Penghargaan untuk Rudolf Puspa-Teater Keliling: Merayakan Pilihan Hidup, Konsistensi dan Pengabdian

Rudolf Puspa (Ist/dok)
Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh Willy Pramudya

Dalam jagat kesenian (modern) Indonesia, terkhusus teater, nama Rudolf Puspa mungkin tak semoncer nama-nama lain seperti WS Rendra, Arifin C Noor, Putu Wijaya, Nano Riantiarno, Butet Kartaredjasa dkk, dan pegiat kesenian lain, khususnya teater. Tetapi di jagat teater (modern) Indonesia, mungkin hanya sedikit orang yang tak mengenal namanya.

Pemilik nama lengkap Rudolf Puspa Heruana ini lahir di kota yang banyak melahirkan seniman besar Indonesia, Solo, Jawa Tengah, pada 29 Juni 1947.

Dari wawancara yang saya lakukan sekaligus merujuk pada tulisan Ulfah Nurhaziah (MN2 Indonesia) Rudolf Puspa adalah anak pertama dari empat bersaudara yang lahir dalam sebuah keluarga guru. Ayahnya bernama Christ Soetomo adalah guru Bahasa Indonesia. Sang Ibu, Yakoba Suparsi adalah guru Bahasa Inggris. Semula keduanya mengajar di SMP Negeri di Ambarawa, Jawa Tengah. Kemudian hari pasangan ini pindah dan mengajar di Solo dan tinggal di Kepatihan Kulon, Solo.

Selain berprofesi sebagai guru ayahnya juga seorang pianis dan komponis. Ia banyak menulis lagu dan memiliki kelompok kecil konser klasik. Sedangkan ibunya juga pemain drama komedi. Boleh jadi darah seni orang tuanya itu kelak mengalir kuat dalam diri pria yang akrab dengan panggilan Rudi ini.

Ada kisah perjalanan yang sangat mempengaruhi kepribadian dan pilihan hidup Rudi. Ulfah menulis: Ketika Rudi masih bayi, sang ibu harus menempuh perjalanan berkilo-kilo meter sambil mendekapnya menembus malam, menyusuri rel kereta api di tengah desingan peluru serdadu Belanda menuju rumah sakit untuk mengobatinya. Derita dalam perjalanan belum cukup bagi Rudi dan ibunya. Sampai di rumah sakit, ternyata tak ada dokter jaga. Bahkan rumah sakit itu dalam keadaan gelap gulita. Sang Ibu harus mendekapnya hingga pagi hari.

 

Ridolf Puspa di sela pentas d Eropa (Ist)

Peristiwa lain yang tak pernah hilang dari ingatannya ialah ketika seluruh keluarganya harus mengungsi ke Ambarawa. Rudi menangis sejadi-jadinya ketika harus berpisah dengan anjing kampung kesayangannya. Tapi suatu hari ayahnya yang takut anjing nekat menggendong pulangf anjing yang hilang itu. Rudi kecil tak hanya gembira karena anjingnya kembali tetapi juga bangga atas kehebatan ayahnya yang telah berhasil membunuh rasa takut demi sang anak.

Kisah kepedihan Rudi berlajut. Saat memasuki masa remaja, ibundanya wafat. Peristiwa ini membuat Rudi meletakkan pemahamannya tentang kasih seorang ibu dan pentingnya kasih sayang dalam hidup. Tema kasih sayang bahkan pencarian tak henti dalam hidupnya. Bagi Rudi energi kasih adalah daya tahan yang perlu terus dipupuk hingga kini.

Rekaman masa kecil dan remaja membuatnya mudah terharu melihat penderitaan di sekitarnya. Dia selalu terdorong untuk menyuarakan penderitaan kepada dunia. Teater adalah medium yang dia pilih untuk menyarakannya. “Itulah salah satu alasannya memilih teater,” tulis Ulfah.

