Opini  

Pencegahan Paham Radikal Terorisme di Sekolah

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Aziz Syamsuddin

Radikalisme dan terorisme merupakan isu nasional bahkan internasional yang relevan untuk dicermati. Hal tersebut menjadi perhatian internasional terutama setelah tragedi Gedung WTC di Amerika pada 11 September 2001 atau yang kerap disebut tragedi 9/11. Di Indonesia sendiri, isu radikalisme dan terorisme ini menjadi permasalahan utama yang harus mendapatkan perhatian serius. Beberapa kasus dari dampak penyebaran faham radikalisme dan terorisme adalah pemboman di Jalan Thamrin beberapa waktu yang lalu dan pemboman di Surabaya yang melibatkan anak-anak dan perempuan serta bom bunuh diri se-keluarga yang dilakukan oleh jaringan terorisme di Sibolga, Sumatera Utara. Kita juga sudah seringkali mengalami kejadian seperti ini pada tahun-tahun sebelumnya: Bom Bali I dan II, dan aksi-aski pemboman serupa yang terjadi setelah itu di Kedutaan Australia, Hotel Marriott, dll.

Dilihat dari segi frekuensi aksi-aksi terorisme seperti bom bunuh diri, mungkin dapat dikatakan bahwa Indonesia adalah negara di luar kawasan konflik di Timur Teng dan Pakistan yang paling sering menjadi sasaran aksi terorisme. Bahkan negeri-negeri Arab seperti Mesir, Saudi Arabia, Yordania, dan negera-negera Teluk tak mengalami serangan bom bunuh diri yang seirng seperti di Indonesia. Padahal mereka berada di pusat teror sekarang ini: yakni teror ISIS.

Dengan demikian ini menandakan bahwa Indonesia adalah negara yang sangat rentan terhadap ancaman terorisme. Meski kepolisian dan BNPT sudah bekerja keras untuk menangani aksi teror ini kita harus akui bahwa ancaman terorisme ini belum bisa kita halau sama sekali.

Banyak faktor yang melatarbelakangi munculnya paham radikalisme. Radikalisme muncul bukan hanya dipicu oleh pemahaman keagamaan tetapi juga banyak faktor lain, seperti politik, ekonomi, dan sebagainya. Namun, ada yang selalu sama dalam aksi-aksi terorisme, bahwa mereka menargetkan penyebaran mengenai paham radikalisme dan terorisme pada para anak muda, yang memiliki semangat dan pemahaman yang masih labil. Para pelaku aksi bom bunuh diri, misalnya, mayoritas adalah para pemuda termasuk pelaku bom dan penembak pada aksi di jalan Thamrin yang lalu pelakunya adalah pemuda. Hal tersebut membuktikan bahwa pemuda memegang peranan penting dalam masalah radikalisme ini.

Dikarenakan sasaran atau targetnya adalah anak muda, maka yang mesti berperan banyak dalam mencegahnya pun diharapkan dari para pemuda. Saat ini di Indonesia, meskipun sudah ada Badan khusus yang menangani masalah terorisme, yaitu BNPT, namun tetap dibutuhkan peran serta dari masyarakat dalam mencegah penyebaran faham ini terhadap generasi bangsa.

Pencegahan Faham Radikal Terorisme oleh BNPT

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) merupakan lembaga negara yang memiliki fungsi strategis. Dalam UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, BNPT diberikan fungsi strategis, yaitu sebagai badan khusus yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada presiden yang berfungsi sebagai pusat analisis dan pengendalian krisis sebagai fasilitas bagi Presiden untuk menetapkan kebijakan dan langkah-langkah penanganan krisis, termasuk pengerahan sumber daya dalam menangani aksi terorisme.

Pada Pasal 43E dan 43F Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 disebutkan bahwa BNPT berfungsi:
a. menyusun dan menetapkan kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan terorisme;
b. menyelenggarakan koordinasi kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan terorisme; dan
c. melaksanakan kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi.

Dalam melaksanakan fungsi, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme bertugas:
a. merumuskan, mengoordinasikan, dan melaksanakan kebijakan, strategi, dan program nasional penanggulangan terorisme di bidang kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi;
b. mengoordinasikan antarpenegak hukum dalam penanggulangan terorisme;
c. mengoordinasikan program pemulihan korban; dan
d. merumuskan, mengoordinasikan, dan melaksanakan kebijakan, strategi, dan program nasional penanggulangan terorisme di bidang kerja sama internasional.

Dengan adanya pengaturan mengenai fungsi dan tugas BNPT di atas, terlihat bahwa BNPT memiliki peran sangat penting dalam mengordinasikan penanggulangan terorisme. Tidak hanya itu, BNPT juga bukan hanya memiliki fungsi koordinatif, melainkan juga memiliki fungsi teknis yaitu dalam hal melaksanakan langsung strategi kesiapsiagaan nasional, program kontra radikalisasi dan deradikalisasi.

