Persamaan Tersamar

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu Ilmu Sosial pada Pascasarjana FKIP Unila

Salah satu topik yang dibahas dalam ilmu Aljabar yaitu tentang persamaan tersamar. Permasamaan tersamar adalah permasalahan yang terdapat persamaan yang belum memiliki bentuk umum. PPeran si penyelesai atau pencari solusi adalah mengubah permasalahan yang ada ke dalam bentuk umum terlebih dahulu.

Pada satu blog Mathematika and Science yang membahas persamaan tersamar mengajukan langkah dalam penyelesaian persamaan tersamar bisa diuraikan sebagai berikut: Pertama harus ada sebuah permasalahan yang akan diselesaikan. Dalam hal ini tentu harus benar paham permasalahan tentang apa yang hendak di selesaikan. Jika telah mengetahui tema apa yang akan diselesaikan, maka langkah berikutnya membentuk persamaan Aljabar baik yang sudah berbentuk umum atau belum. Biasanya pada tahap ini permasalahan akan diterjemahkan dalam simbol simbol aljabar yang lebih sederhana. Ketika membentuk persamaan disarankan untuk mengunakan alfabet a,b,c,d sebagai simbol dari bilangan konstan atau tetap dan w,x,y,z yang digunakan sebagai bilangan tersamarnya. Dalam proses pengerjaan nantinya maka akan digunakan simbol simbol aljabar tersebut.

Jika telah ditemukan bentuk persamaan dan diterjemahkan dalam simbol Aljabar, lalu dilanjutkan dengan proses pengerjaan dalam rangka menyelesaikan permasalahan tersebut. Beberapa contoh permasalahan dalam persamaan tersamar ini seperti dikutip dari sumber yang sama sebagai berikut:

Contoh Soal dan Pembahasan Persamaan Tersamar

Sebuah segi empat ABCD memiliki sudut A dan sudut C siku-siku. Jika panjang AB=a dan BC=b, sementara itu a>b sedangkan luasnya p. Tentukan panjang ke sisi AD dan jelaskan hasil yang telah diperoleh. Penyelesaian dari Permasalahan tersebut akan diuraikan. Pertama bentuklah permasalahan dalam bentuk aljabar AB=a dan BC=b, sudut A= 90, sudut C= 90. Selanjutnya perhatikan segitiga BCD. Tadi diketahui sudut C dan sudut A siku siku. Jika kita membagi sudut C tersebut. menjadi 2 bagian sama besar tan 1/2 C = tan 45= 1= b/c. Jika diselesaian b/c=1 diperoleh b=c.

Untuk keberlanjutan pembahasan ini kita serahkan pada matematikawan Warsono. P.hD, dan kawan-kawan  yang memang ahli mengutakatik angka abstrak.

Kita turun ke dunia nyata yaitu pada masyarakat manusia. Keberlakuan persamaan tersamar seperti ini ternyata banyak; dan berlangsung hampir setiap saat. Namun kebersamarannya perilaku, ternyata sangat sulit untuk diditeksi, sekalipun dengan alat teknologi canggih masa kini. Oleh sebab itu, kondisi ini membuat orang bahasa mengajukan konsep dengan membuat persamaan “air beriak tanda tak dalam, air bergoncang tada tak penuh, air tenang menghanyutkan, telunjuk lurus kelingking berkait”; masih banyak lagi jika kita perpanjang.

Namun, tidak semua kita memahami bagaimana “sasmita” (bhs Jawa = tanda). Oleh karena itu,  tidak jarang kita salah menangkap esensi suatu makna disampaikan dengan hanya memperhatikan perilaku yang tampil. Padahal, itu semua adalah perilaku tersamar dari sesuatu yang ada. Kalau menggunakan bahasa Plato: “Semua itu adalah bayang-bayang dari sesuatu”.

Akibat itu semua, kita sering terjebak pada “menanggapi tanggapan yang berbeda”. Akhirnya orang yang berbeda cara pandang, itu dianggap musuh dan harus disingkirkan. Ucapan ancaman sering dijadikan slogan, sehingga tercipta situasi ketidaknyamanan untuk mereka yang berbeda.

Tidak salah jika seorang presenter terkenal di negeri ini mengatakan bahwa sangat membahayakan jika kekritisan dianggap itu bukti tidak cinta negeri, dan berbahaya lagi jika ada sekelompok orang yang beranggapan jika kita bersuara keras berarti tidak cinta kebaikan. Kebaikan seolah monopoli kelompok tertentu, jika kita tidak sama dengan kelompok itu, berarti kita tidak baik. Model perilaku sosial dengan logika seperti ini sangat membahayakan keberlangsungan bernegara, karena membunuh keberagaman, sementara keberagaman adalah sunatullah.

