Pengamanan Hutan Swakarsa di Lampung Barat: Kisah Engkos Kosasih Menghadang Tentara

Engkos Kosasih (Foto: Teraslampung.com)
Bagikan/Suka/Tweet:

Oyos Saroso H.N./Teraslampung.com

LAMPUNG BARAT – Lepas magrib bulan puasa Ramadan 2003, tiga buah truk tentara berisi penuh kayu berangkat dari hutan Bukit Rigis di wilayah Lampung Utara menuju Lampung Barat melalui Desa Tribudisyukur.

Dari tulisan yang tertera di bak truk bercat hijau tua diketahui bahwa tiga truk itu milik salah satu lembaga militer di Bandarlampung dan Kabuapaten Lampung Barat. Warga desa yang sejak sore sudah mengintip kedatangan tiga truk tentara itu langsung menghentikan kendaraan yang dikawal belasan tentara berseragam dinas dengan senjata lengkap itu.

“Berhenti!” teriak Engkos Kosasih, 58, kepala Desa Tribudisyukur.

Tiga truk itu pun berhenti.Teriakan Engkos Kosasih membuat sebagian besar warga desa yang sedang menikmati buka puasa berhamburan keluar rumah. Mereka memadati jalan raya desa, mengepung mobil tentara. Warga ramai-ramai menurunkan kayu-kayu hasil illegal logging.

Tak lama kemudian aparat polisi dari Polsek Sumberjaya, Polres Lampung Barat, dan Kodim Lampung Barat datang. Negosiasi pun dilakukan: para tentara pembawa kayu dibawa ke markas Detasemen Polisi Militer (POM) di Bandarlampung, sementara kayu diangkut kembali dengan truk untuk dijadikan barang bukti.

Keesokan harinya Engkos Kosasih dan beberapa warga dipanggil ke markas Polisi Militer untuk diperiksa sebagai saksi. Ketegangan terjadi karena seorang pemeriksa justru menuduh Engkos dan kawan-kawannya adalah anggota kelompok Warman (bagian kelompok yang pada zaman Orde Baru disebut sebagai Gerakan Pengacau Keamanan pimpinan Warsidi yang hendak membentuk Negara Islam Indonesia).

Dituduh sebagai anggota pemberontak, Engkos Kosasih menggebrak meja. “Saya dipanggil ke sini kan untuk dijadikan saksi?! Bapak jangan menuduh kami macam-macam. Seharusnya Bapak fokus tentara yang membawa kayu illegal!” teriak Engkos.

Meski di bawah tekanan, Engkos dan beberapa kawannya tetap menghadiri panggilan pemeriksaan selama beberapa kali. Mereka harus beberapa kali bolak-balik Lampung Barat—Bandarlampung (berjarak 250-an km) hanya untuk diperiksa sebagai saksi di markas Polisi Militer. Hingga kini, Engkos tidak tahu bagaimana perkembangan kasus illegal logging yang melibatkan tentara aktif itu. Dia juga tidak tahu ke “nasib” kayu-kayu yang dulu dibawa tiga truk tentara itu.

“Kami memang pernah dipanggil sebagai saksi dalam sidang di Pengadilan Militer di Palembang. Namun, surat pemanggilan itu datagnya sore hari pada saat hari sidang digelar. Jadi tak mungkin kami bisa datang ke Palembang,” kata mantan kepala desa yang kini menjadi ketua kelompok tani Bina Wana itu.

Engkos mengaku penangkapan terhadap para tentara pembawa kayu itu merupakan puncak kemarahannya. Selama bertahun-tahun dia dan warga desa selalu melihat truk-truk besar keluar masuk hutan melalui Desa Tribudisyukur untuk membawa kayu illegal dari hutan lindung.

“Kami tidak peduli apakah kayu-kayu itu berasal dari hutan di daerah kami atau dari Lampung Utara atau bahkan Sumatera Selatan. Kami memastikan kayu itu illegal. Dan itu terbukti saat kami menangkap truk tentara dan menanyakan dokumennya,” ujarnya.

Sejak peristiwa penangkapan itu, kata Engkos, kini tak ada lagi pelaku illegal logging yang melintasi Desa Tribudisyukur.

“Kalau ada truk pengangkut kayu lewat desa kami, pasti kami tangkap beramai-ramai. Sebab, semua warga desa kini sudah menyadari pentingnya penyelamatan hutan. Secara swadaya mereka melakukan pengamanan hutan,” tambahnya.

Menurut Engkos, ia tidak takut menangkap para tentara yang membawa kayu illegal karena didukung oleh warga desa. Begitu ada pelaku illegal logging yang tertangkap, semua warga desa akan beramai-ramai datang.

“Jadi, meskipun tentara itu bersenjata lengkap, mereka tidak berani melepaskan tembakan,” ujarnya.

Engkos mengaku, selain karena jiwanya terpanggil untuk menyelamatkan hutan yang ada di sekitar desanya, upaya penyelamatan hutan itu juga dilakukan karena ingin menjaga warisan yang diberikan para pendiri Desa Tribudisyukur.

“Para orang tua kami adalah pejuang kemerdekaan dari Divisi Siliwangi yang diberangkatkan transmigrasi oleh TNI pada tahun 1950-an. Orang tua kami membuka desa dengan susah dan kerja keras. Mereka juga tetap menyelamatkan hutan. Kearifan para orang tua kami itu ingin tetap kami lestarikan,” kata ayah tiga anak ini.

Engkos mengaku menumbuhkan kesadaran warga untuk menjaga hutan sebenarnya bukan hal mudah. Agar warga desa di sekitar hutan memiliki kesadaran turut menjaga hutan, mereka juga harus mendapatkan manfaat hutan.

“Tanah warisan warga dari para orang tua mereka tentu makin sempit. Sementara di depan mata mereka banyak areal hutan lindung dan hutan produksi yang hancur diambil kayunya oleh orang lain. Kini, setelah mereka diberi izin sementara mengelola lahan kritis itu, secara bersama-sama mereka mau mengamankan hutan,” ujarnya.

Meskipun tidak lagi menjabat sebagai kepala desa, sehari-hari Engkos Kosasih masih sibuk mengurusi warga desa. Selain mengolah kebun kopinya, bersama para anggota kelompok tani Bina Wana, Engkos melatih para petani melakukan pembibitan aneka tanaman dan mengajari warga mengembangkan sistem kebun multikultur.

“Dengan pengelolaan hutan berbasis masyarakat terbukti warga desa di sekitar hutan makin sejahtera. Mereka juga bekerja keras mengamankan hutan dari aksi perambahan dan illegal logging,” ujarnya.