Oleh: Sudjarwo
Pemerhati Masalah Sosial dan Pendidikan
Pada saat acara Pidato Pamungkas saya sebagai guru besar, di even terakhir acara saya mendapatkan kejutan dengan majunya Mas Gino Vanoli dan Kolpah Herman Batin Mangku. Mas Gino menenteng sarang burung berisi burung perkutut, sementara Kolpah Herman Batin menyerakan serta segebok Buku. Dua orang sahabat ini memberikan dengan serius dan canda. Foto momen itu kemudian ditimpali oleh Mas Oyos karib saya dengan menulis “belum di jelaskan apa filosofinya”. Sontak pikiran langsung bekerja menemukenali hubungan antara yang diberikan dengan yang menerika, yaitu “Perkutut dan Guru Besar. Ternyata keduanya bernasib serupa dan sebangun, hanya beda entitas kemahlukannya saja. Tulisan ini mencoba mendeskripsikan bagaimana hubungan keduanya.
Burung perkutut adalah salah satu jenis unggas yang banyak diminati. Selain memiliki suara yang indah, perkutut juga memiliki sejarah dan asal usul yang penuh dengan makna filosofi dan falsafah. Burung perkutut konon katanya merupakan burung jelmaan pangeran, sehingga pada zaman Majapahit dikenal adanya legenda Joko Mangu. Sejak saat itu munculah paham Jawa bahwa perkutut merupakan burung yang sakral.
Falsafah Jawa juga mengungkapkan bahwa seorang lelaki yang telah dewasa harus memiliki delapan unsur atau dikenal dengan Asta Brata, yang salah satunya adalah kukila (manuk) atau memiliki peliharaan berupa burung. Sejak Juni 1990 burung perkutut dijadikan sebagai maskot Provinsi Daerah Ibukota Yogyakarta. Karena itu, para priyayi zaman dahulu sering memberi wejangan kepada anak cucunya, ”Aja mung ngoceh, nanging manggunga. Tegese yen ngomong kudu sing mentes” (Kalau bicara yang bermakna bukan asal bicara). Itulah falsafah burung Perkutut. Dia akan bersuara jika suaranya akan memberi makna, jika tidak dia lebih banyak diam.
Orang yang suka burung perkutut karena suaranya, biasanya memelihara perkutut untuk diikutkan lomba atau untuk “klangenan”. Sedangkan orang suka burung perkutut karena adanya cirimati atau “katuranggan”, karena punya kepercayaan bahwa memelihara burung perkutut dapat mendatangkan rezeki dan sejenisnya; wallohuallam.
Menurut e-book, disebutkan dalam Primbon Betaljemur Adammakna, perkutut yang punya katuranggan baik antara lain Srimangempel, Wisnucarita, Wisnumangenu, Kusumawicitra, Pandhawa Mijil, Purnasidi, Murcujiwa, Minep Gedhong, Gedhong Menga, Wisnumurti, Udanmas, dan Widahsana gastagasti. Intinya adalah kemampuan menampilkan suara yang baiklah menjadi prioritas keterpilihan burung perkutut.
Harapannya guru besar pun demikian. Dia boleh bicara, namun ingat apa yang dibicarakan atau yang keluar dari mulutnya harus bermakna bagi orang lain. Bukan malah menyakiti atau melukai hati. Jika itu yang terjadi sebaiknya bukan burung perkutut yang dijadikan lambang. Akan tetapi, barang kali yang lebih tepat adalah burung gagak. Karena suara burung gagak sama dan sebangun dengan suara kematian.
Namun sebenarnya nasib akhir dari burung perkutut dan guru besar itu relatif sama; sedang jaya-jayanya atau bagusnya suara, kalau dalam kamus perburungan untuk perkutut suaranya yang “kung”-nya panjang dan bagus. Guru besar juga demikian. Jika masih enargi, muda, bersuara bernas, maka akan dirindu puja. Begitu selesai semua,baik perkutut maupun guru besar pilihannya hanya dua. Pertama, menjalani tuanya kemudian “pralaya” tanpa makna tinggal kenangan atau sejarah.Kedua, terbang bebas sebagai jiwa merdeka untuk memberi suluh kepada yang muda dengan caranya. Usia bukan menjadi penghalang untuk memberikan yang terbaik bagi generasi peneerusnya. Demikian juga burung perkutut: burung yang tua sarangnya akan digandengkan dengan burung yang baru belajar bersuara dengan harapan burung yang tua dapat memberikan contoh dan respons kepada yang muda, untuk bersuara yang baik dan benar.
Semoga peran guru besar mampu membesarkan generasinya, bagai burung perkutut yang membimbing yuniornya dalam belajar bersuara dengan baik dan benar. Oleh karenanya, perkutut dan guru besar tidak mengenal kata pensiun dalam berkarya, kecuali kematian yang mengakhirinya. Soal bidang bisa berbeda, namun soal hakikat tetaplah sama yaitu menuju makrifat kesempurnaan diri dalam menginspirasi anak negeri.