yang tidak memimpin. Dengan sejumlah argumentasi teoretis yang tajam, pisau analisis digunakan dengan begitu piawai. Sebagai teman, sahabat, juga guru; saya menilai membanggakan sekali keprofesorannya begitu tampak. Namun, ada dimensi kosong yang belum terisi, yaitu dimensi filosofis. Banyak hal yang juga perlu dikaji diditemukenali persoalannya. Sebagai orang yang dituakan tentu berkewajiban mengisinya dengan bijak dan benar.
Tamsil yang akan dijadikan pintu masuk adalah kisah dialog jiwa dan raga; saat manusia digiring menghadapi pengadilan akhirat. Jiwa merasa bahwa perbuatan salah selama ini harusnya Raga yang menanggung, karena ragalah selama ini yang menikmati dunia. Sebaliknya, raga merasa perbuatan apa pun adalah hasil perintah jiwa. Oleh karena itu, jiwalah yang bertanggung jawab. Mereka bersitegang mempersoalkan siapa yang pemimpin dan siapa yang dipimpin, kaitannya dengan pertanggungjawaban perbuatan.
Hasil nukilan yang ditelusuri, diperoleh informasi bahwa jiwa sebagai jauhar rohani berasal dari alam Ilahi (alam malakut), sedangkan jasad berasal dari alam kejadian (khalq). Namun, yang jelas, menurut Al-Ghazali, jasad bukan tempat ruh karena tidak mendiami tempat tertentu. Jasad hanyalah merupakan alat. Ruh mendatangi jasad sebagai substansi yang juga diperlukan oleh jasad bantuannya. Ruh mengatur dan bertasaruf (bertindak) pada jasad sebagaimana halnya raja dengan kerajaannya. Keperluan jiwa terhadap badan dapat diumpamakan dengan perlunya bekal bagi musafir. (diunduh 5 Desember 2021)
Seseorang tidak akan sampai kepada Tuhan kalau ruh tidak mendiami jasadnya selama di dunia. Tingkat yang lebih rendah harus dilalui untuk sampai pada tingkat yang lebih tinggi.
Al-Ghazali berkesimpulan bahwa hubungan ruh dengan jasad merupakan hubungan yang saling memengaruhi. Di sini Al-Ghazali mengemukakan hubungan dari segi maknawi karena wujud hubungan itu tidak begitu jelas. Lagi pula ajaran Islam tidak membagi manusia dalam kenyataan hidupnya pada aspek jasad, akal, atau ruh, tetapi merupakan suatu kerangka yang saling membutuhkan dan mengikat. Itulah yang dinamakan manusia.
Ternyata membicarakan pemimpin tidak pernah usai, jika kita melihat dari sisi filosofinya. Sebab, pada badan wadag manusia saja persoalan ini belum selesai; masih ada persoalan persoalan kendali spiritual yang tidak manusia pahami. Terlebih lagi kalau kita bicara masalah pertanggungjawaban akhirat; karena apapun yang kita pimpin, yang memosisikan kita sebagai pemimpin; maka semuanya harus dipertanggungjawabkan.
Melihat bentangan yang didedahkan oleh Al-Ghazali di atas; maka menjadi pemimpin ternyata tidaklah mudah. Salah satu yang menjadikan tidak mudah itu adalah masih belum selesainya pemimpin berdialog dengan dirinya sendiri, untuk menemukenali persoalan diri sebagai pribadi.
Ukuran pemimpin yang baik hampir semua teori menampilkannya; kali ini kita melihat sisi gelap yang harus dijadikan peringatan bahwa pemimpin sebagai manusia juga ada kelemahan yaitu: Sifat pemimpin tidak baik adalah merasa paling benar dan egois. Boleh jadi dengan bersikap tersebut bisa meningkatkan harga dirinya. Tetapi yang terjadi tanpa Ia sadari sikap tersebut bisa membuatnya menjadi pemimpin yang paling benar, angkuh, dan egois (diunduh 6 Desember 2021).
Oleh karena itu, pemimpin yang tidak memimpin itu memiliki ciri (diunduh, 7 Desember 2021, pukul.03.40 WIB): Pertama, Pemimpin antikritikdan tidak mau memberikan pujian. Pemimpin memang bukan manusia sempurna. Sebab itu, setiap kebijakan atau aturannya pasti ada yang tidak sesuai dan kurang. Namun jika dalam penerapannya tidak mau menerima masukan berupa kritik; maka ketidaksempurnaan itu akan memukulnya.
Kedua, Pemimpin yang tukang perintah. Kodrat seorang pemimpin memang untuk memberikan perintah kepada bawahannya. Agar tujuan yang telah disepakati bersama bisa tercapai dengan baik. Namun memberikan perintah dengan seenaknya tanpa arahan yang jelas pun akan menjadi boomerang bagi pemimpin itu sendiri.
Ketiga, Pemimpin yang tidak konsisten. Mengambil keputusan yang tepat memang tidak mudah. Perlu banyak pertimbangan sebelum memutuskan sebuah aturan. Pada dasarnya, setiap bawahan akan mematuhi aturan atau keputusan karena percaya bahwa hal tersebut akan sangat baik. Namun, akan sangat berbeda jika kebijakan tersebut dikeluarkan dengan tidak konsisten dan penuh keraguan. Jika pemimpinnya seperti itu, maka sudah bisa ditebak bukan bagaimana bawahannya akan menanggapi hal kebijakan tersebut? Pemimpin yang tidak konsisten dalam mengambil keputusan, selain akan berakibat buruk pada karyawan itu sendiri, tentunya akan menghambat pula tercapainya tujuan sebuah organisasi.
Keempat, Pemimpin yang tidak bijaksana. Jika pemimpin itu tidak bijaksana maka semua akan menjadi kacau balau, bukan hanya soal komunikasi dari atasan ke karyawan ataupun sebaliknya. Tetapi, bisa terjadi antar sesama karyawan yang bisa menimbulkan konfl ik.Maka dari itu, sangat diperlukan pemimpin yang bijaksana agar konflik-konflik di atas tidak terjadi.
Kelima, Pemimpin yang kurang wawasan dan tidak open minded. Jika seorang pemimpin tidak memiliki wawasan dan kurang open minded, maka bisa disebut sebagai pemimpin tidak baik karena Ia menghambat dan menghalangi apa yang dipimpinnya untuk bisa maju.
Keenam, Pemimpin yang merasa paling benar dan egois. Pemimpin yang memiliki sifat tersebut tidak akan peduli kepada orang lain. Serta dialah yang berhak untuk melakukan apapun dan selalu membuat kebijakan untuk kepentingannya sendiri. Ia pun akan merasa paling benar sehingga kritikan dan masukan yang diberikan orang-orang disekitarnya akan dimentahkan begitu saja dan tidak akan ditindaklanjuti.
Jika kita gabungkan lagi dengan pendapat lain, maka penambahannya semakin panjang; namun keenam point di atas yang utama dan sering muncul kepermukaan; oleh karena itu peringatan Al-Ghazali sudah lama dinukilkan; namun tidak banyak di antara kita yang mau membukanya. Kebanyakan kita ingin mempertontonkan yang berhasil atau yang baik baik saja; padahal sesuatu hal yang tidak baikpun mestinya kita ketahui untuk dijadikan pemandu arah agar langkah kedepan menjadi semakin hati hati. Baik dan tidak baik adalah pasangan; tinggal bagaimana kita memaknainya secara bijak untuk selalu berhikmah.
Selamat ngopi