Paham Radikal Terorisme

Paham Radikal Terorisme adalah salah satu sebab munculnya gerakan terorisme. Hal ini dapat dipahami bahwa aksi terorisme muncul sebagai akibat dari adanya pemikiran radikal terorisme. Tindakan atau aksi selalu dipengaruhi oleh faktor pemikiran dan ideologi. Ideologi adalah kata kunci dalam memahami paham radikal terorisme.

Hal ini sejalan dengan pengertian Terorisme yang tercantum dalam UU Nomor 5 Tahun 2018, bahwa Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.

Motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan adalah tiga unsur motif yang dapat muncul salah satu atau keseluruhannya ada dalam perbuatan terorisme. Paham Radikal Terorisme harus memenuhi salah satu unsur atau ketiga unsur dari pengertian terorisme tersebut. Sehingga faktor ideologi, politik, atau gangguan keamanan, harus dilihat sebagai sebuah akibat yang berawal dari pemahaman yang salah terhadap suatu ideologi yang bernuansa kekerasan atau radikal.

Pencegahan Paham Radikal Terorisme di Sekolah

Upaya mencegah penyebaran faham radikalisme harus dilakukan dengan banyak hal, termasuk mengidentifikasikan faktor dan model penyebarannya. Radikalisme tidak berdiri sendiri. Ia muncul dan berkembang bukan di ruang hampa, melainkan dipengaruhi oleh banyak faktor.

Pertama, faktor politik. Faktor ini terkait juga dengan adanya pemahaman keagamaan di kalangan para pengikut aliran tertentu mengenai keharusan untuk membentuk suatu negara tandingan, seperti Negara Islam. Negara yang ada dianggap gagal dan dengannya harus digantikan dengan sistem politik baru.

Kedua, faktor ekonomi. Tidak bisa dipungkiri bahwa ekonomi juga merupakan sumbu api bagi munculnya gerakan terorisme. Penguasaan kilang minyak di Timur Tengah menjadi daya tarik negara-negara super power untuk melakukan penguasaan atas daerah tersebut. Sehingga dengan dalih ekonomi, mereka mampu menggempur dengan kekuatan militernya. Di sisi yang lain, alasan ekonomi ini berdampak sangat mikro. Pelaku teror menjadi teroris disebabkan motif ekonomi yang menjanjikan. Mereka rela melakukan bom bunuh diri asal keluarganya keluar dari jerat kemiskinan. Banyak pemuda Indonesia yang memilih untuk pindah ke Suriah misalnya karena dijanjikan iming-iming yang bersifat ekonomis.

Ketiga adalah pemahaman keagamaan, terutama pemahaman yang salah terhadap konsep jihad. Panggilan jihad diinterpretasikan oleh sebagian kalangan Muslim radikal untuk melawan musuh-musuh Allah sebagai sebuah kewajiban. Bagi mereka, jihad dianggap sebagai perang membela Tuhan. Termasuk obsesi mereka dalam mendirikan negara Islam maupun Khilafah Islamiyah. Menurut mereka, ganjaran atas semua itu adalah surga.

Keempat, faktor kejiwaan atau munculnya delusi superhero. Pada bulan Maret 2019, publik dunia dikejutkan oleh adanya kasus terorisme di Christchurch New Zealand, negara kedua paling aman di dunia namun ternoda karena aksi tersebut. Aksi terorisme yang dilakukan sendirian atau Lone Wolf itu dikecam oleh banyak pihak dan mempertanyakan apa motif dari aksi terorisme tersebut. Sebab dari faktor agama, ia berbeda dengan aksi terorisme yang lazim muncul. Dari apa yang ia sampaikan adalah ia bahkan merasa bangga dan mengklaim dirinya sebagai pahlawan karena telah membunuh banyak Muslim yang baginya harus dibinasakan. Inilah bahaya dari faktor kejiwaan delusi superhero. Bayangan semu ingin menjadi pahlawan melalui tindakan radikal.

Ketika kita ingin berpartisipasi agar mampu mengubah masyarakat, memberantas kejahatan secara cepat, memberikan yang lebih banyak pada orang lain dengan memberikan pengorbanan yang banyak, itulah kecenderungan superhero. Dalam kadar tertentu kecenderungan tersebut dikategorikan normal, sebab manusia adalah makhluk sosial. Menjadi tidak normal ketika kadar delusi superhero ini berlebihan. Ada dorongan di dalam diri untuk mengubah tatanan sosial agar terjadi keteraturan sesuai dengan persepsi pribadi yang diinginkan secara cepat. Tindakan radikal diambil untuk mewujudkan itu.

Setidaknya, empat faktor di atas saling berhubungan satu sama lain dan tidak bisa dipisahkan. Terorisme global tidak mempunyai tujuan-tujuan yang realistis dari segi politik, selain mengeksploitasi kerapuhan sistem yang kompleks. Dalam arti ini, terorisme global mempunyai peluang paling kecil untuk secara retrospektif diakui ketika mengajukan klaim-klaim politik. Tapi dari kerapuhan sistem demokrasi, mereka bermain mencari ruang-ruang kosong untuk terus melakukan aksi terornya dengan mencoba mendelegitimasi otoritas negara.

