Isbedy Stiawan ZS/Teraslampung.com
PENYAIR Bambang Widiatmoko meluncurkan kumpulan puisi yang diberi tajuk Jalan tak Berumah. Buku puisi penyair asal Yogyakarta—kini menetap di Jakarta—ini menghimpun 91 puisi yang ditulis selama 5 tahun: 2009-2014.
Menurut penyair “alumus” Forum Puisi Indonesia 87, buku puisi Jalan tak Berumah ini dipersembahkan bagi almarhum cucu pertamanya. Diterbibitkan oleh Yayasan Leksika, Gunung Putri, Bogor, Maret 2014. Penggarapan desain sampul dipercayakan kepada Sosiawan Leak dan Rony Aza.
Tidak seperti lazimnya buku puisi, Jalan tak Berumah karya Bambang Widiatmoko dimulai puisi bertitimangsa 2014 dan puisi penutup ditulis pada 2009.
Ketika disinggung penyusunan puisi seperti ini, Bambang tak member komentar banyak. “Maaf, aku sudah di Bandara menujur Denpasar bersama keluarga,” katanya melalui telepon, Rabu (14/5) sore.
Dalam laman facebook Bambang Widiatmoko, buku puisi Jalan tak Berumah telah diluncurkan di Yogyakarta, menghadirkan penyair dan pembaca puisi kharismatik asal Solo, Sosiawan Leak.
Bambang Widiatmoko dalam puisi-puisinya di buku ini, banyak membicarakan ihwal jalan. Seperti puisi “Jalan Panjang tak Sampai”, “Jalan Pulang”, “Jalan Bintang”, “Jalan Terang”. “Jalan Sembilu”, “Jalan Harap”, Jalan Sunyi”, Jalan Kembali” dan banyak lagi. Sementara soal rumah, Bambang menulis hanya dalam satu puisi: “Kata tak Berumah”.
Sebagai orang Jawa (Yogyakarta)—rumah Bambang Widiatmo di Jalan C. Simanjuntak 80 Yogyakarta, merupakan “rumah penyair (seniman)” lantaran kerap dijadikan tempat singgah dan menginap bagi penyair luar kota kala itu jika ke Yogyakarta—penyair ini juga merepresentasikan “kejawaan”nya di dalam puisi.
Kebimbangan aku lirik yang hidup di masa kini, karena hanya akan mendapati sisa-sisa kenangan nenek moyang yang sia-sia—mencari sisa tulang belulang nenek moyang/mungkin tak pernah aku dapatkan—adalah bukti ketercerabutan seseorang dari akar kultur. Tetapi, kegalauan atau kebimbangan penyair ini tidaklah berteriak-teriak apalagi mencaci, ia seperti menggumam (puisi “Manusia Jawa, 1” hal. 51).
Begitu juga dalam puisi “Manusia Jawa, 2” terasa sekali kegalauannya setelah meninggalkan abad “kapak batu” dan “peradaban batu” yang jika melihat hari ini, masa lalu itu seakan “… kuburan raksasa yang kini bernama Sangiran.”
Hadirnya buku puisi Jalan tak Berumah sebagai bukti kepenyairan Bambang Widiatmo masih berkibar Sebelumnya, penyair ini telah menerbitkan buku puisi Hikayat Kota (2011), dan sejumlah kumpulan puisi bersama.
Redaktur majalah Pusat terbitan Dewan Bahasa ini, masih menjabat Ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI).