Oleh Mas Alina*
Dewinta (42), bukan nama sebenarnya, pikirannya kalut. Selama satu minggu ia selalu gelisah. Ia sulit tidur dan mengalami stres tingkat tinggi sejak para penagih hutang (debt collector) pinjaman online (pinjol) menerornya lewat pesan singkat baik WhatsApp maupun SMS. Para penagih hutang meminta agar ibu dua anak itu segera melunasi hutangnya minggu depan.
“Tahun lalu hutang saya sebenarnya hanya Rp1,5 juta. Dengan bunga 0,4 persen per hari, bunga pinjol tersebut menjadi 12 persen per bulan. Kalau saya bisa mencicil rutin sebenarnya bisa lunas. Tetapi karena saya sering tidak mencicil akhirnya menjadi runyam begini. Bunga hutang menjadi menumpuk,” kata Dewinta.
Yang membuat Dewinta makin stres, si penagih hutang itu sudah menyebarkan perihal hutangnya kepada keluarga besar dan teman-temannya. Artinya, teror juga dialami keluarga besarnya. Termasuk keluarga besar suaminya. Dewinta seperti sudah tidak punya muka lagi.
Parahnya lagi, tagihan pinjol itu juga membuat suami Dewinta marah besar, karena meminjam uang ke pinjol tanpa sepengetahuan suaminya. Sang suami pun mengancam akan menceraikan Dewinta jika tidak bisa melunasi pinjaman online.
Dewinta tidak sendiri. Ada ribuan bahkan mungkin ratusan ribu ibu rumah tangga lain yang juga terjerat pinjol. Bahkan, anak-anak muda pun kini sudah dirasuki pinjol. Hal itu karena aplikasi pinjol bisa dengan mudah diinstall di telepon genggam. Selanjutnya mereka bisa mengajukan pinjaman dengan mudah.
Seorang remaja di Lampung Timur misalnya, meminjam Rp500.000 dari pinjol untuk memenuhi gaya hidupnya. Pinjaman sebesar itu bisa cair Rp450.000 dengan angsuran lima kali. Jika telat sehari saja membayar angsuran, maka bunganya akan berbunga alias bertambah.
Ada juga seorang remaja di Lampung Timur yang terjerat pinjol hingga Rp20.000.000, padahal awalnya ia hanya berhutang beberapa juta saja. Hutang bisa membengkak karena remaja itu sering menunggak. Bunga hutang itu pun terus berbunga sehingga hutang pun jadi membengkak. Orang tuanya pun menjadi kalang kabut. Hal itu masih agak “mendingan”. Banyak kasus orang terjerat pinjol berujung nyawa melayang karena bunuh diri.
Pinjol memang memberikan kemudahan bagi siapa pun yang tidak mungkin didapatkan ketika meminjam uang di bank. Awalnya para calon peminjam diiming-imingi dengan akses yang mudah dan cicilan yang ringan plus tanpa anggunan. Hanya bermodalkan KTP dan foto diri, siapa pun bisa langsung disetujui mendapatkan pinjaman online.
Tentu saja tidak lupa diiming-imingi bunga yang rendah plus potongan admin yang kecil dari jumlah pinjaman. Para calon konsumen pun langsung tertarik dengan pinjaman yang cepat, murah, dan bunga ringan. Padahal, semua itu adalah jebakan batman. Pinjol itu seperti pedang bermata dua. Di satu sisi merupakan anugerah karena bisa menjadi solusi cepat dalam mengatasi keuangan, namun di sisi lain justru bisa menjebak para peminjam.
Hal yang terjadi pada Dewinta patut dapat diduga bahwa nomor kontak selular keluarga dan temannya terdapat pada database kontak selular orang dimaksud. Data itu telah diakses serta digunakan tanpa seizin pemiliknya oleh seseorang atau sekelompok orang yang merupakan debt collector pinjol yang memberikan layanan peer to peer (P2P) lending.
