Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
Pada saat saya diundang oleh seorang dosen calon guru besar untuk ikut bergabung menyuarakan “petisi nurani” di selasar fakultas bergengsi di universitas negeri ternama di daerah ini, ada rasa kebahagiaan tersendiri, karena masih diberi waktu oleh Tuhan untuk terlibat even-even penting di negeri ini. Bermula dari 1976/1977, terus 1998 dan hari ini di tahun 2024 — saya masih diberi kesempatan untuk andil walau hanya sebesar debu buat berbakti pada negeri. Yang membedakan, dahulu masih menggelora dengan pekik perjuangan semangat muda. Hari ini dengan mata pena dan mata hati untuk mengajukan petisi.
Sejumlah guru besar dan akademisi walau berbeda mazab dan bidang ilmu, disatukan oleh rasa keprihatinan yang sama akan negeri ini: menyatu dalam alam idea dan menyuarakan isi hati yang mulai resah, gelisah, dan khawatir akan nasib negeri. Tidak ada koordinator, tidak ada panitia, tidak ada pendukung dana. Semua mengalir begitu saja bagi mereka yang peduli. Sementara ada yang menonton dari jauh, atau dari balik kelambu gelarnya, semua tidak ada yang menghiraukan, sesuai azaz keilmiahan ilmuwan yang menjunjung tinggi kebebasan akademik, kebebasan berpikir, kebebasan bersikap, kebebasan memutuskan; dipersilahkan untuk ambil posisi dalam bingkai moral dan etika. Bergabung silahkan, tidak juga tidak apa-apa. Hanya yang menjadi aneh adalah reaksi yang reaktif dari pihak yang seharusnya tidak perlu bereaksi.
Menyikapi hal ini, saya jadi ingat cerita almarhum orang tua dulu yang pernah ikut jadi gerilyawan di masa Agresi Belanda I dan Agresi Belanda II. Beliau meninggalkan pesan bahwa setiap perjuangan untuk menyuarakan kebenaran, sudah pasti ada tantangan. Salah satu tantangannya adalah ketidaksukaan. Bisa dibayangkan, banyak orang mencibir para pejuang dengan kalimat “kurang kerjaan”. Namun begitu negeri ini sejahtera, justru mereka yang berteriak paling lantang menyatakan diri sebagai pejuang.
Demikian juga saat penyampaian petisi nurani, hukum sosial berlaku di sana. Salah satu diantaranya tidak semua orang mau menerima, tidak semua orang paham, tidak semua orang mau mengerti. Akibatnya komentar aneh-aneh pun muncul, dari yang paling halus sampai yang paling kasar. Bahkan, sekelas guru besar-pun masih mereka “bantai” dengan kalimat-kalimat yang dinarasikan sebagai ketidakberterimaan.
Padahal, jika direnungkan dengan akal sehat, pikiran jernih bahwa penyampaian tuntutan yang paling santun adalah “tuntutan hatinurani”. Karena peserta dari kegiatan ini adalah mereka yang tidak memihak kepada siapapun, justru mengingatkan siapapun. Pendekatan moral etik serupa ini hanya bisa dilakukan dan diterima oleh mereka yang hati dan pikirannya jernih.
Menjadi persoalan adalah kebutaan hati nurani memang bisa menutupi pancaindra apa saja yang dimiliki manusia. Sebagai contoh orang yang dari awal sudah tidak suka, maka sebaik apapun dari yang tidak disukai tadi berbuat, labelnya tetap tidak bisa dihilangkan dari mata hatinya yaitu tidak suka. Sebaliknya jika dari awal memang sudah suka, maka sekalipun yang disukai tadi berbuat kesalahan, maka label suka yang melekat pada hatinya tetap saja ditempatnya dan menutupi semua itu.
Posisi guru besar yang ilmuwan harus melepaskan lekatan hati suka dan tidak suka. Yang ada benar dan salah. Jika tidak sesuai kaidah yang disepakati sebagai parameter, ya salah. Jika sesuai yang disepakati ya benar. Bagaimana kaidah itu disepakati sebagai parameter, itu yang harus berdasarkan pada pemikiran ilmiah, langkah-langkah ilmiah, dan studi ilmiah. Jadi sangat salah jika label diberikan kepada guru besar dan ilmuwan sebagai orang bayaran, apalagi yang bicara itu sekelas bintang dipundak, lencana di dada.
Mengingatkan akan pelanggaran terhadap kaidah menggunakan berbagai cara, guru besar dan ilmuwan saat ini mengambil cara atau metode petisi nurani. Sedangkan cara penyampaian petisi itu tergantung pada situasional tempat para guru besar dan ilmuwan itu berada. Dan, tidak salah jika setelah menyampaikan petisi, banyak guru besar bubar jalan untuk kembali bertugas kesehariannya menularkan ilmu pada mahasiswanya. Selanjutnya diskusi dilanjutkan pembahasannya melalui mimbar akademiknya.
Hanya perlu diwaspadai adalah ada pihak-pihak tertentu yang memancing diair keru. Ini sering terjadi pada peristiwa apa pun di dunia ini. Kelompok pengambil manfaat inilah yang seharusnya diwaspadai oleh negara melalui instrumennya. Bukan menciduk, memaksa, menelikung guru besar dan ilmuwan yang telah menyampaikan petisinya.
Salam waras!