Kebaikan seolah monopoli mereka yang sedang berkuasa. Yang tidak sama dengan yang berkuasa,  dianggap tidak baik. Keadaan seperti ini tidak hanya negara dalam pengertian makro. Bahkan lembaga perguruan tinggi yang dianggap gudang orang pandai, tempat orang cerdik pandai bermukim, kesucian dijunjung tinggi, moral dikedepankan; ternyata tidak terhindar dari keadaan seperti ini.

Untuk pembenaran “kebaikan” pun tidak jarang dilakukan dengan cara tidak baik. Bisa dibayangkan jika seorang pejabat negeri mengatakan memiliki big data ada sekian ratus ribu suara mendukung suatu kepemimpinan atau rezim, setelah diminta pembuktian, yang bersangkutan justru menyalahkan orang yang minta bukti.

Sama halnya seseorang yang memiliki rangkap jabatan lebih dari satu, kemudian masih ingin meraih jabatan lain. saat ditanya bagaimana kerjanya, apalagi jika terjadi konflik kepentingan atau peran. Justru yang bertanya mendapat jawaban bahwa pertanyaannya itu salah dan tidak baik. Berarti yang benar dan baik itu tidak bertanya, atau tidak harus dipertanyakan.

Untuk memuluskan suatu “hasrat berkuasa” dari suatu rezim, dilakukan dengan cara “mengadali” semua aturan, dan dicitrakan itu adalah kehendak orang banyak, kehendak konstitusi, dan entah apalagi. Sehingga, keterpilihan atau keterwakilan  seolah-olah sudah benar adanya, tidak ada cacat sedikitpun. Walau semua orang tau bahwa itu adalah hasil konspirasi segelintir orang untuk dapat melanggengkan atau memuluskan kehendak atau libido berkuasanya.

Sesuai hakekat “Persamaan Tersamar” semua awalnya dibuat samar, tidak jelas bak Tombak bermata dua. Jika keadaan menguntungkan saat “test ombak” ; maka tombak diteruskan untuk mencapai sasaran. Akan tetapi jika mendapat penolakkan, maka mata tombak yang ke dua diturunkan, seolah olah peristiwa itu tidak dalam “restu” atau sepengetahuan pimpinan; kemudian ini dideklarasikan supaya focus pada pekerjaan awal. Maka sempurnalah bahwa “baik” itu hanya milik penguasa, apapun scope-nya, apapun tingkatannya. Semua yang menentang diposisikan tidak baik dan harus disingkirkan.

Persoalannya adalah jika hal terjadi secara terusmenerus dan berkelanjutan, maka tidak menutup kemungkinan sesuai hukum sosial; akan terjadi penolakan, bahkan terakumulasi menjadi perlawanan. Bentuk perlawanan ini bisa diam membiarkan agar terjadi pembusukkan, protes secara oral atau tertulis, atau revolusi sosial. Jika pilihan jatuh pada yang terakhir; maka rakyat kecillah yang akan menjadi korban dari keserakahan semua kita.

Ekonomi mikro akan terganggu, mereka akan menjadi frustrasi masal; akibat yang tidak bisa dielakkan adalah terjadi penjarahan hanya karena memenuhi tuntutan perut. Sementara para Gajah yang menjadi donator atau dalang, bahkan pemrakarsa kerusuhan akan menikmati keberhasilan dengan tertawa lebar; karena telah berhasil mengobok obok negeri ini, sesuai kehendaknya.

Gajah-gajah ini menjadi liar karena habitatnya merasa terganggu; selama ini merek me nikmati oligopoly, monopoli dan bentuk bentuk lainnya terasa aman; karena terusik maka Gajah akan mengeluarkan gadingnya untuk menunjukkan kemarahan. Akhirnya bak pepatah: Gajah bertarung dengan gajah, pelanduk mati di tengah-tengah.

Oleh karena itu, sebaiknya semua kita dapat berpikir jernih, jangan bebani lagi rakyat dengan kesulitan berjilid-jilid. Sudah langka minyak goreng, naiknya harga BBM, kenaikan bahan pokok karena Lebaran, sebentar lagi harus memikirkan sekolah anak dan masih banyak lagi efek domino yang mereka terima.

Jika negeri ini tidak aman, pemimpin tidak amanah, fitnah disebar hasut ditanam; apakah kita semua akan siap menuai murka Tuhan ? di mana letak puasa yang kita semua jalankan? Ingat semua yang kita kerjakan di dunia ini, siapa pun kita, apa pun status kita, manakala tiba masanya maka semua akan dimintai pertanggungjawaban.

Selamat ngopi menjelang imsyak…