Sebagaimana sikap kebanyakan seniman lain di berbagai daerah, Rudi memandang Solo kurang mendukung kiprah seseorang yang ingin berkembang di bidang seni. Tahun 1967 Rudi nekat pindah ke Jakarta. Babak baru kehidupan Rudi dimulai

Sejak Nashar hingga Jerman

Di Jakarta Rudi berkenalan dengan pelukis Nashar. Dari Nashar ia belajar tentang penghayatan, penempaan rasa dan batin agar menjadi peka. Dia meyakini semua kekuatan itu menjadi daya utama bagi penciptaan seni. “Nashar tak dapat menunjukkan apa untungnya bagi teater. Tapi Rudi kemudian mencarinya sendiri,” tulis Ulfah. Bagi Rudi Nashar adalah orang tua keseniannya hingga wafatnya.

Merasa tak cukup belajar teater seperti dijalaninya pada awal-awal hidup di Jakarta, Rudi mandaftar ke Akademi Teater Nasional. Tapi di luar kuliah Rudi juga belajar teatwer secara langsung kepada sejumlah tokoh teater saat itu seperti Teguh Karya (alm), Wahyu Sihombing (alm), Pramana PMD (alm), Kasim Achmad, D. Djajakusuma (alm).

Sejak 1968 Rudi menjadi anggota aktif Teater Kecil yang kelak membawanya menjadi asisten Arifin C Noer, baik di bidang teater maupun film. Kepada saya suatu malam tahun 2012 di Mataram, Lombok, Rudi mengaku menyimpan banyak kisah dahsyat yang mengerikan yang belum pernah didengar banyak orang di balik pembuatan “sekuel” film G 30 S PKI.

 

Pada tahun 1974 Rudi mendirikan Teater Keliling Jakarta. Menurut pengakuan yang disampaikan kepada saya maupun kemudian disampaikan dalam sebuah acara gelar wicara di sebuah staisun TV, Kick Andy, nama Teater Keliling baru muncul di Jember (Jatim) ketika rombongannya yang belum bernama berpentas di sana. Saat itu ketika ditanya panitia soal nama. Rudi dkk sempat bingung dan spontan menyebut kelompoknya bernama Teater Keliling. Tapi sebelumnya, tahun 1968 Rudi sudah terlebih dulu mendirikan Studi Grup Drama Jakarta dan bersama LK Ara mendirikan Teater Balai Pustaka.

Pada 1979 penulis buku ‘Sang Pioner’ (terbit 2012) yang berkisah tentang perjalanan 38 tahun Teater Keliling menikah dengan sesama pegiat teater Ir. Dery Syrna. Setelah menikah Rudi mengelola Teater Kelilig bersama Dery. Mereka dikaruniai dua orang putri, Dolfry Indah Suri dan Sesarina Puspita. Dolfry kemudian menata manajemen Teater Keliling dengan lebih profesional.

Rudi tak pernah berhenti berupaya meningkatkan kapasitasnya dan memperluas cakrawalanya. Setelah menjadi anggota Teater Kecil, sejak 1968 ia meningkatkan kapasitasnya menjadi asisten sutradara. Rudi juga melakukan sejumlah perjalanan ke luar negeri untuk mengikuti sejumlah kegiatan terater bersakala internasional. Di antaranya ialah The 6th Cairo International Festival for Experimental Theater di Kairo, Mesir (1974), Indian Oceans Arts Festival di Perth, Australia (1979), Singapura Drama Festival (1981), The International Festival for Young Professional Theater di Sibiu, dan Rumania (1994).

Bahkan ketika Indonesia mulai mengalami gonjang-ganjing politik tahun 1996 Rudi terus memperluas pengalamannya. Pada 1996, dia mengikuti First International Drama Festival di Lahore, Pakistan kemudian The 8th Cairo International Festival for Experimental Theater di Kairo, Mesir (1996), International Performing Arts di Bangkok, Thailand (1997),The 2nd Asian Theatrical Festival di Pusan, Korea Selatan (1997) Baru-baru ini Rudi juga membawa Teater Keliling berpentas di Jerman.

Di dunia film, setelah menjadi astradara di dunia teater, Rudi kemudian dikenal sebagai asisten sutradara di film-film yang disutradarai Arifin C Noer. Meskipun jangka waktu hidup di film lebih singkat dibanding teater, Rudi pernah berkisah bahwa dunia film telah memberikan pengalaman hidup yang tak akan pernah terlupakan (seramnya).

Sebagai pendiri dan pemimpin kelompok teater sekaligus sutradara, Rudi tak hanya memainkan naskah orang lain. Ulfah mencatat beberapa naskah besar lahir dari tangannya. Di antaranya ‘Jing Jong’ (1978), ‘Para Topeng’ (1979), ‘Wayang, Dalang Siapa Dalang’ ( 1979), ‘Konser Raya’ (1991), ‘The Expression’ (1996), ‘We Are the World’ (2004).

Rudi juga menulis sejumlah naskah pendek, baik untuk panggung maupun televisi. Di antaranya ‘Reketek-Reketek’ (1979), ‘Suara Kartini’ (1982), dan ‘Sang Limbah’ (1992). Beberapa naskah panggungnya diminta sebuah kelompok di Balikpapan Kaltim untuk studi akting. “Menulis naskah drama karena kebutuhan batiniah serta pemikirannya tentang apa yang ditangkap dalam perjalanan kelilingnya sering tidak menemukan karya pengarang naskah yang tepat,” tulis Ulfah.

 

Rudolf Puspa (dok youtube.com)

Namun sebagaimana pegiat teater lain Rudi juga mementaskan naskah-naskah saduran seperti “Bantal Ajaib” (Yukio Misima), “Badak-Badak” (Eugene Ionesco), “Komidi Don Yuan” (Moliere), Romeo Juliet, (W. Shakespeare), Saudagar Venesia (W. Shakespeare), “Cinta Perilaku Panas/A Midsummer night’s Dream” (William Shakespeare), “Yang Mulia Sampar” (Albert Camus), “Lingkaran Putih” (Bertholt Brecht), dan “Tragedi Manusia” (Imre Madach).

Dunia Pelajar

Jika di Indonesia banyak seniman tak cukup dekat dengan dunia pelajar, Rudi sepertinya mengambil jalan sedikit berbeda. Sejak 1974 ia banyak mencurahkan waktunya untuk memperkenalkan terater di kalangan pelajar sekaligus mendidik mereka berteater. Bahkan hingga hari ini Rudi terus melatih sejumlah sekolah dan kampus di beberapa kota di Jakarta, Jawa Barat hingga Jawa Tengah.

Ulfah mencatat, pada 1979, Rudi menjadi pelatih taeter di SMAN 11, SMAN 3, dan SMA LabSchool. Selain itu Rudi dibantu oleh isterinya Derry dan awak teater keliling juga membina ekstra kurikuler teater di SMAN 21, SMAN 53, SMAN 59, SMAN 92, SMAN 103, SMK Taruna Bangsa (Bekasi), Labschool, SMA Regina Pacis Bogor, MTsN 6, MTsN, 20, MTsN 24, Jaya Suprana School of Performing Arts). Rudi juga pernah memberikab workship teater di Pusat Bahasa Depdiknas (kini Badan Bahasa Kemendiknas (1999) dan membidani berdirinya Teater Guru di SMA 25 (2002)

Bahkan Rudi juga melatih teater anak di Istana Anak-Anak TMII hingga anak-anak muda di Sabah (Malaysia). Karena itu sejak 1992-19995 pula, Rudi pernah menjadi Ketua Persatuaan Teater Anak-Anak se-DKi Jakarta.

Pertemanan dan Penghormatan
Sebagai penyuka bahasa dan kesenian, saya mengenal nama Rudolf Puspa dan Teater Keliling sejak masih mahasiswa tahun 1980-an. Namun saya baru sempat menonton pertunjukannya pada tahun 1990-an ketika Teater Keliling berpentas di Yogyakarta.

