MENJELANG aksi damai 212, 2 Desember 2016, sebanyak 10 tokoh ditangkap polisi. Tuduhan bagi mereka tidak tanggung-tanggung: diduga akan melakukan makar. Penangkapan 10 orang itu agak sedikit mengurangi rasa damai sebagian warga masyarakat karena terjadi hampir bersamaan dengan jutaan umat Islam yang datang ke Monas untuk melakukan aksi damai.
Dari 10 nama yang diperiksa polisi, Sri Bintang Pamungkas adalah yang paling jelas rekam jejaknya melawan penguasa. Ia pernah ditahan pada era Orde Baru karena melawan penguasa ketika itu.
Aksi damai di Monas yang dihadiri jutaan orang – termasuk Presiden Joko Widodo dan petinggi RI — bagaimanapun adalah tengara bahwa umat Islam Indonesia memang bisa benar-benar menciptakan kesejukan dan kedamaian. Kita semua sangat bersyukur aksi damai berlangsung lanca, penuh kerukunan, dan begitu indah.
Foto-foto, rekaman video, dan siaran langsung stasiun televisi menggambarkan dengan jelas bagaimana keindahan umat Islam itu terjalin. Fakta itu sekaligus menampik suara sumbang dan kecurigaan bahwa aksi sebelumnya yang digelar pada November lalu disusupi pihak tertentu dengan niat di luar agenda menuntut Ahok ditahan terkait dugaan penistaan agama.
Ketika apresiasi dan pujian untuk para tokoh yang menginisasi dan peserta aksi damai terus membuncah, kini kita justru disodori fakta pemeriksaan 10 orang yang dituduh sebagai ‘merencanakan makar’. Aksi damai 212 membuat kita sangat lega, tetapi penangkapan terhadap 10 orang itu mau tidak mau membuat kita cemas.
Kita layak cemas bukan karena kita selama ini mendukung atau membela 10 tokoh tersebut. Yang kita cemaskan adalah jika ternyata proses untuk menangkap para tertuduh tidak didasarkan pada data yang akurat dan sekadar berdasarkan bukti rekaman wawancara dan teriakan mereka saat ikut aksi pada November lalu. Dari sini beberapa pertanyaan bisa diajukan: apakah syarat-syarat mereka untuk melakukan makar sudah cukup kuat? Bisakah ujaran dengan kata-kata ‘saya akan makar’, ‘ayo kita lawan penguasa’ dan sejenisnya sudah cukup jadi alasan aparat keamanan menangkap dan memeriksa seseorang?
Makar berarti melawan penguasa yang sah dengan tujuan merebut kekuasaan. Untuk melakukan itu, pelaku makar harus memiliki sandaran yang kuat baik berupa dukungan rakyat, dana, maupun aksi intelijen yang rapi. Sementara kita tahu, tidak ada satu pun dari 10 orang yang disebut sebagai tokoh itu memiliki basis dukungan rakyat yang kuat. Mereka memang selama ini tampak keras mengritik pemerintah. Namun, seyogianya hal itu tidak menjadi dasar untuk mencap mereka sebagai pelaku makar. Apalagi kalau ternyata mereka benar-benar mencintai negara dan bangsa Indonesia (NKRI) dan setia kepada Pancasila.
Memang, di antara 10 orang itu layak diduga ada yang keterlaluan dalam memperlakukan simbol negara (Presiden). Yakni dengan melontarkan makian dengan menyebut nama-nama hewan. Bagi warga negara yang laku lajak seperti ini mestinya bisa dikenai pasal menghina lambang atau simbol negara, tetapi bukan dengan pasal makar. Akan halnya tokoh yang memprovokasi masyarakat untuk melawan pemerintah dan memasifkan hasutan dengan tebaran fitnah melalui dunia maya, bisa dikenai pasar dalam KUHP atau UU ITE. Bukan pasal makar.
Jika kritik keras dan sikap melawan penguasa dalam bentuk ujaran dikategorikan makar, alangkah bahayanya kebebasan berekspresi dan berdemokrasi di Indonesia saat ini dan masa mendatang. Pada titik inilah kita berharap polisi hati-hati dalam menangani kasus dugaan makar. Jika tidak, kasus ini akan menjadi serupa bandul yang akan memukul balik pengayunnya. Atau, semacam jebakan batman bagi Presiden Joko Widodo.
Sambil menunggu penjelasan dari Kapolri Jenderal Tito Karnavian terkait kasus dugaan makar, kita berdoa semoga semuanya akan benderang. Semoga aneka kelindan masalah yang dipantik dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) akan terurai.
Semoga hukum tetap menjadi panglima bagi NKRI.
Oyos Saroso H.N.