Perkuat Nasionalisme, IKA Suka Lampung Gelar Diskusi Bahaya Laten PKI

Bagikan/Suka/Tweet:

TERASLAMPUNG.COM—Ikatan Alumni UIN Sunan Kalijaga (Ika Suka) Provinsi Lampung menggelar diskusi tentang bahaya laten PKI dengan tema “Menguatkan Nasionalisme Lewat Pendekatan Sejarah,” di kediaman Sekretaris IKA Suka, H.Khaidir Bujung, di Perumahan Sumur Putri, Bandarlampung, Minggu (8/10/201).

Dalam diskusi yang dimoderatori Safari Daud itu, hadir antara lain Khaidir Bujung (Sekretaris IKA Suka), Dra.Hj. Siti Masykurah, M.Ag (Dosen UIN Raden Intan)., Safari Daud , M.Ag.(Dosen UIN Raden Intan ), Dra, Tatik Rahayuningsih, M, Sos, Dr. Rumadani Sagala, MA, Abdul Kodir Zailani.

Menurut Khaidir Bujung, isu PKI akhir-akhir ini dijadikan alat untuk menjatuhkan orang lain dengan tidak melihat persoalan apakah perjalanan sejarah dari PKI itu sendiri.

Menurut anggota Komisi V DPRD Lampung itu, pembangunan Indonesia ke depan tidak dengan menghabiskan orang lain kemudian dengan memutarbalikkan sejarah.

“Bahwa PKI pernah ada di Indonesia, itu benar. Sekarang, kita harus menjadikan pengalaman buruk masa lalu itu sebagai kekuatan untuk untuk membangun nasionalisme di bumi pertiwi ini khususnya di Lampung,”katanya.

Bujung mengatakan, dulu PKI menarik simpati masyarakat bawah dengan isu ekonomi. Yakni membangun kesejahteraan dengan kebersamaan.

“Makanya, sekarang pemerintah harus bisa menciptakan kesejahteraan agar masyarakat bawah tidak mudah terpengaruh oleh isu-isu yang akan menggeroti nilai-nilai Pancasila,” katanya.

”Apakah PKI itu masih membahayakan apa tidak, itu yang harus kita perjelas. Kalaupun ada benihnya mari kita mengantisipasinya. Bagi saya pribadi, isu komunis itu disebarkan untuk kepentingan pilpres 2019,” imbuhnya.

Terkait dengan tradisi diskusi, Khaidir Bujung mengatakan hal itu sudah selayakna dilakukan semua kalangan. Termasuk mahasiswa, dosen, dan ikatan alumni perguruan tinggi.

“IKA Suka akan membangun kajian agama dan sejarah, sehingga banyak manfaat yang didapat untuk masyarakat,” katanya.

Siti Masykuroh, dosen sejarah dari UIN Raden Intan mengatakan sejarah adalah sebuah produk dan tidak akan pernah lurus , sejarah dari dulu sampai sekarang adalah sejarah dari sudut penguasa .

Terkait isu komunis, menurut Masykuroh, ideologi komunis sebenarnya sudah tidak laku di dunia. Di negara-negara yang dulunya komunis saja sudah tidak  laku. Uni Sovyet hancur dan berubah menjadi beberapa negara.

“Tapi kini, di Indonesia ideologi komunis  seolah-olah akan dipaksakan, Informasi yang menyesatkan inii dilakukan dengan banyaknya postingan tentang PKI di media sosial. Lihat saja grup-grup WhatsApp, sudah banyak yang keblalasan. Ini kondisi menunjukkan bahwa zaman sudah sakit,” katanya.

Sementara itu, Rumadani Sagala menyatakan sejak zaman Rasullulah sampai zamannya Jokowi golongan yang munafik itu tetap ada.

“Entah ada kepentingan pribadi, politik, ataupun murni. jangan melupakan sejarah maka kita kan tergilas olehnya. Sekarang ini yang perlu kita antisipasi adalah para generasi muda. Di sinilah media berperan sangat penting. Baik buruknya informasi, merusak-tidaknya informasi bagi generasi muda tergantung isi beritanya. Ada berita atau informasi yang untuk membangkitakan sejarah untuk generasi muda, ada juga berita yang negatif tentang pemerintah,” kata dia.

Menurut Rumadan, tantangan bagi bangsa Indonesia saat ini adalah apakah kita masih cinta dengan NKRI atau nasionalisme atau tidak.

“Di Iindonesia sekarang ini sudah bergeser ke kapitalis,apakah bisa atau masih nasionalisme.Yang membuat resah kita hari ini adalah kita belum siap terhadap konsekensi informasi terbuka. Ketika kita membuka gadget, maka kita seharusnya siap untuk menerima dimensi positif dan negatif,” katanya.

Sedangkan Abdul Kodir Zailani menegaskan, sisi kelam sejarah Indonesia memang ada.

“Liiteratur menyebutkan, pembantaian ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Literatur sejarah akan bergantung pada penulisnya, pada penguasa yang berkuasa pada saat itu. Ketika zaman berubah, wajar saja jika ada yang mengritisi atau melakukan pelurusan sejarah,” katanya.

Mas Alina Arifin