Opini  

Peran Pemerintah dan Keluarga dalam Pelestarian Bahasa Ibu

Ilustrasi/INT
Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Delvi Rutania Prama*

Sejak 17 November 1999, UNESCO telah menetapkan tanggal 21 Februari sebagai hari Bahasa Ibu Internasional. Bahasa ibu merupakan bahasa pertama yang dikuasai manusia sejak lahir untuk digunakan berinteraksi dalam keluarga maupun masyarakat. Bahasa menjadi alat komunikasi seluruh manusia, baik antar suku maupun bangsa. Selain itu, ragam dialek dan vokal dari bahasa ibu merupakan ciri dan identitas suku dan bangsa tersebut.

Kondisi sekarang ini bahasa ibu atau bahasa daerah semakin hari menjadi dialek sosial yang langka ditemukan. Di tempat- tempat umum, masyarakat membiasakan diri berkomunikasi menggunakan bahasa nasional dan bahasa asing. Bahkan beberapa keluarga, saat ini banyak membiasakan percakapan sehari-hari tidak lagi menggunakan bahasa ibu. Akibat dari semua itu, banyak generasi muda tidak mengenal dan tidak bisa melafalkan bahasa daerah tempatnya berasal.

Generasi muda yang tidak mengenal bahasa ibu, beberapa memang disebabkan tidak adanya didikan orangtua di rumah. Orangtua tidak mengajak anaknya untuk membiasakan berkomunikasi menggunakan bahasa daerah. Stigma yang berkembang beranggapan menggunakan bahasa daerah merupakan bentuk kemunduran dan ketidaksiapan dalam persaingan global. Sebab lain dari faktor orangtua dikarenakan kawin campur, secara otomatis bahasa yang digunakan dalam keseharian di rumah merupakan bahasa nasional.

Penyebab lain gagapnya generasi muda dalam melafalkan bahasa ibu dikarenakan gengsi, terlebih ketika mereka di perkotaan. Mereka beranggapan memakai bahasa ibu sudah kuno atau ketinggalan Zaman  Dalam pergaulan sehari-hari, baik pemuda di peratauan atau tidak, banyak yang lebih memilih menggunakan bahasa gaul yang kekinian. Lambat laun bahasa gaul tersebut terdengar familier seperti, kepo, bingit, cemungut, bokap, nyokap, pansos dsb.

Kondisi Bahasa Ibu Kini

Berdasarkan data kajian yang dilakukan Badan Bahasa sejak tahun 2011-2019.
bahwa saat ini terdapat 718 bahasa ibu yang sudah teridentifikasi di Indonesia. Sebanyak 11 bahasa daerah diantaranya bahkan sudah punah.  Data hasil Sensus penduduk Tahun 2010 menunjukan 79,5 persen penduduk Indonesia usia 5 tahun menggunakan bahasa ibu dalam kesehariannya, tentunya harapan penggunaan bahasa ibu dikalangan usia muda bisa lebih besar lagi, karena dari 270,20 Juta jiwa hasil sensus penduduk 2020, 27,94 persen  nya adalah usia 8-23 tahun.

Menurut Leanne Hinton, revitalisasi bahasa merupakan upaya untuk mengembalikan bahasa yang terancam punah, terlebih masyarakat sekarang ini yang telah mengalami penurunan pengguna bahasa. Tugas utama dari revitalisasi bahasa yakni, mengajarkan bahasa kepada orang yang tidak cakap berbahasa, dan membuat pelajar bahasa serta orang yang telah mengetahui bahasa agar menggunakannya dalam situasi apapun.

Upaya konkret yang dapat diterapkan oleh masyarakat dan pemerintah. Dalam hal ini, masyarakat meliputi peran keluarga/ orangtua dan lingkungan. Pola pendidikan bahasa yang bisa diterapkan oleh orangtua, dengan membiasakan komunikasi di rumah melalui bahasa ibu. Semisal keluarga di Lampung, orangtua dapat mengajak anaknya untuk berkomunikasi dengan bahasa Lampung baik dalam keseharian maupun acara tertentu.

Peran Pemerintah

Peran strategis selanjutnya berada pada kebijakan pemerintah pusat dan daerah. Selain melalui pendokumentasian bahasa daerah, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dapat melahirkan dua kebijakan edukatif untuk menjaga keutuhan bahasa ibu. Pertama, dengan mengeluarkan kebijakan hari wajib berbahasa daerah sepekan sekali di lembaga pendidikan, berlaku dari tingkat sekolah dasar (SD) sampai Perguruan Tinggi (PT). Kondisi saat ini di daerah, kurikulum bahasa daerah dilaksanakan sebanyak seminggu sekali dalam kegiatan pembelajaran.

Kedua, menciptakan kreasi visual seperti, film kartun, film dokumenter maupun film pendek berbahasa daerah yang dapat ditayangkan melalui televisi atau media sosial. Sebab, saat ini banyak dari generasi muda yang tertarik dengan program teknologi, informasi dan komunikasi (TIK). Dengan memanfaat komunikasi visual, bahasa daerah menjadi lebih dekat dan komunikatif. Internalisasi nilai- nilai lokal bahasa daerah turut menjadi sangat efektif. Dengan begitu, harapan agar generasi muda menguasai trigatra bahasa (bahasa daerah, bahasa nasional, bahasa asing), dapat terwujud dengan baik.

Pada saat ini sebagi wujud pelaksanaan program Pemerintah Provinsi Lampung di bidang pendidikan dalam pelestarian, pembinaan dan pengembangan budaya, bahasa dan aksara Lampung, Gubernur Lampung memberikan rekomendasi dan dukungan penuh dalam Pembukaan Program Studi Strata I (S1) Pendidikan Bahasa Lampung pada FKIP Unila. Selanjutnya Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI pun menyetujui dibukanya Prodi S1 pendidikan Bahasa Lampung di Unila.

Menghidupkan bahasa daerah dalam lomba-lomba, seperti lomba pidato bahasa daerah, lomba menulis puisi bahasa daerah dan lain-lain merupakan salah satu kegiatan untuk melestarikan bahasa daerah atau bahasa ibu agar tidak punah. Atau dengan menggiatkan acara TV lokal yang menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa utama.

Menggunakan bahasa Indonesia dan menguasai bahasa asing memang tidak ada salahnya karena tuntutan dunia kerja yang semakin berdaya saing global dan mengharuskan menguasai bahasa asing. Namun, bukan berarti kita melupakan bahasa daerah yang notabennya merupakan bahasa sendiri. Sudah sepatutnya kita sebagai generasi penerus bangsa mencintai dan bangga menggunakan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari disamping bahasa nasional dan bahasa asing.***

*ASN di Badan Pusat Statistik Kota Metro