Oleh Syarief Makhya
Akademisi dan Aktivis Muhammadiyah Lampung
Sedikitnya ada tiga pengalaman saya berdialog langsung dengan Buya Syafii Marif. Pertama, saat saya menjadi mahasiswa Unpad semester lima tahun 1982, saya mengikuti diskusi panel tentang Islam dan Budaya di Universitas Islam Bandung (Unisba) nara sumbernya Syafii Maarif, almarhum saat itu masih bergelar Master of Art (MA) dan nara sumber yang lain yaitu K.H. Endang Saifuddin Anshari,M.A.
Dalam diskusi itu garis pemikiran Buya sampai beliau meninggal tidak berubah, pandangan ke Islaman beliau tidak tekstual normatif, tetapi aspek budaya menjadi bagian pemahaman yang kontekstual yang tidak bertentangan dengan Islam. Dicontohkan, batu nisan dalam kuburan adalah bagian dari aspek budaya dan dalam pandangan Buya boleh-boleh saja, kendati dalam perspektif pemahaman Islam yang lain sedikit berbeda.
Kedua, saat sidang Tanwir Muhammadiyah di Makasar tahun 2002, saya sempat ngobrol dengan Buya seputar Muhammadiyah dan Politik, waktu itu PAN yang dipimpin Amien Rais berupaya agar Muhammadiyah menjadi pendukung utama salah satu partai di Indonesia, tetapi sikap Buya saat itu konsistem bahwa Muhammadiyah harus melepaskan dari ikatan partai politik manapun.
Ketiga, waktu Buya berkunjung ke Universitas Muhammadiyah Lampung (UML) untuk bedah buku beliau yang berjudul Memoar Seorang Anak Kampung, saat itu saya menjadi salah satu pembahasnya. Dari diskusi buku beliau, terlihat pandangan-pandangan Buya seputar masalah hubungan Islam dan Negara.
Dalam pandangan Buya, sebutan negara Islam tidak relevan dan tidak diperlukan lagi, bagi Buya lebih penting subtansi yang bisa memberi solusi terhadap masalah kemasyarakatan dan kemanusian. Sikap toleransi terhadap pemeluk dan keyakinan agama lain hal yang mendasar. Prinsipnya “bersaudara dalam perbedaan dan berbeda dalam persaudaraan, adalah formula untuk membangun hubungan persaudaraan dengan siapapun dapat terjalin secara bebas dan bermartabat. Surat Al Baqoroh 256 dan Surat Yunus 99 adalah sebahagian rujukan Buya sebagai dasar konsistensi Buya dalam mengembangkan budaya toleransi.
Pesan Buya Syafii
Buya Syafii adalah sosok yang konsisten dalam melihat realitas kehidupan sosial, budaya dan politik di Indonesia bahwa persoalan keberagamaan di Indonesia jika tidak dikelola dengan dasar toleransi, persaudaraan, dan keadilan maka sangat terbuka terjadinya konflik sosial yang berkepanjangan.
Buya Syafii juga seorang tokoh yang memperjuangkan antikorupsi di Indonesia. Korupsi dalam pandangan Buya sudah hilangnya rasa kesadaran penderitaan rakyat oleh pejabat negara yang yang merusak negri ini. Buya Syafii, meninggalkan begitu banyak warisan etik dalam perjuangan melawan korupsi serta ketidakadilan di masyarakat.
Harapan dan cita-cita Buya dalam mewujudkan toleransi, keadilan dan bebas dari korupsi masih jauh dari kenyataan. Realitasnya kita masih dihadapkan pada masalah tersebut. Indonesia masih butuh tokoh ulama dan cendikiawan sekaliber Buya Syafii atau Gus Dur, yang berani tampil beda, bersahaja, kritis dan peduli terhadap persoalan bangsa ini.
Apa yang diperjuangkan oleh Buya, Gus Dur, dan tokoh-tokoh kritis lain memang tidak mudah untuk dilanjutkan karena godaan pragmatisme politik, uang, jabatan, hedonisme dan, persaingan politik yang tidak sehat sangat kuat dan memporakporakdakan sikap dan nilai-nilai idealisme elit politik saat ini.
Solusi untuk mengatasi korupsi masih belum efektif, dari tahun ke tahun pelaku korupsi terutama di lingkaran elit kekuasaan masih terus berjalan, kesenjangan ekonomi masih melebar, potensi konflik sosial masih terbuka, proses persaingan politik masih diwarnai permainan politik uang, sikap ekskusifisme beragama masih muncul, Negara masih kalah dari pengaruh mekanisme pasar, sehingga pasal 33 UUD 1945 sulit diwujudkan dan dewasa ini pengaruh media sosial dan kebebasan semakin tidak terkontrol.
Beberapa persoalan bangsa seperti di sebutkan tersebut inilah yang diperjuangkan Buya Syafii, Gus Dur dll. Akan kah masih ada sepeninggalnya Buya Syafii yang akan terus memperjuangkan keserakahan manusia, pluralism, kemanusian dan keadilan ?
Jawabannya pasti ada. Saat ini ada beberapa tokoh kiritis dari kalangan agamawan, pegiat LSM, aktivis kampus, pers dan komunitas-komunitas kritis yang getol melayangkan kritik, saran dan pendapatnya melalui twitter, WA, Youtube dan media sosial lainnya terhadap kebijakan pemerintah yang tidak sejalan dengan kepentingan masyarakat luas. Namun, terkadang gerakan para aktivis ini tidak berhasil atau gagal dalam merubah subtansi kebijakan, bisa jadi ini yang belakangan disebut sebagai semakin menguatnya fenomena rezim sekarang ini, yaitu rezim oligarki.
Dalam pandangan Buya Syafii tidak ada sistem politik yang sempurna, bahkan dalam sistem demokrasi bisa menciptakan sosok pemimpin yang diktator atau otoritarian, semisal Donald Trump, yang penting ada keberanian dan tidak boleh diam dalam melawan kezholiman penguasa.
Semoga almarhum Buya Syafii diberikan tempat terbaik di sisi Allah SWT dan pesan Buya sebagai tokoh anti korupsi, pluralisme, dan kemanusian menginspirasi bangsa ini.