Oleh : Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila
Malam itu saya mendapat berita pendek dari mahasiswa bimbingan yang berkeinginan menerbitkan buku. Ia sudah ditagih oleh penerbit untuk segera menuntaskan naskah. Sebagai seorang promotor, tentu saya sangat senang dan bangga melihat dan menyimak kemajuan generasi penerus sebagai anak ideologis. Namun, ada kegalauan yang menyertainya, yaitu terlalu laju kecepatan yang bersangkutan dalam melintas dunia ilmu. Dikhawatirkan ada pihak-pihak yang tidak berkenan akan membuat jebakan untuk mencelakakan. Secara filosofis kekhawatiran orang tua kepada generasi penerus adalah bentuk rasa sayang.
Semua ini mengingatkan peristiwa masa lalu yang dialami oleh rekan sejawat. Ia sangat menggebu dalam meraih cita-cita. Ternyata ada jebakan kosong tetapi berancun yang tidak sadar dihirup oleh yang bersangkutan. Sebagai teman tentu saja prihatin dan sedih, Namun nasi sudah menjadi bubur, terpaksa teman tadi harus mengandaskan cita cita demi marwah dirinya. Bisa dibayangkan hanya karena keteledoran memosisikan waktu dan tempat, dapat menghancurkan masa depan yang sudah lama dirajut. Karya tulis besarnya dianggap tidak sah karena yang bersangkutan menerbitkan lebih awal anak subbabnya sebelum karya induk dipublikasikan. Tindakan ini dalam dunia ilmiah dikelompokkan dalam self plagiarism.
Setelah lama peristiwa itu berlalu dan mengendap dalam ruang ingatan, ternyata semua itu terjadi karena hakikatnya ada pada kurang pemahaman akan makna “pergi” dan “pulang” secara substantif. Walaupun jika dilihat secara harfiah keduanya sama sama meninggalkan titik tumpu menuju titik tuju yang lain, akan tetapi tanda panah penunjuk yang berbalik arahlah sebagai pedoman, adalah penanda substantive dari keduanya.
Lalu apa yang dapat kita simak dari keduanya lebih lanjut? Ternyata dalam banyak hal kita melakukan itu pada proses menjalani kehidupan. Setiap hari kita melihat orang pergi, tetapi kita tidak pernah merasa rugi. Setiap hari kita menjumpai orang pulang, tetapi kita tidak pernah merasa ada yang kurang. Atau bisa jadi setiap hari kita melihat orang pergi tetapi kita tidak pernah menanti; setiap hari kita melihat orang pulang tetapi tidak merasa ada yang dicukupkan; itulah hidup, pergi dan pulang atau datang dan pergi adalah sesuatu proses perputaran roda lehidupan yang merupakan sunatullah.
Pada waktu tertentu kita memaknai pergi sebagai pulang; dan pada waktu yang lain kita memaknai pulang sebagai pergi. Ternyata antara pergi dan pulang, terbentang spectrum obyektif dan subyektif secara bersamaan. Kita tidak pernah mendengar “pergi kerahmatullah” tetapi “pulang kerahmatullah”; pada hal semua kita paham orang meninggal itu karena pergi meninggalkan kita atau pergi meninggalkan dunia.
Jika jalan pemikiran ini kita bumikan dapat kita ambil contoh setiap lima tahun ada kuwajiban institusi untuk mendaftarkan partai kepada lembaga penyelenggara pemilu, ini merupakan penanda akan kesertaan dalam kegiatan kepemilihan. Partainya tetap apapun namanya, tetapi personal penyelenggara sebagai pengendara, selalu berganti. Oleh karena itu bisa jadi wadahnya sama tetapi rasanya berbeda. Karena rasa inilah yang terus berganti seiring hukum alam yang menyertainya.
Demikian halnya dengan jabatan: posisi kejabatanannya tetap, hanya personil pengisi jabatan sebagai pelaku, harus ganti sesuai periodesasi yang disepakati. Hanya yang diperlukan adalah keihlasan yang pergi, dan kesiapan sebagai pengganti, itu yang terkadang menyisakan persoalan generasi yang tidak pernah selesai. Ini dibuktikan dengan perasaan sipengganti merasa lebih baik dari yang digantikan, sementara yang digantikan merasa berjasa terhadap masa lalunya dan yang menggantikan itu selalu lebih jelek di mata yang bersangkutan. Kita semua lupa di sana ada sunatullah yang berlaku sebagai hukum alam. Ini terbukti dari yang menggantikan sekarang, pada waktunya juga akan digantikan, dan itu terus berlangsung sepanjang waktu; dan itu kita beri nama periodesasi.
Benar apa yang dinarasikan suatu adagium bahwa “setiap orang punya waktu, setiap waktu ada orangnya” dan itu tidak akan pernah tertukar sekalipun, karena pertukaran itu sendiri adalah waktu.
Berdasarkan paparan tadi ada benang merah yang dapat kita tarik bahwa pergi dan pulang itu hanya istilah untuk meninggalkan atau menuju pada satu titik tumpu. Sementara ruang dan waktu adalah berada pada dimensi keduanya. Sedangkan yang menyatukan keduanya adalah rahmat Tuhan; oleh karena itu rahmat Tuhan selalu lebih luas dari dunia dan isinya, tinggal mampukah kita memahami dan mesyukurinya.
Selamat ngopi di Jumat pagi!