Perenungan dan Pemahaman

Bagikan/Suka/Tweet:

Asarpin*

Kicau Murai Batu asal Kota Agung memang mempesona. Dengan bunyi yang berulang-ulang dengan ekor yang naik turun saat mengeluarkan suara,  membuat kita tak cuma kagum, tapi juga takjub. Betapa binatang satu ini memiliki suara begitu indah dan begitu merdunya sehingga setiap kali mendengarnya saya tertegun dan diam.

Hal ini sering berbanding terbalik dengan kicauan dan komentar sosial kita di alam maya. Asal omong, asal ucap dan akhirnya asal-asalan. Saya teringat pidato kebudayaan Karlina Supelli beberapa tahun lalu yang merekomendasikan satu siasat budaya dari delapan siasat yang diajukannya: mari menghidupkan kembali pemikiran kebudayaan yang mengakar di perenungan yang mendalam. Sebab,  sudah terlalu banyak yang jadi tukang komentar acak dan asal bicara di ruang-ruang maya yang tersedia saat ini.

Tentu saja yang dimaksud perenungan yang mendalam oleh Karlina bukan dilihat dari panjang dan pendeknya hasil renungan yang kita hasilkan, melainkan seberapa menggugah dan kuat pemikiran hasil renungan tersebut untuk dapat kita sajikan kepada publik.

Sebuah tulisan yang hanya memuat satu-dua paragraf yang dihasilkan oleh sebuah perenungan dan pergulatan tetap merupakan permata langka. Aforisme-aforisme kaum sufi dan para filsuf, pabel-pabel keagamaan, percik peremenungan para penyair, adalah sejumlah tambang kekayaan dan kedalaman pemikiran yang pernah ada.

Mungkin kita harus menutup twitter dan facebook agar bisa berjarak dan melakukan penelitian serius, seperti dilakukan salah seorang penulis novel kita. Atau mungkin kita harus berhenti sejenak menulis dan mengendapkan pengalaman batin sehingga hasil pemikiran yang akan dihasilkan benar-benar kuat dan menggugah. Tapi apa jaminannya bahwa dengan mengambil jarak sejenak dari dunia tulis-menulis itu kelak kita akan menghasilkan intan-berlian yang bercahaya?

Saya kira lebih baik kita terus menulis sambil memperkaya bacaan dan pengalaman ketimbang menutup twitter atau facebook, walau pun seumur-umur saya tak pernah tahu keduanya. Dengan terus menulis kita belajar mengolah kata memperkuat kedalaman makna karena banyak juga yang niatnya berhenti sejenak menulis pada akhirnya terlena.

Seorang teman bertanya: mengapa setelah hampir empat puluhan tahun sedikit sekali kita menemukan puisi yang memiliki kedalamaman kemaknaan di negeri ini, yang berbanding terbalik dengan jumlah penyair yang terus meningkat tajam? Saya bilang bukan karena para penyair kita terlalu banyak menulis puisi.

Saya setuju dengan Pablo Neruda, bahwa musuh puisi bukan karena terlalu banyaknya komentar yang dimasukkan ke dalam sajak,  atau karena dunia semakin gaduh oleh politik,  tapi musuh puisi yang sebenarnya adalah tidak utuhnya pemahaman dalam diri penyair itu sendiri. Dengan alasan ini sebetulnya tak usah risau dengan banyaknya komentar di jejaring sosial, toh para penulis juga bersiasat agar tetap menghasilkan tulisan-tulisan yang bagus di tengah kicauan-kicauan yang tak mencerdaskan itu.***

*Esais