Peta Kampung Margondil yang Penuh Ludah

Bagikan/Suka/Tweet:

KALAU kamu datang ke Kampung Margondil di Kecamatan Lemah Rengkah, di pojok negara Parang Wesi pada tahun 2999 (disingkat 999 atau 299), jangan lupa mampirlah di kantor kelurahan. Tanyalah kepada Pak Lurah di mana peta Kampung Margondil yang bersejarah itu disimpan. Niscaya Pak Lurah akan dengan ringan tangan dan riang hati menunjukkan sebuat peta kusam, warna kekuningan, berbercak darah,dan penuh ludah. Ludah itu mengering. Tapi percayalah, itu adalah ludah bersejarah yang diterakan oleh hampir sebagian besar penduduk kampung yang marah.

Peta lusuh itu disimpan di sebuah kotak kaca, dalam sebuah lemari yang selalu terkunci. Peta hanya akan dibuka pada saat-saat tertentu saja. Misalnya saat warga desa merayakan upacara bersih desa atau upacara pengibaran bendera memperingati hari kemerdekaan.

Peta itu sebenarnya menjijikkan. Tapi, konon, peta itu akan kembali ke sarangnya (maksudnya ke dalam kotak kaca) meskipun coba beberapa kali dibuang.

“Ini peta sakti. Peta pengingat hari-hari berdarah leluhur kami,” kata Pak Lurah Gendon, ketika saya sambangi pada pekan pertama bulan Maret tahun 2089.

“Sakti bagaimana, Pak?” tanya saya.

“Sakti, artinya peta busuk inilah yang jadi pemandu kami, agar kami warga desa yang lugu-lugu ini tidak terus-terusan dikadali orang-orang pintar dari kota yang jualan isu demi aneka kepentingan…” kata Lurah Gendon.

“Saya makin nggak ngerti Pak…”

“Suatu saat Anda pasti mengerti. Silakan berselancar di samudra mbah Google, lalu cari kata kunci ‘tragedi kampung margondil’. Nanti kamu akan tahu bahwa pada masa lalu hampir seluruh warga kampung kami ini pernah berseteru bertahun-tahun hanya karena pemilihan kepala kampung….”

“Cuma karena pemilihan kampung? Aneh itu Pak…”

“Ya aneh nggak anehlah. Pemilihan kepala kampung yang awalnya pakai dua tanda gambar, yaitu gambar ketela dan gambar kelapa, lama-lama berubah menjadi aneka gambar. Antara lain gambar ketela, mangga, pisang, jambu bol, kelapa, padi, kendi, hayung, bahkan gambar kemaluan laki-laki…”

“Pak Lurah jorok!” saya memekik.

“Ini sungguhan. Itu terjadi ketika pendukung calon kepala kampung yang kalah, lalu berupaya agar kepala kampung yang baru dilantik segera lengser. Ketika kepala kampung lengser dan diadakan pemilihan, makin banyak calon yang maju. Begitu seterusnya sampai jumlah calon kepala kampung menjadi banyak….”

“Terus apa hubungannya dengan peta yang ada bercak darahnya dan ludah yang mengering itu?”

“Itu terjadi pada sepenggal tahun , ketika terjadi perseteruan panjang dan saling bunuh di antara warga kampung. Selain soal pemilihan kepala kampung, mereka berseteru karena irama gendang yang ditabuh oleh para makelar dengan memanfaatkan ’10 Ayat Jati Diri Kampung Margondil’. Orang yang dituduh menginjak kitab itu tiba-tiba nyalon lurah dan menang. Lalu orang-orang kampung yang jagonya kalah merangsek balai desa. Mereka mengamuk dan meludahi peta kampung. Terjadi pertumpahan darah di balai desa ini,” kata Lurah Gendon.

“Sampai segitunya? Mengerikan….”

“Begitulah jika kebencian sudah merasuki manusia. Apa pun yang dilakukan orang yang dibenci, pasti akan dikatakan salah,” kata Lurah Gendon.

***

Kalau kamu datang ke Kampung Margondil, jangan lupa mampir ke sebuah kafe di pojok kampung. Itu adalah kafe yang dulunya warung kopi tempat para politikus kelas kampung, pebisnis kelas kampung, dan kaum terpelajar kelas kampung ngerumpi tentang masa depan kampung sembari terkekeh-kekeh sehabis merampas kekayaaan kampung mereka sendiri.

Oyos Saroso HN