Peran Literasi Keuangan OJK untuk Membendung Pinjol
Di zaman teknologi seperti saat ini, semua hal terasa serba mudah. Begitu pun dengan permodalan. Jika dulu masyarakat Indonesia sangat sulit mendapatkan pinjaman kini untuk mendapatkan pinjaman uang begitu mudah. Salah satu yang memudahkan ialah adanya platform penyedia jasa pinjaman secara digital atau biasa disebut pinjaman online (pinjol). Bahkan, dala dua tahun terakhir banyak orang membicarakan fintech. Terlebih tahun ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menargetkan paling tidak 75 persen dari populasi orang dewasa di Indonesia bisa mengakses layanan institusi finansial, dan masyarakat pun semakin beramai-ramai memanfaatkan jasa fintech untuk mencapai tujuan finansialnya.
OJK merupakan salah satu lembaga pemerintah di Indonesia yang dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan dapat: pertama, terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel. Kedua, mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Ketiga, mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
OJK mempunyai fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan. OJK sendiri mempunyai tugas melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, sektor pasar modal, dan sektor industri keungan non-bank (IKNB).
Dikutip dari Fintech Weekly, financial technology atau yang kini lebih dikenal dengan istilah fintech adalah bentuk usaha yang bertujuan menyediakan layanan finansial dengan menggunakan perangkat lunak dan teknologi modern. Tujuannya jelas, yaitu untuk memudahkan masyarakat dalam mengakses produk-produk keuangan dan menyederhanakan proses transaksi. Namun, tidak sedikit masyarakat yang menganggap fintech adalah saingan perbankan karena keseluruhan sektornya hampir mirip dengan bank. Padahal bila ditelisik lebih jauh, platform fintech.
Mengantisipasi maraknya pinjol ilegal, selama ini OJK rajin menggalakkan literasi keuangan kepada berbagai kalangan. Tujuan utamanya adalah agar masyarakat tidak mudah terjebak ke dalam jeratan pinjaman online ilegal. Menurut OJK, pinjaman online ilegal adalah bentuk pinjaman yang harus diwaspadai karena berisiko menyebabkan kerugian finansial.
Secara reguler, OJK merilis daftar pinjol legal. Yang tidak masuk dalam daftar yang dirilis OJK berarti pinjol ilegal. Terbaru, OJK merilis bahwa hingga Oktober 2024 ada 98 pinjol legal. Pinjol legal tersebut diawasi oleh OJK untuk membantu masyarakat memilih layanan yang aman dan terpercaya. Memilih pinjol yang terdaftar resmi di OJK akan memberikan jaminan bahwa layanan tersebut memenuhi standar hukum dan perlindungan konsumen, sehingga mengurangi risiko penipuan, bunga yang sangat tinggi atau praktik tidak etis lainnya.
Rilis daftar pinjol secara reguler merupakan salah satu bentuk literasi digital yang dilakukan OJK. Dengan mengetahui pinjol yang legal, setidaknya masyarakat tidak akan mudah masuk ke dalam perangkap pinjol ilegal yang akan membuat masyarakat makin terpuruk dengan tumpukan beban hutang.
Selain merilis daftar pinjol ilegal, literasi keuangan yang dilakukan OJK juga adalah dengan memberikan panduan agar masyarakat tidak mudah terkecoh pinjol ilegal. Menurut OJK, pinjaman online ilegal atau pinjol ilegal adalah praktik pinjaman uang secara daring yang tidak terdaftar dan tidak memiliki izin resmi dari OJK.
Pinjol ilegal biasanya menawarkan pinjaman dengan bunga dan biaya yang tinggi, serta menerapkan penagihan yang tidak wajar. Penagihan tak wajar misalnya terjadi pada Dewinta, yang dipaparkan pada awal tulisan ini.
