Opini  

Pentingnya Menerapkan Budaya K3 di Tempat Kerja

Processed with VSCO with m5 preset
Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Putri Ayu Pratiwi*

Istilah kesehatan dan keselamatan kerja (K3) sudah tidak asing didengar di dunia industri khususnya perusahaan yang bergerak di bidang tambang, migas, konstruksi serta perusahaan lainnya yang menggunakan mesin, alat, dan proses kerja yang berbahaya. K3 pun semakin populer di kalangan masyarakat karena peluang kerja yang sangat menjanjikan yaitu sebagai tenaga ahli K3.

Kesehatan dan keselamatan kerja merupakan suatu ilmu dan penerapannya yang mempelajari tentang bahaya dan risiko di tempat kerja. Ruang lingkupnya mulai  mengindentifikasi, mengatasi, dan mencegah risiko bahaya untuk menghindari atau mengurangi terjadinya penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja.

Penerapan prinsip K3 di tempat kerja dilakukan untuk melindungi hak setiap pekerja atas keselamatannya dalam melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan hidup dan produksi serta produktivitas nasional, melindungi keselamatan orang lain yang berada di tempat kerja serta menjamin setiap sumber produksi dipakai secara secara aman dan efesien sebagaimana tercantum dalam UU No 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Tujuan utamanya untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman dan nyaman agar terhindar dari penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja.

Ada banyak bahaya di tempat kerja yang berisiko untuk menyebabkan penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja seperti bahan kimia berbahaya, radiasi, gas beracun, kebisingan, mesin bergerak, temperatur dan lain-lain. Kecelakaan kerja ini terjadi karena dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya lemahnya kontrol manajeman K3 terhadap kegiatan kerja, keterbatasan kemampuan si pekerja, perbuatan yang tidak aman dan kondisi tidak aman.

Sebagian besar kecelakaan kerja yang terjadi ini disebabkan karena faktor manusia yaitu tindakan yang tidak aman seperti tidak memakai alat pelindung diri (APD), mengoprasikan mesin atau peralatan dengan kecepatan yang tidak sesuai standard operating procedures (SOP), mengangkat material atau alat dengan cara yang salah dan melebihi batas kemampuan tubuh,bercanda dan main-main, memakai perlatan yang rusak. Serta faktor kondisi lingkungan kerja seperti kebisingan, mesin yang tidak dilengkapi pengaman, terpapar radiasi, temperatur lingkungan kerja yang ekstrem,penerangan yang tidak layak, ventilasi yang tidak layak dan lain-lain.

Berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan tahun 2017,  angka kecelakaan kerja yang dilaporkan sebanyak 123.041 kasus sedangkan pada tahun 2018 angka kecelakaaan kerja mengalami peningkatan yaitu 173.105 kasus. Hal ini menunjukkan bahwa K3 belum diterapkan secara maksimal.

Kondisi ini terjadi karena masih kurangnya pengetahuan tentang pentingnya menerapkan sistem manajemen K3 dan masih banyak pihak yang menganggap bahwa untuk menerapkan manajemen K3 membutuhkan waktu serta biaya yang besar, bahkan tidak sedikit yang menerapkan K3 hanya sebagai formalitas saja. Perusahaan baru akan menerapkan prosedur K3 jika ada inspeksi atau audit dari pihak berwenang. Padahal,  dengan tidak diterapkannya manajemen K3 dalam proses kerja akan menimbulkan risiko kecelakaan, mengingat risiko ada di setiap proses kerja. Kecelekaan pun dapat terjadi dimana saja dan kapan saja,tentunya kecelakaan yang terjadi akan menimbulkan kerugian materi dan korban jiwa, baik yang dirasakan oleh pekerja, pihak perusahaan,  maupun keluarga.

