Rilda A. Oe Taneko*
Erwiana Sulistyaningsih terbaring di rumah sakit. (Dok. AP/The Jakarta Post) |
Di Hong Kong, Selangor, Newcastle, Liverpool dan London, saya selalu
bertemu pahlawan-pahlawan Indonesia. Mereka perempuan-perempuan
pemberani dan kuat, yang meninggalkan keluarga –orangtua, suami dan
anak-anak- mereka, yang meninggalkan pelukan Ibu Pertiwi, untuk bekerja
di negeri-negeri asing, mencari rezeki yang halal dan meraih mimpi untuk
kehidupan yang lebih layak, kadang bukan untuk diri mereka sendiri tapi
untuk generasi masa depan –untuk Indonesia.
Sayangnya,
pengorbanan dan perjuangan perempuan pekerja migran Indonesia ini tidak
diikuti perlindungan dari pemerintah Indonesia, bahkan kadang
sebaliknya: pemerintah juga ikut menyumbang penindasan dan peminggiran
atas mereka. Alhasil, perempuan-perempuan pekerja migran Indonesia ini
retan akan peniadaan hak pekerja, eksploitasi kerja dan kekerasan.
Sekadar
berbagi pengalaman, ketika saya pindah ke Selangor dari Belanda (2008),
pihak universitas tempat suami saya bekerja memberikan sebuah majalah
untuk expatriate. Salah satu halamannya menjelaskan tips mencari maid,
seperti di bawah ini:
Domestic labour, as mentioned
earlier, is very cheap in Malaysia. But it differs between the
nationality of the maid you are hiring :
Indonesian
maid – Minimum salary RM350 per month – Work 7 days a week – Safer for
employer to open joint bank account with maid in case she leaves without
notice – Salary to be banked into her account at the end of every month
as she is not allowed to carry cash for the first two years working in
Malaysia
Filipina maid – Minimum salary RM700 per
month – Work 6 days a week, Sundays off – Not necessary for employer to
open joint bank account with maid as there are no restrictions in her
carrying cash
Betapa terpukulnya kami saat membaca
tips yang demikian rasis dan melegalkan perbudakan atas maid asal
Indonesia (peniadaan atas upah yang layak, hari libur, memegang uang dan
paspor sendiri). Di Selangor pula, saya kerap diundang kolega suami,
yang kebanyakan berbangsa asing, untuk makan malam.
Pada tiap acara makan
malam itu, hanya ada satu-dua orang saudara sebangsa, dan mereka
biasanya duduk di lantai, menunggu majikan menyuruh mereka mengambilkan
ini-itu dan melayani para tamu –termasuk kami-. Tentu saja selera makan
kami hilang dan alih-alih duduk makan bersama, kami berhenti makan dan
duduk bersama dengan saudara-saudara kami, di lantai, dan tak
memedulikan keheranan para kolega. Selama di Selangor juga, kami
berkenalan dengan para ‘pendatang haram’. Mereka menjadi teman kami, dan
ketika teman-teman itu harus pulang dengan tongkang ke Indonesia, lalu
keesokan harinya saya melihat berita di televisi ada tongkang yang
menabrak karang dan puluhan Indonesia meninggal, saya pikir saya pun
harus pergi meninggalkan Selangor.
Faktanya, kenyataan
seperti itu tidak terjadi di Selangor saja, tetapi juga di Newcastle,
Liverpool, dan London. Saya sempat bertemu perempuan pekerja migran
Indonesia yang dibawa ke Inggris oleh mahasiswa-mahasiwa Arab dan
Malaysia, dan mereka digaji hanya £100,-/ bulan, jauh sekali dari upah
minimum di UK. Lalu di Hong Kong , ketika melihat perempuan-perempuan
pahlawan itu berjalan menunduk-nunduk oleh beban bawaan yang berat
–belanjaan, tas-tas majikan- di belakang majikan mereka, saya tak bisa
tidak menangis. Saya pernah mengira bahwa Indonesia sudah merdeka, tapi
ternyata itu hanya mimpi semata.
Dan yang lebih
menyedihkan bagi saya adalah ketidakmampuan saya sendiri. Saya tidak
bisa berbuat apa-apa. Saya hanya seorang penulis dan hanya kata-kata
yang saya punya. Selebihnya itu hanya doa dan pertanyaan saya pada
Tuhan, seperti juga pertanyaan seorang Bunda pejuang, yang hingga
sekarang terus terngiang di telinga dan hati saya.
Tuhan Bolehkan Bertanya
oleh Mega Vristian
Tuhan
Boleh saya bertanya
Pernahkan presiden negeriku berdoa
“Tuhan, ridhoi hambamu yang kaya raya ini
untuk membuka lapangan pekerjaan bagi perempuan rakyatku sebanyak-banyaknya
dan selanyak-lanyaknya agar mereka tak meninggalkan keluarganya”
(Causway Bay, 29 juli 2009)
Untuk
perempuan migran Indonesia, untuk Erwiana, untuk Nirmala, untuk Enung
dan Sumirah: hormat, kagum dan bangga saya untuk kalian semua.
Lancaster, 23 Januari 2014
* Rilda A. Oe Taneko adalah cerpenis asal Lampung, pernah aktif di Gerakan Perempuan di Lampung, kini tinggal di Lancaster, Inggris