Maka, tak aneh jika target terorisme adalah pada fasilitas Negara, pejabat penegak hukum, fasilitas umum, tempat-tempat bisnis internasional, dan pusat-pusat peradaban modern, dikarenakan menurut mereka di tempat atau orang-orang yang terkait dengan tempat tersebut merupakan pihak yang harus diserang karena tidak sesuai dengan ideologi mereka.

Terkait dengan beberapa faktor di atas, maka hal yang perlu dilakukan adalah dengan memberikan pemahaman dan penguatan peran pada pemuda di keempat aspek tersebut. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka strategi pencegahan radikalisme dapat dilakukan melalui:

Pertama, BNPT harus lebih berperan aktif bukan saja dalam mensosialisasikan bahaya faham radikalisme tetapi juga menyediakan media-media yang dapat diakses oleh masyarakat dalam upaya pencegahan tersebut. Saat ini, perang terhadap terorisme masih dianggap lemah karena belum adanya sistem yang terlembaga yang memungkinkan masyarakat melaporkan setiap tanda-tanda adanya simpati pada terorisme di tengah-tengah mereka.

Apa yang bisa dilakukan oleh publik jika mereka menjumpai akun Twitter, Facebook, Youtube, Instagram, atau platform yang lain yang menampakkan simpati yang besar pada aksi terorisme, misalnya? Ke mana mereka melapor? Harus ada unit khusus yang aktif terus-menerus dalam mewadahi laporan semacam ini. Jika pun saat ini ada unit khusus tersebut tetapi sosialisasi terhadap masyarakat masih sangat lemah.

Cara terbaik untuk menangkal penyebaran ideologi terorisme adalah dengan membuat publik (termasuk juga para pemuda dan remaja) peka terhadap bahaya faham radikalisme dan terorisme dan melibatkan masyarakat dalam perang melawan teror ini. Perang melawan teror bukan saja merupakan agenda milik pemerintah saja, melainkan juga publik luas. Membuat publik merasa agenda melawan teror ini sangatlah penting.

Kedua, pencegahan terhadap penyebaran faham terorisme juga dapat dilakukan melalui pendekatan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Terkait dengan hal ini, maka semua Kementerian dan Lembaga yang terkait dengan pengembangan ekonomi harus berupaya untuk menggerakkan roda perekonomian bangsa di berbagai sektor.

Ketiga, adapun terkait upaya pencegahan penyebaran faham radikalisme dari aspek pemahaman keagamaan atau doktrin-doktrin yang diselewengkan, maka yang harus dilakukan adalah memotong jalur komunikasi para aktivis teror. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa terorisme modern beroperasi dengan cara yang unik. Para teroris modern itu sejatinya adalah para pemuda yang “melek teknologi”. Mereka sangat pandai dan akrab dengan teknologi digital untuk memperluas pengaruh. Teknologi digital memungkinkan kaum teroris untuk beroperasi sepenuhnya secara anomim dari balik layar, seraya tetap secara efektif bisa meraih pengaruh yang besar. Teknologi internet benar-benar memiliki efek kuat terhadap kelompok-kelompok kecil yang memiliki agenda jahat ini.

Thomas Friedman, kolumnis The New York Times, pernah menulis bahwa kekuatan baru di dunia sekarang ini bukan semata-mata negara-negara super powers, tetapi juga “super–empowered individuals” yang diberdayakan oleh internet. Observasi Friedman ini berlaku dalam konteks kaum teroris. Mereka juga menjadi “empowered” atau menjadi berdaya, bahkan digdaya karena adanya internet.

Karena itu, sudah selayaknya BNPT bekerja sama dengan banyak pihak memberikan perhatian yang besar kepada segala bentuk aktivitas di dunia maya. Sebab di alam maya inilah kaum teroris sekarang ini paling sering beroperasi. Publik bisa dilibatkan dalam perang melawan teror dengan cara mendorong mereka untuk melaporkan setiap akun di media sosial yang menampakkan simpati yang besar pada kelompok-kelompok teror seperti ISIS.

Peran dari pemuda, remaja, dan aktivitas pendidikan, serta para tokoh masyarakat diharapkan dapat lebih meningkat dalam upaya memberikan pembaharuan pemahaman keagamaan. Pengkafiran (takfiri), menyalahkan faham orang lain yang tidak sejalan dengan dirinya, berbuat anarkhis, intoleransi, merupakan bibit-bibit dari ideologi radikalisme dan terorisme.

Hal tersebut merupakan PR (pekerjaan rumah) besar bagi pemuda, remaja dan tokoh agama untuk sama-sama melakukan introspeksi dan kerja nyata dalam memberantas akar dari paham radikal terorisme, yaitu berupaya hidup rukun, damai, siap menerima berbagai perbedaan, daripada sibuk melakukan pembelaan bahwa agama tertentu tidak terkait dengan aksi-aksi terror tersebut.***

Dr.. H.M. Aziz Syamsuddin,  SH., SE., MAF., MH adalah anggota DPR RI