Sebenarnya kerugian yang ditimbulkan akibat dari kecelakaan kerja yang terjadi itu seperti fenomena gunung es yaitu hanya kerugian yang bersifat langsung saja yang dapat terlihat dan didata. Contohnya biaya untuk pengobatan, biaya santunan bagi keluarga yang ditinggalkan, dan biaya kerusakan produk dan material. Padahal, masih banyak lagi kerugian-kerugian yang tanpa disadari akan terus-menurus terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama pasca kecelakaan kerja yang akan berpengaruh pada keberlangsunagn hidup perusahaan seperti berhenti atau hilangnya waktu produksi sedangkan gaji harus terus dibayar, biaya yang harus dikeluarkan untuk menggaji pekerja pengganti, berkurangnya hasil produksi, tercorengnya citra dan nama baik perusahaan.

Jumlah permintaan (demand) berkurang sehingga tidak menutup kemungkinan perusahaan akan bangkrut dan gulung tikar karena tingkat pendapatan tidak seimbang dengan pengeluaran. Belum lagi masalah hukum yang akan menjerat pihak perusahaan jika nantinya terbukti bahwa kecelakaan yang terjadi itu merupakan kelalaian dari pihak perusahaan karena melanggar ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Ancamannya adalah pidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan sebagaimana diatur dalam UU no 1 tahun 1970 pasal 15.Maka dari itu penting sekali untuk menumbuhkan dan menerapkan budaya K3 di tempat kerja.

Safety culture atau budaya K3 yaitu sikap yang mengutamakan nilai-niai kesehatan dan keselamatan kerja ditandai dengan dipatuhinya kebijakan atau peraturan yang berlaku oleh semua anggota organisasi. Kunci utama untuk dapat menumbuhkan dan menerapkan budaya K3 adalah komitmen dari top manajemen karena hal ini akan berpengaruh pada pembuatan kebijakan atau peraturan ditempat kerja yang akan menjadi acuan atau arahan bagi pekerja dalam bekerja.

Selain dalam bentuk kebijakan yang dibuat, komitmen manajer tersebut juga berupa mampu mengimbau dan mengajak para karyawannya untuk melakukan kegiatan kerja yang sehat dan aman serta mampu menjadi role model dalam praktik budaya K3 sehari-hari dan menyediakan saran prasarana K3. Dengan demikian,  para karyawan pun termotivasi untuk menerapkan budaya K3 dengan mematuhi peraturan yang berlaku seperti memakai APD,bekerja sesuai SOP yang dibuat dan lain-lain. Dengan begitu, risiko kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja serta segala kerugiannya pun dapat dihindari karena para karyawan bertindak aman dalam bekerja sesuai dengan SOP yang berlaku.

Meskipun begitu perlu partisipasi dari berbagai pihak untuk menerapkan budaya K3 di tempat kerja seperti pemerintah,pihak perusahaan dan karyawan. Pemerintah di sini bertindak sebagai pembuat regulasi hukum dan pengawas apakah K3 sudah diterapkan di tempat kerja sesuai dengan peraturan yang berlaku atau belum.

Pemerintah juga perlu melakukan sosialisasi untuk meningkatkan pengetahuan dan merubah mindset para manajer bahwa K3 merupakan suatu investasi.Mengapa demikian karena biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi sarana seperti APD, alat bantu angkut (forklift) dan lainnya yang akan digunakan karyawan dalam bekerja akan mengurangi risiko pekerja dari kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Hal ini akan berpengaruh pada meningkatnya produktivitas perusahaan karena semua karyawan dalam kondisi sehat dan setiap pekerjaan dikerjakan sesuai anggaran yang telah ditetapkan serta dapat diselesaikan tepat waktu dengan hasil produksi yang maksimal sehingga secara tidak langsung akan meningkatkan keuntungan bagi perusahaan dan akan meningkatkan citra dan nama baik perusahaan yang akan mempengaruhi eksistensinya di dunia industri.***

*Putri Ayu Pratiwi adalah mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya (Unsri), Palembang