Oleh: Maknyun Subuki
Secara umum, pidato Presiden dalam menyambut 17 Agustus 2021 ini terlalu positif. Baru mulai, Presiden mengibaratkan pandemi seperti api (kabakaran). Akan tetapi, dalam membicarakan kebakaran itu, yang ditekankan adalah pelajaran yang bisa diambil, mulai dari “menerangi untuk mawas diri” hingga menyonsong “tantangan masa depan”. Berikutnya Presiden bicara soal ujian yang “mengajarkan dan mengasah”. Ringkasnya, dalam pidato Presiden kita ini, pandemi itu positif.
Bukti lain dari pandemi itu positif, menurut pidato itu, adalah “penguatan infrastruktur kesehatan … yang mampu menghadapi ketidakpastian yang tinggi dalam pandemi”. Lainnya, menurut pidato itu, pandemi telah menguatkan “partisipasi, solidaritas, dan kegotongroyongan” masyarakat secara luar biasa.
Setelah menyebutkan dimensi positif dari pandemi, pidato ini dilanjutkan dengan deretan pujian bagi lembaga-lembaga negara, mulai dari legislatif hingga forkopimda, dalam kesungguhan dan keberhasilan kerja sama mereka mengatasi pandemi. Ini melengkapi uraian tentang pandemi yang sungguh positif.
Dalam pidato itu, jumlah orang yang terinfeksi dan orang yang meninggal tidak dibicarakan. Seolah-olah, itu semua tidak pernah ada. Barangkali, kalau ada seseorang yang telah tertidur selama dua tahun, dan baru bangun ketika dia mendengar pidato ini, sepertinya dia tidak mempercayai jumlah kematian yang diumumkan Kemenkes.
Selanjutnya, pidato disambung dengan pencapaian dan proyeksi ekonomi di tengah pandemi. Suatu berita positif lainnya yang mengabarkan kepada seluruh rakyat bahwa pandemi ini sesungguhnya positif. Apalagi banyak bansos yang disalurkan pemerintah, mulai dari PKH, Kartu Sembako, hingga Kartu Prakerja.
Kalau kita menggunakan pidato ini sebagai satu-satunya rujukan memahami pandemi, akan kita dapati bahwa rakyat Indonesia sungguhlah beruntung. Mereka mengalami pandemi ini secara positif, karena pemerintah sukses mengelolanya dan bermurah hati terhadap rakyatnya Padahal, ratusan ribu kematian resmi (belum yang tidak tercatat) itu tidaklah tergantikan dengan kemewahan pidato itu. Begitu pula hilangnya sumber penghidupan, baik yang hilang karena pembatasan sosial maupun yang hilang bersama kematian tulang punggung keluarga. Sisi negatif pandemi nyaris tidak berbunyi dalam pidato tersebut, dan itu dampak langsung yang paling terasa selama pandemi bersama kita. Pidato itu bahkan tidak memuat ucapan belasungkawa atau maaf atas kematian dan kehilangan.
Pidato itu begitu positif dan membicarakan peluang teknologi yang mungkin diperoleh akibat adanya pandemi, sehingga kebanyakan orang miskin putus sekolah mungkin tidak mengerti pidato itu sebenarnya membicarakan apa. Orang yang setiap hari mengakses berita soal korupsi mungkin heran mengapa tidak ada umpatan kepada koruptor atau setidaknya penegasan tiada maaf bagi koruptor. Mereka mungkin akan berpikir juga apakah pidato ini ditujukan kepada mereka atau bukan.
Jangan-jangan, yang diajak bicara memang bukan kita.
*Ahli Bahasa dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta