Rois Said
Pagi itu rumah di Jalan Lanud S. Sukani Nomor 284, Majalengka, Jawa Barat, sudah penuh oleh para petani. Mereka ingin berembuk dengan sang tuan rumah mengenai kebijakan pemerintah yang mewajibkan para petani agar menyediakan lahannya untuk ditanami tebu. Swasembada gula, begitu jargon yang digaungkan pada awal dekade 1980-an itu. Said, sang tuan rumah, sejatinya merupakan korban juga dari kebijakan itu. Namun, dengan status tanah garapan yang hanya menyewa dari saudaranya, ia bisa saja lepas tangan dan menyerahkan keputusan kepada sang pemilik tanah.
Namun keluhan para petani penggarap sawah yang sehari-hari berbagi lumpur dan air irigasi dengannya membuat Said tidak bisa berpangku tangan. Diiringi puluhan petani penggarap tadi ia melangkahkan kaki menuju balai desa di alun-alun. Di sana, rupanya ratusan petani lain sudah berkumpul untuk memprotes kebijakan yang dirasa merugikan masyarakat desa.
Said menjadi satu dari beberapa orang wakil para petani yang dipersilakan masuk ke ruang musyawarah. Dengan mata tajam menghujam lawan bicara. Dengan kata-kata menusuk para pejabat desa yang tengah ia hadapi. Said berbicara lantang, betapa mereka, para pemangku kebijakan, tidak memikirkan dampak kerusakan tanah yang ditimbulkan jika sawah-sawah itu harus ditanami tebu. Said tidak ingin dia dan para petani lain di desanya harus kehilangan kesempatan menanam padi yang jadi mata pencaharian sehari-hari.
Benar, jika musim kemarau tiba, sawah-sawah itu terkadang diselingi oleh tanaman palawija seperti kacang, tomat, timun, dan jenis-jenis palawija ringan lainnya. Tetapi pengolahannya tidak terlalu memberatkan ketika akan dikembalikan fungsinya untuk menanam padi. Sementara tebu, butuh pengeluaran ekstra jika kelak akan dibuat sawah lagi.
Tetapi perlawanan Said dan para petani itu harus berakhir antiklimaks. Dengan senyuman yang tak enak dipandang, dengan kata-kata penuh diplomasi basi, para pejabat desa sebagai corong pemerintah bilang bahwa kebijakan ini tidak bisa ditawar-tawar. Kalau menentang kebijakan ini, risikonya akan dianggap sebagai melawan pemerintah.
Pada masa itu, apa pun kehendak pemerintah memang tidak pernah bisa dilawan. Negosiasi boleh, tapi keputusan sudah ada dan berlaku pasti. Contoh lain adalah bagaimana pemerintah membentuk sebuah badan pengendalian cengkeh yang kenyataannya “sukses” menggerus kesejahteraan para petani cengkeh di daerah-daerah di Indonesia. Maka itu, bukan hal yang aneh jika perlawanan Said dan para petani yang menentang penanaman tebu tadi mengalami kebuntuan.
Posisi tawar Said semakin lemah karena, seperti pada umumnya sebuah “perjuangan”, selalu ada pihak-pihak yang bersikap lemah atau mendua. Begitu juga dengan kelompok petani yang rapat di pagi menjelang siang waktu itu. Sebagian petani justru bersikap “kooperatif” dengan berbagai alasan. Maka, ia keluar dari balai desa dengan wajah kecewa. Namun, ia pun dengan sikap ksatria harus membesarkan hati para petani yang masygul dengan keputusan rapat desa tersebut.
***
Said sejatinya bukan sebuah nama dengan cerita heroik superdahsyat yang menyelubungi hidupnya. Dia tidak lebih dari seorang lelaki desa pada umumnya. Lahir lebih dari satu dekade sebelum kemerdekaan negeri ini, Said hanya sempat tiga tahun mengenyam pendidikan di Sekolah Rakjat (SR).
Kalaupun ada yang sedikit beda, ia terlahir sebagai putra ketiga dari Haji Abdul Qodir, seorang lebe (penghulu) yang cukup disegani. Konon, kesaktian Haji Abdul Qodir mampu melumpuhkan bajingan paling sakti sekalipun. Di zaman penjajahan Belanda, dengan jubahnya, Haji Qodir mampu mengelabui tentara Kompeni yang seringkali mencari sosok-sosok berpengaruh di tiap daerah untuk dilumpuhkan ataupun diajak negosiasi.
Said pernah bercerita kalau dia sejatinya yang paling dianggap pas untuk mewarisi segala ilmu kesaktian berikut benda-benda pusaka milik Haji Qodir. Dengan hidup perih yang dijalani, Said sudah mengalami tempaan alam. Hidup sebagai gembala, membantu sang ayah bertani—ia sendiri merasa lebih pas disebut buruh tani. Karena kekurangan ekonomi, ia pun banyak menjalani “ritual” merih. Seperti hanya makan singkong dalam sebulan, hanya makan ketan, dan entah hanya makan apa lagi yang pernah dijalani.
Kondisi ini agak cukup aneh, mengingat seorang penghulu pada masa itu sebetulnya bisa saja memberikan fasilitas kepada anak-anaknya untuk hidup cukup layak. Ini terbukti dengan kakak pertamanya yang menjadi seorang pegawai pabrik gula. Untuk ukuran masa itu, seorang pegawai pabrik gula menduduki status sosial yang cukup bergengsi. Lihat pula adik bungsu Said yang bisa terus melanjutkan sekolahnya dari kota ke kota, hingga puncaknya berhasil menjadi seorang diplomat dan bekerja di kedutaan besar negara di luar negeri hingga dua periode.
Said tetap tinggal di desa. Merawat istri dan sepuluh anaknya hanya dengan menjadi buruh tani. Sebuah sensus ekonomi pada masa Orde Baru (sebelum tahun 1980-an) pernah menghitung, pendapatan perkapita keluarga Said hanya Rp 50 per hari. Ajaib! Tetapi dengan sikap prihatin dan keuletannya, ia bisa bertahan hidup dan membesarkan anak-anaknya hingga mengenyam pendidikan minimum SLTA sesuai cita-citanya.
Kasus tebu bukan satu-satunya perlawanan Said terhadap kesewenang-wenangan. Dalam beberapa kesempatan, ia juga pernah melakukan perlawanan terhadap konglomerat lokal yang dianggap merugikan para pedagang beras eceran. Said tidak pernah merasa takut untuk berkata “tidak” jika memang kenyataan yang dihadapi tidak bisa dikatakan “iya”. Tidak ada ilmu kesaktian yang diandalkan Said seperti sang ayah. Hanya sebuah keteguhan sikap, bahwa benar adalah benar, dan salah adalah salah. ***