Perlawanan Terakhir

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial Pascasarjana FKIP Unila

Dalam epos Mahabarata dituturkan:  saat berakhirnya Perang Baratayuda, yaitu gugurnya Patih Sengkuni dan Raja Hastinapura Raden Duryudana, pasukan Hastina hancur lebur.  Sementara itu di hutan Kurusetra, Raden Kartomarmo satu-satunya Kurawa yang masih hidup, sedang berjalan tak tentu arah. Akhirnya ia bertemu dengan Aswatama anak Resi Dorna.

Kartomarmo bercerita bahwa Kurawa sudah habis dan Hastinapura kalah. Sementara Aswatama bercerita bahwa setelah dia diusir dari Hastina karena marahnya almarhum Prabu Salya, dia bertapa di hutan Kuru Setra. Mereka berdua berjanji akan membalaskan kematian saudara mereka. Aswatama dendam kepada Drestajumna dan anak keturunan Pancala, sementara Kartomarmo dendam kepada Banowati yang dianggapnya membocorkan rahasia kematian para pembesar Hastinapura kepada Arjuna selingkuhannya.

Mereka berhasil menyusup ke keraton Hastina, Aswatama membunuh Drestajumna, Setyaki, Srikandi dan Larasati, serta para putra Pancala. Ketika dia akan membunuh Parikesit, bayi kecil itu menjejakan kakinya ke panah pasopati yang ada di kakinya. Pasopati melesat menusuk mata Aswatama. Dan gegerlah Kerajaan Hastina yang terlelap. Sementara Kartomarmo masuk ke kaputren dan melemparkan senjatanya ke perut Banowati. Banowati tewas seketika. Sebelum tewas, dari lukanya Banowati keluarlah seorang bayi hasil hubungan gelapnya dengan Arjuna bernama Lesmanawati.

Dari epos itu ada esensi cerita yang dapat kita tangkap: apa pun akhir dari perseteruan, akan meninggalkan sisa sisa persoalan. Terkadang persoalan itu lebih pelik dan lebih rumit untuk mencapai penyelesaian. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor. Namun paling tidak ada beberapa faktor besar yang dapat dihimpun untuk dianalisis, walaupun baik penghimpunannya maupun penganalisisannya tidak tepat benar karena perbedaan sudut pandang dan esensi persoalan. Meminjam istilah Filsafat Ilmu sudut pandang objek material dengan objek forma sering tidak sesuai.

Faktor pertama adalah merasa diri benar. Padahal benar atau salah itu ada pada wilayah ilmu pengetahuan, karena ada parameter yang dijadikan ukuran. Sementara kebenaran filsafat mengenal lebih jauh dari itu, yaitu hakikat dari kebenaran itu. Ada benar yang memang benar-benar, benar, dan diyakini kebenarannya. Ada benar- benar tidak benar, sehingga kebenaran ketidakbenarannya mutlak dan ketidakbenarannya diakui.

Ternyata kalau berdiri pada kedua kutup itu tidak ada keraguan atasnya, karena memang berada pada ujung garis lurus yang sama, pada posisi yang berbeda. Namun akhir akhir ini menurut ilmuwan muda belia bernama Rendi Eka Andriyanto (2022) mengatakan;,justru ada gejala orang lebih percaya dan senang kepada kebenaran yang dibenar-benarkan ketimbang kebenaran hakiki.

Faktor kedua, memposisikan diri selalu ikut benar. Kelakuan model ini sama dengan Aswatama pada cerita di atas. Orang Palembang menyebutnya “melok bener bae”. Beberapa waktu lalu ada pada posisi salah, dalam sekejap sudah pindah kwadran pada posisi “benar” dalam tanda kutip. Mereka yang model serupa ini memiliki sejuta alasan untuk pembenaran akan perpindahan dirinya, sekalipun orang mengetahui ketidakbenarannya.

Perlawanan terakhir yang paling akhir adalah digunakannya narasi-narasi langit; seperti “bukan miliknya”, “belum garis tangan”, “hukum karma” dan masih banyak lagi diksi yang dapat digunakan guna pembenaran dari langkahnya. Hal ini sah sah saja. Namun ada yang perlu diingat bahwa saat seorang tenggelam  atau hanyat  akan meraih apa saja untuk menyelamatkan diri. Oleh karena tidak mau menanggung sendirian beban dari suatu persoalan yang pernah “membuat nikmat” bersama, maka begitu terdesak karena ada tekanan yang luar biasa, sikap yang diambil menunjuk siapa saja yang diingat untuk ikut bertanggungjawab bersama akan hasil perbuatan bersama. Inilah bentuk adagium Jawa tiji-tibeh atau mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh. Arti bebasnya: kalau mati satu ya harus mati semua, kalau senang satu ya harus senang semua.

Tidak salah jika ada durjana yang tertangkap aparat, di dalam penjara akan bernyanyi “di sini senang di sana senang, di sini susah di sana juga harus susah”. Tinggal siapa yang akan ditunjuk “menemani”, harus siap saja membawa tikar, sarung, dan bantal. Kata Simbah dulu:  “ngunduh wohing pakarti” atau  memanen apa yang kita tanam.

Selamat ngopi pagi!