Jejak  

Pencak Silat Jurus 7 Helang Bukekhang SA, Seni Bela Diri Khas Lampung di Lamsel

Gerakan Kutau mmenggunakan lading (pisau) khua.
Bagikan/Suka/Tweet:

Zainal Asikin | Teraslampung.com

KALIANDA — Agus Eka Satria (46), seorang guru PNS di Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 1 Kalianda yang juga pembina pencak silat “Jurus 7 Helang Bukekhang SA”, mengaku belajar pencak silat Lampung itu dengan ayahnya, Ibnu Hasyim, dan dua teman ayahnya bernama Ibrahim dan Ismail, mantan Kades Kekiling, dan Tumenggung Husin. Mereka belajar  dari seorang guru silat bernama Harun ayah Ibrahim di daerah Palembapang.

BACA: Jurus 7 Helang Bukekhang SA, Pencak Silat Lampung yang Nyaris Punah

“Saya mulai belajar silat sejak  kelas 3 SD Tahun 1982. Saat itu ayah saya sebagai Kepala sekolah SDN 2 Palembapang. Selama 15 tahun saya tinggal dan belajar pencak silat di Palembapang,”ujarnya.

Agus mengaku, dulu pencak silat ini bernama pencak silat Lampung Harimau. Nmanya kemudian diubah menjadi seni bela diri pencak silat “Jurus 7 Helang Bukekhang”.

“Secara harfiah, helang adalah burung elang. Kalau bahasa Lampungnya disebut bahuta. Sementara bukekhang berarti berjemur.  Jadi, helang bukekhang berarti elang berjemur,”kata bapak tiga orang anak ini.

Menurut Agus, dahulu ada dua kecamatan di Lampung Selatan yang melestarikan seni budaya bela diri pencak silat, yaitu Kecamatan Penengahan dan Palembapang.

“Para pelestar seni ini bermufakat bahwa pencak silat Jurus 7 Helang Bukekhang diatasnamakan Keaematan Penengahan yang diketuai Ismail, mantan Kades Kekiling. Untuk jadi kesatuan, pencak silat Jurus 7 Helang Bukekhang ini memiliki satu perguruan seni bela diri pencak silat dengan nama yang sama yang diketuai oleh Ibrahim dan ayah saya. Pada masa itu, latihannya ada tiga tempat yakni Desa Palembapang, Kekiling dan Pematang,” kata Agus.

Agus Eka Satria, pimpinan atau pembina pencak silat “Jurus 7 Helang Bukekhang SA”

Kemudian tahun 1993, lanjut Agus, kedua orangtuanya pindah ke Desa Pematang, Kalianda. Namun, ia masih terus mendalami seni bela diri pencak silat tersebut, bahkan ia juga diminta untuk membina generasi penerus di Desa Pematang dan Palembang. Sedangkan di Desa Kekiling, tidak melanjutkan seni bela diri pencak silat tersebut hingga saat ini.

“Pencak silat ini ada dua versi, ahli waris dari bapak Harun diwariskan ke anaknya bernama Ibrahim dengan nama pencak silat “Jurus 7 Helang Bukekhang” menggunakan 9 jurus dan 9 kutau (gerakan seni). Sementara ayah saya membuka juga dengan nama yang sama di Desa Pematang, tapi versinya diubah yakni 7 jurus dan 7 kutau dan itu berdasaar dari hasil kesepakatan,”kata mantan alumnus STKIP Pelita Bangsa Natar 2010 ini.

Karena kesibukan dan hal lainnya, Agus memutuskan mengajarkan seni pencak silat “Jurus 7 Helang Bukekhang” di tempat kelahirannya di Desa Pematang, Kalianda dibantu oleh teman-temannya dan masyarakat setempat melanjutkan seni bela diri pencak silat tersebut hingga saat ini. Jurus-jurus yang diajarkan dalam pencak silat tersebut jurus 1-7, pertama Tari Melayu, lalu Kutau (gerakan seni) 1-7, Kutau 2 (menggunakan lading khua), Jurus Tongkat, Selawananan (separing) Bebas, Selawanan Tongkat dan Selawanan Pedang.

“Untuk di Desa Palembapang, sempat berhenti tapi tidak lama. Akhirnya dilanjutkan oleh Jailani cucu dari guru ayah saya bernama Harun tersebut. Sebelumnya Jailani ini, belajar bela diri pencak silat ya dari saya juga. Jadi seni bela diri pencak silat adat lampung tersebut, hanya di Desa Pematang dan Palembapang saja yang masih melanjutkannya sampai saat ini,”bebernya.

Agus menceritakan, dirinya pertama kali pentas menunjukkan seni bela diri Pincak Silat “Sumber 7 Helang Bukekhang” ini, yakni di Desa Kahuripan pada saat Radin Inten II dinobatkan secara resmi sebagai pahlawan Nasional. Kemudian saat ia masih duduk dibangku sekolah kelas 3 SMP, pernah diminta untuk pentas di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta dalam acara Kesenian Adat dan Budaya Indonesia.

“Saya dibawa ke Jakarta bersama pak Budiman Yaqub, dan di bawah naungan  Desa Kahuripan, Penengahan,”tuturnya.

Anak-anak SD memperagakan gerakan kutau.

