Opini  

Pengelolaan Sungai dengan Konsep Adopsi

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Erina Noviani
Peneliti Peneliti di Pusat Studi Kota dan Daerah (PSKD) dan Mahasiswa S3, Doktor Ilmu Lingkungan Unila

Sungai-sungai di Lampung, yang dahulu menjadi nadi kehidupan masyarakat, kini menghadapi tekanan yang makin berat akibat penumpukan sampah, penurunan kualitas air, serta menyempitnya garis sempadan sungai. Di tengah kondisi ini, langkah Gubernur Lampung yang meluncurkan program pembersihan sungai di tingkat kecamatan patut diapresiasi dan didukung oleh semua pihak.

Program tersebut menyasar kecamatan-kecamatan yang wilayahnya dilalui oleh sungai dan bertujuan mengurangi penumpukan sampah yang selama ini dibiarkan, bahkan seringkali dianggap biasa. Padahal, tumpukan sampah bukan hanya merusak pemandangan dan ekosistem sungai, tetapi juga menjadi salah satu penyebab utama banjir yang kerap melanda pemukiman warga di musim hujan.

Dengan pelibatan aparat kecamatan dan kelurahan, program ini menjadi bukti keseriusan pemerintah dalam menangani persoalan lingkungan dari akar rumput. Akan tetapi, agar program ini tidak berhenti pada kegiatan bersih-bersih yang bersifat reaktif dan seremonial, maka perlu ada konsep jangka panjang dan strategi keberlanjutan yang melibatkan masyarakat secara lebih aktif dan struktural.

Sungai dan Ancaman Sampah

Kondisi sebagian besar sungai di Lampung saat ini mencerminkan lemahnya sistem pengelolaan sampah dan minimnya kesadaran masyarakat. Sungai dianggap sebagai tempat buangan terakhir, terutama bagi masyarakat yang tinggal di bantaran. Sampah rumah tangga, limbah plastik, dan bahkan limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) kerap ditemukan mengendap di dasar sungai maupun menyangkut di vegetasi sempadan. Ini bukan hanya mengganggu estetika dan kenyamanan, tapi juga merusak fungsi ekologis sungai sebagai habitat dan sistem aliran air alami.

Satu per satu titik sungai yang dulunya jernih berubah menjadi saluran air hitam dengan bau menyengat. Ketika musim hujan datang, sampah yang menumpuk menyumbat aliran air, menghambat drainase, dan memperparah risiko banjir.

Hal ini bukan hanya menyebabkan kerugian materiil bagi masyarakat, tetapi juga membahayakan kesehatan dan mengganggu ketahanan lingkungan jangka panjang.

Pentingnya Dukungan Multipihak
Saya meyakini bahwa program Gubernur Lampung untuk pembersihan sungai di tingkat kecamatan merupakan titik awal yang tepat. Namun program ini tidak akan berjalan optimal jika hanya mengandalkan tenaga pemerintah.

Diperlukan dukungan berbagai pihak, terutama masyarakat sebagai pengguna dan penghuni wilayah sekitar sungai, serta sektor swasta yang beroperasi di wilayah tersebut.

Masyarakat bukan hanya perlu diedukasi, tetapi juga harus diajak menjadi aktor utama dalam menjaga sungai. Tanpa kontribusi aktif warga, program bersih sungai hanya akan bersifat sesaat.

Demikian pula dengan sektor swasta, yang memiliki tanggung jawab sosial lingkungan (CSR) seharusnya ikut menyumbang dalam bentuk pembiayaan, teknologi, atau pendampingan komunitas dalam menjaga sungai.

Kita tidak bisa lagi bertumpu pada pendekatan pemerintah-sentris. Harus ada kolaborasi berbasis kesadaran kolektif, di mana sungai diposisikan sebagai ruang hidup bersama yang harus dijaga oleh semua pihak, bukan hanya aparat lingkungan atau petugas kebersihan.

Konsep “Adopsi Sungai” Berbasis RW

Sebagai solusi konkret dan terukur, saya mengusulkan penguatan program ini melalui pendekatan “Adopsi Sungai” sebuah konsep yang saya rumuskan sebagai pengelolaan dan perawatan sungai secara berkelanjutan oleh struktur pemerintahan terkecil (RW atau kelurahan) yang wilayahnya dilalui oleh sungai.

Melalui pendekatan ini, segmen-segmen sungai dibagi dan “diadopsi” oleh RW atau komunitas lokal. Setiap RW bertanggung jawab menjaga kebersihan, memantau kondisi aliran, serta mengedukasi warganya agar tidak membuang sampah ke sungai. Pemerintah daerah berperan sebagai fasilitator yang menyediakan pelatihan, infrastruktur pendukung, serta mekanisme pelaporan dan penghargaan.
Dengan cara ini, beban pemerintah tidak hanya dibagi, tapi juga diiringi dengan tumbuhnya rasa kepemilikan masyarakat terhadap sungai. Sungai bukan lagi dianggap sebagai milik pemerintah, tapi sebagai bagian dari identitas dan kehidupan bersama.

  • Adopsi Sungai dapat meliputi kegiatan-kegiatan berikut:
    Pemetaan segmen sungai berdasarkan RW atau wilayah administratif terkecil.
    Pembuatan rencana kerja pengelolaan sungai oleh komunitas RW bersama pemerintah setempat.
    Kegiatan rutin pembersihan dan pengawasan sungai oleh tim relawan lingkungan RW.
  • Penanaman pohon sempadan oleh warga dan anak-anak sekolah.
    Pemberian insentif atau penghargaan tahunan bagi RW yang aktif dan berhasil menjaga kualitas sungainya.
  • Penguatan kelembagaan lingkungan berbasis lokal seperti Forum RW Peduli Sungai.
  • Dengan pelibatan masyarakat secara langsung, perubahan perilaku menjadi lebih mudah tercapai. Selain itu, RW sebagai unit sosial terkecil memiliki jangkauan pengaruh yang lebih dekat dan personal dibandingkan aparat di tingkat kota atau kabupaten.
  • Kolaborasi Pemerintah, Komunitas, dan Swasta

Gagasan Adopsi Sungai akan jauh lebih kuat bila didukung secara menyeluruh. Pemerintah dapat menyediakan anggaran pendampingan dan pelatihan teknis.

Komunitas lokal bisa menggerakkan kesadaran kolektif dan membangun kegiatan edukatif. Sementara sektor swasta dapat berkontribusi melalui CSR berbentuk fasilitas pengelolaan sampah, penyediaan teknologi pemantauan sungai, atau adopsi sungai oleh perusahaan yang berlokasi di dekat aliran.

Dalam jangka panjang, konsep ini dapat dijadikan bagian dari kebijakan daerah yang lebih luas, misalnya dalam bentuk Peraturan Gubernur atau Perda tentang Gerakan Peduli Sungai. Dengan begitu, tidak hanya ada legitimasi hukum, tetapi juga keberlanjutan program dalam struktur pemerintahan.

Sungai Sebagai Cermin Sosial

Sungai adalah cermin dari kebudayaan dan peradaban masyarakatnya. Ketika sungai dipenuhi sampah, itu menandakan ada yang tidak beres dalam tata kelola sosial kita. Sebaliknya, ketika sungai bersih, rindang, dan terjaga, itu menandakan hadirnya masyarakat yang hidup dengan nilai-nilai tanggung jawab, keteraturan, dan penghargaan terhadap alam.

Penulis yakin melalui program pembersihan sungai di kecamatan dan pendekatan Adopsi Sungai berbasis RW, Provinsi Lampung memiliki peluang besar untuk menjadi pionir dalam pengelolaan sungai berbasis komunitas. Kota dan kabupaten lain dapat meniru dan mengembangkan konsep serupa untuk sungai-sungai mereka.

Kita butuh perubahan. Dan perubahan itu bisa dimulai dari sungai terdekat di sekitar rumah kita. Dari RW kita. Dari komunitas kita sendiri. Karena menjaga sungai bukan sekadar membersihkan sampah, tetapi membangun masa depan yang lebih sehat dan berkelanjutan.***