TAJUK  

Pengambil-alihan Pengelolaan SMA-SMK oleh Pemprov, Masalahnya Utamanya pada Investasi dan Kekhawatiran

Posko Penolakan Penutupan SMKN 9 Bandarlampung. (Ist/Novel)
Bagikan/Suka/Tweet:

TERASLAMPUNG.COM — Sejak beberapa pelan terakhir, polemik penutupan SMKN 9 Bandarlampung oleh Pemkot Bandarlampung menjadi perbincangan hangat. Situasi memanas ketika komentar pejabat melalui media massa dijawab dengan komentar oleh pejabat lewat media yang sama. Media sendiri seolah mempertentangkan bahkan ada yang bernuansa mendukung salah satu pihak (Walikota Bandarlampung Herman HN atau Gubernur Ridho Ficardo). Pembaca tidak diberi latar cerita kenapa rencana penutupan SMKN itu terjadi.

Situasi makin memanas Kamis lalu (14/7), saat Kepala Dinas Pendidikan Lampung Heri Suliyanto mendatangi SMKN 9 karena mendengar eksekusi penutupan sekolah tersebut akan dilakukan Pemkot. Di luar media, para anggota Dewan juga turut berteriak, mengritik keras kebijakan Pemkot Bandarlampung yang dinilainya tidak populer. Publik seolah-olah diajak untuk berkubu: mendukung Walikota Herman HN atau Gubernur Ridho Ficardo.

Dari polemik itu  setidaknya ada satu hal mendasar yang belum terjawab: sudahkah Walikota Herman HN dan Gubernur Lampung Ridho Ficardo berkomunikasi untuk mencari solusi? Pertanyaan lain yang juga tidak terjawab oleh riuhnya pemberitaan di media massa adalah: Kenapa penutupan SMKN 9 yang baru saja menggelar pendaftaran siswa baru itu terjadi? Apakah karena masalah politik sehingga bernuasa politis?

SMKN 9 hanyalah satu di antara sekian banyak kasus di Indonesia terkait perubahan kebijakan pemerintah tentang hak dan kewajiban pengelolaan SMA dan SMK dari sebelumnya oleh pemerintah kabupaten/kota menjadi oleh pemerintah provinsi. Perubahan itu merupakan bagian dari Undang-Undang No. 23/2014 tentang Pemerintah Daerah yang akan berlaku pada 2017.

Yang protes terhadap kebijakan itu bukan hanya Walikota Bandarlampung Herman, tetapi juga organisasi Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi). Mereka mengajukan uji materi UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Hal yang sama juga dilakukan oleh Walikota Blitar, Samanhudi Anwar, dan Walikota Surabaya, Tri Rismaharini.

Penolakan pengambil-alihan pengelolaan SMA dan SMK oleh Pemrov yang dilakukan Herman HN, Risma, dan Samanhudi tentu saja bisa dipahami karena sejauh ini kita melihat mereka merasa punya komitmen memajukan pendidikan mulai tingkat SD hingga SMA. Ada kekhawatiran, jika diambil-alih Pemprov maka investasi yang sudah mereka tanam akan hilang.

Ya. Pemkot dan Pemkab tentu saja membangun gedung sekolah pakai APBD-nya sendiri, bukan dikucuri dana APBD Provinsi. Lagi pula, khusus di Lampung, sepanjang 12 tahun terakhir kita belum pernah mendengar apakah Pemprov Lampung sudah benar-benar mengalokasikan dana 20 persen dari total APBD untuk dana pendidikan.

Berdasarkan catatan Komite Anti Korupsi (Koak) Lampung, selama Sjachroedin Z.P. menjabat Gubernur Lampung, Pemprov Lampung ternyata tidak jelas komitmennya dalam penyertaan dana pendidikan sebesar 20 persen dari total APBD Lampung. Total menjadi 20 persen jika dicampur dengan anggaran biaya rutin dan biaya pegawai.

Intinya, ada kekhawatiran jika SMA dan SMK dikelola oleh Pemprov maka kualitas pendidikan di level SMA akan menurun. Selain alasan itu, alasan lain — dan ini yang lebih penting — adalah: selama ini Pemkot sudah banyak berinvestasi membangun infrastruktur sekolah dan mengeluarkan dana besar untuk operasional sekolah.

Dengan begitu banyaknya uang yang sudah dikeluarkan Pemkot/Pemkab, alangkah enaknya Pemprov tiba-tiba mengambil-alih. Begitu kira-kira ujaran kasarnya.

Polemik dan ketegangan Pemkot dan Pemprov semestinya tidak perlu terjadi jika ada komunikasi yang baik di antara pemimpinnya. Yang penting kedua belah pihak punya komitmen yang sama untuk memajukan pendidikan di level SMA/SMK dan bukan sekadar menjadikan soal hak mengelola SMA/SMK itu sebagai komoditas atau jualan politk.