Pendidikan dan Seratus Kilo Meter

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila

Seorang guru SMP negeri di salah satu kabupaten di Lampung  mengalami perlakuan tidak manusiawi dari pimpinan daerah hanya karena tidak hadir pada suatu acara yang dihadiri bupati. Ironisnya, hal itu dilakukan atas dasar usulan pihak pimpinan kecamatan yang note bene tidak berurusan langsung dengan pendidikan. Terlepas dari posisi keduanya yang masing-masing merasa benar dan minta dibenarkan, tulisan ini mencoba melihat dari sisi lain.

Mari kita merenung sejenak: adakah di antara kita yang menjadi pejabat diminta oleh negeri ini untuk menyengsarakan orang lain. Coba diingat, adakah pembelajaran yang kita peroleh dibangku sekolah ada topik “cara-cara menyengsarakan pihak lain”, coba pula diingat adakah guru-guru kita dulu mengajarkan cara pembinaan dengan membinasakan. Adakah para pejabat yang menduduki jabatannya tanpa melalui bersekolah terlebih dahulu?

Guru juga manusia, Pejabat juga manusia. Selama interaksi antarmanusia pasti akan menemukan konflik, integrasi dan solusi. Hanya tampaknya kita lebih senang pada wilayah konflik, tidak suka integrasi apalagi solusi kalau tidak ada keuntungan di sana. Keuntungan itu bisa berupa material, bisa juga non material.

Pimpinan daerah dipilih oleh rakyat, memiliki banyak pembantu yang membantu tugas kepala daerah, dengan metode tertentu dan cara tertentu dalam mengimplementasikan kebijakan. Sebab,  pembinaan sama sekali berbeda dengan pembinasaan. Apalagi itu menyangkut kepada unsur tenaga kependidikan, dampaknya akan meluas ke mana-mana dan membawa konsekwensi pembelajaran yang tidak berjalan sesuai dengan aturannya.
Merasa benar sendiri boleh disandang siapapun termasuk kepala daerah dari tingkat bawah sampai atas; hanya persoalannya apakah berani mengatakan bahwa pembinaan sudah dilakukan dengan tata urutan procedure, lalu bagaimana akuntabilitas dari pembinaan, apakah dapat dipertanggungjawabkan. Apakah ada bukti hukum yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral; atau hanya sebatas pemuas atasan karena merasa jadi bumper atasan.

Sudah menjadi hukum sosial bahwa posisi yang memerintah selalu benar, apapun pembelaannya; dan posisi yang diperintah selalu tidak benar. Adapun alasan semua bisa dicari sesuai dengan pesanan, tujuan dan kegunaan. Paling utama lagi adalah niat yang ada di lubuk hati yang paling dalam, dan itu hanya Tuhan dan dirinya yang mengetahui; oleh karena itu sudah sepantasnya kita tidak perlu terlalu percaya dengan atribut-atribut pribadi ataupun organisasi, yang semua itu adalah daerah aman untuk melakukan kamuflase guna perlindungan diri dari maksud hati. Ada organisasi yang memang melindungi dan menjaga keselamatan anggota, tetapi ada juga yang hanya memanjakan anggota saat diperlukan saja, selebihnya terserah anda. Bisa dibayangkan nama organisasi bisa menggema sampai angkasa, namun itu hanya untuk penguasanya, sementara para “kurcaci” hanya untuk melengkapi organ dari organisasi.

Kasus “ibu guru seratus kilometer” ini merupakan pembelajaran bagaimana pola pembinaan organisasi yang ditangani oleh “bukan” wilayah pembinaannya, akan tetapi lebih kepada wilayah kekuasaannya. Tunggu saja waktunya nanti ada Kepala Desa masuk kelas dan mengajar karena mendapat laporan gurunya tidak bisa mengajar. Pertanyaan lanjut kemana instansi yang secara undang-undang dan kewenangan seharusnya mengurus wilayah pendidikan. Keangkuhan kekuasaan yang dipertontonkan justru akan melukai hati rakyat yang selama ini memilihnya, dan seharusnya mendapatkan pelayanan terbaik.

Perlu diingat semua memiliki waktu periodesasi; hari ini kita berkuasa, dan menjadi penguasa; pada saatnya kita menjadi rakyat jelata, yang pada akhirnya tubuh kita akan dimakan oleh binatang melata. Pertanggungjawaban dunia mungkin bisa kita rekayasa, namun pengadilan abadi, tidak ada satu pun di antara kita akan lolos dari mahkamah ilahi. Sanggupkah kita yang berlaku dholim di dunia ini, nanti akan mencari orang yang kita dholimi untuk meminta maafnya, sementara semua kita berwajah sama.

Arogansi saat kita diberi amanah untuk berkuasa, adalah perilaku naïf bagi mereka yang faham akan makna amanah. Sebab sejatinya kekuasaan itu milik Tuhan yang sekelumit dipinjamkan kepada kita untuk tidak berbuat semena-mena. Menjadi runyam lagi jika wilayah politik dijadikan unjuk kekuasaan bagi mereka yang tidak sejalan. Tentu lambat atau cepat korban lain akan menunggu di “seratus kilo kan” oleh para penguasa yang tidak sadar akan kekuasaannya. Jadi jangan terlalu terkejut jika Tuhan menunjukkan kemurkaan-Nya akibat ulah ciptaannya yang tidak paham diri.

Selamat ngopi pagi.