Opini  

Pertumbuhan Ekonomi Sebagai Jembatan Lampung Emas 2045

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh Ridwan Saifuddin

Badan Pusat Statistik (BPS) setiap kuartal merilis angka pertumbuhan ekonomi. Indikator yang dirujuk sebagai ukuran kinerja ekonomi nasional, regional, dan daerah dari waktu ke waktu. Provinsi Lampung, optimistis dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi nasional pada triwulan II-2022 (9,12%), dan tertinggi di Sumatera pada triwulan II-2023 (8,15℅) antar-kuartal.

Pertanyaan mendasar kemudian: pertumbuhan ekonomi tersebut akan membawa kita ke mana? Jangan sampai, seperti yang ditulis Michael Pettis—pakar ekonomi Tiongkok–saat membahas Produk Domestik Bruto (PDB) Negeri Tirai Bambu tersebut sebagai: “PDB Jembatan yang Tidak Ada Tujuan” (2018).

Profesor keuangan dari Universitas Peking itu punya argumen mengapa PDB Tiongkok disebutnya seperti “jembatan yang tidak ada tujuan.” Berangkat dari pemaknaan PDB sebagai ukuran dari total nilai barang dan jasa yang diproduksi di suatu perekonomian. Idealnya, untuk dapat dibandingkan antar-negara.
PDB hanyalah proksi dari nilai total produksi barang dan jasa, yang mencoba mengukur sejauh mana perekonomian riil (barang dan jasa yang diproduksi) telah tumbuh atau berkontraksi. Faktanya, PDB berguna hanya dalam kondisi tertentu.

Dalam kasus Tiongkok, misalnya, ukuran PDB mengasumsikan semua aktivitas ekonomi terjadi di bawah kendali penuh dan backup fiskal yang kuat dari pemerintah setempat. Tiongkok juga mengubah pertumbuhan PDB dari output ekonomi menjadi input. “Sulit membedakan antara penciptaan nilai (value creation) atau penghancuran nilai (value destruction) yang sesungguhnya terjadi dalam ekonomi,” tulis Pettis. Karena itu, menjadi tidak relevan membandingkan PDB Tiongkok dan negara lain.

Menurut Pettis, satu-satunya cara untuk menjadikan pertumbuhan PDB sebagai masukan penting adalah dengan memastikan bahwa semua investasi di dalam ekonomi bersifat produktif. Manfaat dan biaya setiap investasi harus diperhitungkan.  Demikian juga membandingkan pertumbuhan ekonomi satu daerah dengan daerah lain, harus dengan analisa yang lengkap tekait kondisi dan struktur ekonomi masing-masing daerah. Tidak cukup menyandingkan angka pertumbuhan semata.

Transformasi Ekonomi

Setiap kuartal BPS merilis “gejala” ekonomi daerah, dalam sejumlah indikator makro pembangunan. Kita cukup sensitif dengan “gejala” tersebut. Namun, kita perlu lebih reflektif terhadap aspek fundamental kebijakan perekonomian daerah, sehingga diharapkan akan membawa dampak signifikan dan berkelanjutan bagi daerah secara lebih luas.

Sekarang momentumnya. Pemerintah tengah merancang skenario masa depan nasional dan daerah 20 tahunan (2025-2045), yang akan dituangkan menjadi dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional/Daerah (RPJPN/RPJPD). Momentum krusial ini harus dimanfaatkan seoptimal mungkin, untuk mendeteksi secara mendasar penyebab dan permasalahan pembangunan di daerah, kemudian merumuskan strategi kebijakan yang jelas bagi masa depan.

Kinerja ekonomi Provinsi Lampung saat ini masih didominasi sektor pertanian dalam arti luas: tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan. Sektor ini menjadi kontributor terbesar pertumbuhan ekonomi daerah. Pada masa krisis, sektor pertanian ini menjadi penyangga ekonomi masyarakat yang teruji cukup kuat. Meski, daya ungkit sebagai mesin pendorong pertumbuhan ekonomi daerah cenderung melemah.

Dalam jangka 20 tahun mendatang, sektor pertanian ini masih menjadi tulang punggung ekonomi Provinsi Lampung. Namun, tantangan kita adalah bagaimana mendorong pertumbuhan ekonomi daerah bisa lebih persisten dan struktural, di tengah kecenderungan sektor pertanian yang masih ekstraktif, kelembagaan petani yang perlu diperkuat, dan akses/adopsi teknologi yang juga masih sangat terbatas.

Transformasi ekonomi perlu diterjemahkan secara tepat sebagai kerangka pembangunan sektor pertanian ini. Sebab, pembangunan sektor pertanian tentu membutuhkan prasyarat berupa daya saing infrastruktur (fisik-nonfisik), kompetensi SDM, serta strategi kebijakan yang efektif. Karena itu, transformasi sektor pertanian juga harus mendapatkan dukungan penguatan pada sektor-sektor yang lainnya.

Dua isu strategis dalam upaya tersebut adalah penguatan agro-manufaktur dan agro-industri di Provinsi Lampung. Kecenderungan mengedepankan usaha-usaha ekstraktif sektor pertanian tentu tidak menguntungkan dalam jangka panjang, baik secara ekonomi maupun lingkungan. Pemanufakturan ini harus menjadi prioritas, untuk dapat meningkatkan nilai tambah produk pertanian dan membantu petani mendapatkan penghasilan lebih tinggi.

Secara bertahap perlu diarahkan untuk mengurangi ketergantungan pada pertanian ekstraktif tersebut, melalui diversifikasi usaha sektor pertanian, yang dengannya tentu akan berdampak menciptakan lapangan kerja baru.

Strategi pembangunan agro-manufaktur dan agro-industri ini tentu juga harus dibarengi penyediaan infrastruktur pendukungnya, baik untuk kepentingan mobilitas-distribusi, maupun pengembangan produk melalui riset dan inovasi. Multi-aksi dalam mendukung kebijakan ini secara efektif akan mentransformasi sektor pertanian sebagai mesin pendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat dan berkelanjutan di Provinsi Lampung.

Transformasi ekonomi secara luas, khusus sektor pertanian, tidak akan terjadi dengan “business as usual.” Harapan untuk keluar dari jebakan pendapatan menengah (middle income trap) harus diimbangi dengan mempercepat transisi ke sektor-sektor pertumbuhan baru. Model pertumbuhan baru ini yang penting dirumuskan saat ini: untuk 20 tahun mendatang. Apalagi yang bisa mengantarkan Lampung Emas 2045, kecuali transformasi ekonomi?

Mempertahankan model pertanian tradisional akan membawa perekonomian daerah sulit untuk maju. Sektor pertanian harus didorong produktivitasnya melalui pemajuan peran Iptek dan inovasi di dalamnya. Sektor ekstraktif harus digeser menjadi bernilai tambah lebih tinggi, tentu dengan didukung infrastruktur yang laik, termasuk ekosistem pertanian yang kompeten. Sudah saatnya kita viralkan soal kompetensi ini, jangan melulu bicara potensi yang hanya bikin lupa diri; kutukan sumber daya alam!