Kemudian pada tahun 2000, ada persatuan mahasiswa Yogyakarta yang mengatasnakaman Lampung sedang meneliti dan mencari seni bela diri pencak silat dan topeng (tuping) yang benar-benar asli dari Lampung untuk pentas acara kesenian di Jakarta. Para mahasiswa tersebut meminta agar 12 topeng asli dari lampung atau kelebihan dari orang lampung dahulu harus ditunjukkan.

“Para mahasiswa ini awalnya datang ke rumah Radin Imba, meminta 12 topeng itu ditunjukkan. Lalu kakek Radin Imba mengatakan ke mereka ada 12 topengnya, tapi yang melaksanakannya tidak ada disini (Kahuripan) dan adanya di tempatnya Pangeran di Desa Pematang. Pangeran yang dimaksud itu, tidak lain adalah kakek saya,”ucapnya.

Ketika para mahasiswa datang di rumah kakeknya, Agus  dipanggil dan saat itu topeng tersebut tidak ada. Namun, saat itu Agus menyatakan bisa mengadakan topengnya asalkan benar apa yang sudah diamanatkan.

“Artinya, dari 12 punggawa topeng yang dimaksud, salah satunya ada Desa Pematang. Tapi kenapa Pematang yang tadinya disebut sebagai Bandar Pematang dan juga Kecapi ini justru tidak pernah ada ataupun dikaitkan. Jadi saat pentas di Jakarta, para mahasiswa dan lainnya yang mengerti tentang seni bela diri pencak silat dan topeng yang melihat pentas seni dan budaya itu mengatakan,kalau pencak silat yang saya tampilkan inilah yang aslinya dari Kalinda, Lampung Selatan,”ungkapnya.

Agus mengaku setelah beberapa tahun menekuni seni bela diri pincak silat tersebut ia mendapatkan petunjuk atau hidayah berupa “sumber alam”.

“Ternyata itu ada keterkaitan dengan sejarah dari pendahulu atau buyut kami yakni Khaja Maghdum. Tapi belum diketahui secara rinci, siapa sebenarnya Khaja Maghdum yang dimaksudkan dan pada masa abad ke berapa. Sesuai dengan hidayah yang saya dapat, nama dari seni bela diri pencak silat ini saya ubah menjadi Jurus 7 Helang Bukekhang SA.  SA yang dimaksud itu adalah Sumber Alam. Makna dari Sumber Alam ini sendiri ada empat unsur yakni unsur tanah, air, api,  dan udara,”jelasnya.

Terkait dengan hal itu, Agus sedikit menceritakan kilas sejarah mengenai Desa Pematang, Kalianda. Menurutnya, di Desa Pematang ini yang dulunya disebut Bandar Pematang, ada seorang Pangeran bernama Gajah Nunggal dan ada tiga anak keturunan dari Gajah Nunggal tersebut.

Kemudian, Gajah Nunggal mengasingkan diri ke suatu tempat dan wilayah itu diberi nama kampung Kuta Dalom, di tempat itu dia (Gajah Nunggal) memiliki istri dan juga keturunan. Nama Kuta Dalom ini, yang sekarang menjadi sebuah desa dikenal dengan sebutan Desa Kota Dalam, Kecamatan Sidomulyo, Lampung Selatan.

“Kuta artinya adalah pagar dan dalom berarti batin. Jadi Kuto Dalom berarti sebagai Pagar Batin dari Gajah Nunggal. Jadi di Desa Pematang dan Kota Dalam ini, masih satu trah keturunan dari Gajah Nunggal,”ujarnya.

Menurutnya, masih banyak sejarah lain di Desa Pematang, Kalianda ini dan wilayah lain di Lampung Selatan yang belum terungkap.

Agus mengaku, sampai saat ini ia dan keturunan lainnya dari Khaja Maghdum dan Gajah Nunggal masih terus menggali dan menelusuri untuk mengetahui akan sejarah tersebut.

Jurus selawanan.

Menurut dia, seni bela diri pencak silat Jurus 7 Helang Bukekhang SA ada keterkaitan dengan sejarah tersebut. Namun, kata dia, hal itu jarang diketahui atau dipelajari oleh masyarakat adat Lampung Selatan.

“Oleh karena itu, kami mengajarkan seni bela diri pencak silat warisan leluhur ini terhadap generasi muda bahwa seni bela diri tradisional adat Lampung ini ada. Tidak hanya itu saja, supaya generasi muda ini mengetahui sejarah yang sebenarnya. Bangsa Indonesia ini kaya akan seni dan budayanya khususnya Lampung, kalau ini tidak dilestarikan dikhawatirkan lambat laun akan hilang,” katanya.

Menurut Agus, dalam seni bela diri ini juga diajarkan mengenai nilai-nilai realigi, seni, olahraga, dan tata krama dalam bersosialisasi dengan individu lain di masyarakat.

“Ada beberapa hal yang tidak ditemukan di bela diri lainnya, tapi dapat ditemukan di seni bela diri pencak silat ini. Yaitu pelajaran mengenai akidah dan akhlak, ajaran tentang nilai-nilai ketuhanan yang menyakini tentang keberadaan tuhan sebagai Sang Pencipta alam. Itu kami ajarkan agar para pesilat terhindar dari perbuatan tidak terpuji seperti korupsi, mencuri ataupun perbuatan buruk lainnya,” katanya.