Feaby|Teraslampung.com
Kotabumi–Meskipun mengapresiasi berakhirnya polemik rencana pabrik tapioka di Desa Talangjembatan, Abungkunang, Lampung Utara, namun DPRD Lampung meminta jaminan kepada eksekutif dan legislatif Lampung Utara bahwa limbah pabrik itu tak akan mencemari aliran Way (sungai) Rarem di sana.
“Pertama-tama, kami apresiasi kesepakatan yang sudah mengakhiri polemik ini,” kata anggota DPRD Lampung Utara, Imam Syuhada, Kamis (8/8/2024).
Kendati demikian, Imam juga meminta jaminan kepada kedua belah pihak tersebut agar limbah dari pabrik tersebut tak akan mencemari aliran Way Rarem. Sebab, yang paling merasakan dampak pencemaran limbah itu adalah warga yang tempat tinggalnya dilintasi oleh aliran Way Rarem. Desa atau kelurahan itu di antaranya Desa Bandarputih, Mulangmaya, Kotaalam, Kotabumiilir.
“Coba dengarkan kegelisahan warga yang dilintasi oleh aliran Way Rarem,” sarannya.
Di samping itu, politisi dari Partai Nasdem ini juga meminta pihak eksekutif dan legislatif Lampung Utara segera mencabut izin kesesuaian pemanfaatan ruang (IKPR). Semua itu dikarenakan adanya kesepakatan untuk merevisi Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (Perda RTRW) Lampung Utara 2014-2034.
“Kalau tidak melanggar, kok Perdanya mau dirubah. Jadi, IKPR itu harusnya tidak berlaku lagi,” kata dia.
Ia juga menyarankan, untuk segera berkonsultasi dengan Pemerintah Pusat terkait rencana revisi tersebut. Perubahan Perda RTRW tidaklah sama dengan perda-perda lainnya. Pembahasan Perda RTRW memerlukan pembahasan yang detil dan mendalam.
“Enggak mudah merevisi Perda RTRW karena akan dievaluasi mendetil dan mendalam oleh Pemerintah Pusat,” tuturnya.
Sebelum Imam Syuhada, telah ada Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Provinsi Lampung yang mengkritik habis-habisan kesepakatan antara Pemkab dan DPRD Lampung Utara untuk mengakhiri polemik rencana pendirian pabrik tapioka di sana. Menurut mereka, kesepakatan itu tak ubahnya seperti upaya pembodohan publik. Padahal, sebelumnya, anggota DPRD Lampung Utara sempat mengancam akan menggunakan hak angket atau hak interplasi karena proses aktivitas pembersihan lahan terus dilakukan meski belum memiliki izin lingkungan.
Konflik seputar rencana pendirian pabrik itu sendiri berakhir dengan happy ending (akhir bahagia) bagi kedua belah pihak menyusul tercapainya kesepakatan untuk merevisi Perda RTRW.
Polemik ini bermula dari penolakan pihak legislatif Lampung Utara terhadap lahan yang akan dijadikan lokasi berdirinya pabrik tapioka tersebut. Lokasi itu dianggap tidak termasuk kawasan industri.
Sesuai pasal 32 dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Lampung Utara tahun 2014-2034, kawasan peruntukan industri itu terdiri dari Kecamatan Kotabumi Utara, Abung Selatan, Bungamayang, Sungkai Utara, dan Sungkai Selatan. Dengan demikian, rencana pendirian pabrik di sana layak untuk dibatalkan.
Sayangnya, pendapat pihak legislatif ini sangat terlambat. Sebab, Pemkab Lampung Utara ternyata telah keburu menerbitkan Izin Kesesuaian Pemanfaatan Ruang (IKPR). IKPR ini menjadi dasar yang akan digunakan untuk memroses perizinan selanjutnya.
Terbitnya IKPR ini dikarenakan pihak eksekutif menganggap bahwa lokasi berdirinya pabrik sama sekali tidak bertentangan dengan aturan. Meskipun tidak termasuk kawasan industri, namun berdirinya pabrik di sana dapat dibenarkan. Pabrik di sana dianggap sebagai industri penunjang perkebunan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 107 di Perda RTRW yang ada. Kesimpulan ini juga diperkuat dengan pertimbangan dari pendapat ahli dari Unila.