Lembaga pinjol ilegal biasanya beroperasi di luar regulasi yang telah ditetapkan untuk melindungi konsumen. Dalam beberapa kasus, pinjol ilegal bahkan tidak terdaftar secara hukum sebagai perusahaan di Indonesia. Namun, dengan tingkat literasi yang baik dan terus meningkat, diharapkan pinjol ilegal tidak makin merajalela dan membuat perekonomian masyarakat makin terpuruk. Di situlah pentingnya peran OJK. Maka dari itu, literasi digital yang dilakukan OJK pun tidak hanya dengan sasaran kelompok tertentu, tetapi juga di semua kalangan. Bahkan, hingga ke kalangan pelajar.
Melalui Gerakan Nasional Cerdas Keuangan (Gencar), OJK tidak hanya berperan untuk membendung ekspansi pinjol ilegal, tetapi sekaligus juga mengurangi dampak judi online dan aksi para rentenir. Beberapa daerah yang masyarakat dulu banyak yang terjerat pinjol dan rentenir kini bisa bangkit kembali dengan program menabung saham yang digulirkan oleh OJK.
Bahaya dan Risiko Pinjol Ilegal
Menggunakan jasa pinjol ilegal dapat mendatangkan berbagai risiko dan bahaya bagi para peminjam. Beberapa risiko tersebut antara lain adalah:
1.Bunga yang tidak Masuk Akal
Salah satu bahaya pinjol ilegal adalah bunga pinjaman yang jumlahnya tidak wajar. Pinjaman online ilegal cenderung menawarkan suku bunga tinggi yang melebihi batas yang diizinkan oleh Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). Adapun bunga yang diizinkan oleh AFPI persentasenya berkisar mulai dari 0,067% hingga maksimal 0,3% per hari tergantung dari jenis pinjaman, apakah untuk aktivitas produktif atau konsumtif.
Jika Anda menemukan pinjol yang menawarkan suku bunga 0,88% per bulan, maka itu masih dalam taraf aman. Namun, jika hitungan bunganya per hari melebihi jumlah yang disebutkan, maka itu termasuk kategori pinjol ilegal.
2. Teror Terus-menerus
Pinjol ilegal melalui para penagih hutang atau debt collector tidak segan-segan melakukan teror dengan menyebarkan fitnah hingga pelecehan seksual kepada nasabah yang tidak bisa membayar angsuran secara tepat waktu.
3.Mengambil Akses dari Perangkat Nasabah
Saat mengajukan pinjaman online yang legal maupun ilegal, biasanya Anda akan diminta untuk memberikan izin akses ke berbagai aplikasi di perangkat, seperti kontak, foto, galeri, hingga SMS. Namun, pinjol ilegal akan memanfaatkan akses tersebut untuk melakukan tindak pidana. Hal ini bukan hanya membahayakan Anda, melainkan juga orang-orang yang kontaknya ada di perangkat Anda.
4.Penyalahgunaan Data Pribadi Peminjam
Saat mengajukan pinjaman dana secara online, Anda biasanya akan diminta untuk memberikan data pribadi. Ada risiko data pribadi Anda jatuh ke tangan yang salah dan digunakan untuk tujuan yang merugikan apabila gagal bayar.
5.Menyebarluaskan Data Pribadi Peminjam
Ada banyak kasus di mana pinjol ilegal mempermalukan dan menekan nasabah agar segera membayar pinjaman dengan cara menyebarkan foto dan informasi pinjaman nasabah ke kontak di perangkatnya.
Praktik ini bukan hanya pelanggaran privasi yang serius, tetapi juga bentuk intimidasi dan pelecehan yang dapat mencoreng nama baik dan reputasi peminjam.
6.Tidak ada Perlindungan Hukum
Mengingat pinjol ilegal tidak terdaftar secara resmi, maka Anda sebagai debitur tidak akan mendapatkan perlindungan hukum dari OJK apabila terjadi kebocoran data pribadi. Pinjol yang tidak terdaftar di OJK umumnya tidak memiliki perlindungan data pribadi yang memadai. Hal ini dapat meningkatkan risiko data pribadi disalahgunakan oleh oknum.***
*Jurnalis Teraslampung.com