Ada kenangan tak terlupakan ketika menonton Rudi dkk berpentas. Di Yogya saat itu seusai pementasan kertap digelar diskusi. Seingat saya Rudi banyak mendapatkan kritik dari peserta yang hadir. Hal yang membuat saya bangga saat itu ialah salah satu penanya yang tampil ialah mantan siswa ketika saya mengajar di beberapa SMA di Yogya. Ia adalah Sapto Menyut Sayoga. Dari jauh saya tersenyum bangga atas keberaniannya berdkusisi. Kini Menyut adalah guru di bidang seni pertunjukan di sebuah SMK Negeri di Solo.

 

Rudolf Puspa (dok pribadi/twitter.com)

Tetapi perkenalan saya secara pribadi dengan Rudi baru terjadi dalam salah satu rapat persiapan Festival Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Gedung Kemebterian itu pada 2012. FLS2N 2012 diadakan di Mataram, Lombok, NTT. Secara kebetulan saya menginap satu kamar dengan Rudi karena kami bersama tiga teman lain dari UNJ dan badan bahasa sama-sama menjadi juri FLS2N untuk Kategori Lomba Pidato.

Kesan pertama ketika berada di dekat sosok Rudi ialah kerendahhatian sekaligus kesediaannya untuk mengobrol dalam banyak hal, khususnya kesenian. Namun yang membuat saya bangga ialah ketika saya berhasil membuka harta karun informasi tentang dunia film Indonesia. Ia tak menyadari ketika selama beberapa jam mengobrolkan kisah selama menjadi asisten sutradara untuk filem G 30 S PKI adalah mengibrolkan harta karun informasi tentang watak Soeharto dan Orde Baru terhadao kebudayaan.

Saya memang senang menganggu orang yang kaya pengalaman hidup tapi sering tak disadari. Di balik pembuatan Film G 30 S itu lahir banyak fakta dan peristiwa yang bisa mengungkap siapa dan bagaiman Soeharto –Presiden yang memiliki strategi kebudayaan paling jelas sekaligus paling membuat bangsa ini tersiksa– memperlakukan dunia sinematografi, seniman, dan kebudayan.

Malam itu saya menggoda Pak Rudi: mengapa pengalaman sedahsyat itu tidak dibukukan. Mendenngar pertanyaan itu, Rudi kaget dan mengaku baru sadar bahwa dia punya harta karun berupa dokumen dan catatan yang sangat berharga bagi dunia dan sejarah perfileman, kesenian, dan kebudayan Indonesia. Rudolf Puspa berjanji akan membukukannya.

Atas jawaban itu, saya “berbisik” singkat bahwa kelak ketika terbit, buku itu akan melengkapi buku-buku dan tulisan tentang kekearasan budaya pasca 1965. Rudi dengan rendah hati berjanji akan segera menuliskannya.

Beberapa tahaun kemudian ketika sesekali saya singgung soal itu, Rudi bilang buku sedang dalam propses penyusunan. Saya hanya berdecak kagum. Sebab sejak sepulang dari Mataram kegiatan teater keliling begitu tinggi, terutama dalam memperkenalkan dan mendidik pelajar dan anak-anak mengenal kehidupan melalui teater.

Malam ini (Senin, 26 Desember 2017) Federasi Teater Indonesia (FTI) sebuah perkumpulan yang menghimpun para pekerja teater, kelompok, pengamat/kritikus, peneliti/akademisi dan semua pihak yang berkepentingan dengan kemajuan teater Indonesia akan menganugerahkan penghargaan kepada Rudolf Puspa dan tokoh teater lainnya. Rudi meriah penghargaan untuk Kategori Abdi Abadi.

Saya ingin berucap “Selamat Pak Rudi!”. Selamat Rudolf Puspa Heruana. Selamat Teater Keliling. Selamat untuk Derry Sirna, perempuan hebat di belakang dan di depan lelaki yang hebat. Selamat FTI. Mari merayakan kesetiaan, konsitensi dan ketekunan Rudolf Puspa. Terima kasih atas semua pengalaman berharga yang dikisahkan beberapa malam di tepi sebuah pantai di Mataram dan hari-hari lain. Tabik dan hormat!