TERASLAMPUNG.COM —Hasil survei Lembaga Survei Kuadran yang dirilis pada Jumat menunjukkan fakta yang tidak terlalu mengejutkan. Menurut hasil survei Kuadran meski popularitas Gubernur Lampung Ridho Ficardo paling unggul tetapi tingkat keterpilihannya (elektabilitasnya) masih di bawah Walikota Bandarlampung dan Mustafa.
Survei dengan 400 responden yang tersebar di 15 kabupaten dan kota di Lampung itu menunjukkan elektabilitas Herman HN tetap tertinggi dengan 16,75 persen, disusul Mustafa 16 25 persen, Ridho Ficardo 14,25 persen, Arinal Djunaidi 10,75 persen, Mukhlis Basri (2,25 persen), Bachtiar Basri (1 persen), Almuzamil Yusuf 0,75 persen, M Alzier Dianis Thabranie 0,75 persen, Ananda Tohpati 0,25 persen, Aziz Syamsudin 0,25 persen, dan Patimura 0,25 persen.
Meskipun elektabilitasnya unggul, sebenarnya elektabilitas Herman HN menurun jika dibandingkan dengan tiga bulan lalu (April 2017) yang mencapai 24,00 persen. Jika tiga bulan ke depan Herman HN tidak melakukan “gerakan” terkait pencalonannnya dengan Pilgub Lampung, ada kemungkinan elektabilitasnya akan merosot.
Harus diakui, terkereknya elektabilitas Mustafa dan Arinal Djunaidi salah satunya karena masifnya sosialisasi pencolonannya sebagai bakal calon gubernur di hampir seluruh wilayah Lampung. Untuk publikiasi dan sosialisasi di media massa, Mustafa dan Arinal termasuk yang paling masif. Dari mana pun sumber dananya, fakta menunjukkan sosialisasi Mustafa dan Arinal lebih gencar dibandingkan Herman HN.
Ridho Ficardo meskipun menurut hasil survei Kuadran elektabilitasnya berada pada posisi ketiga, ia masih punya peluang untuk menyalip. Hal itu terutama jika Herman HN cukup bertahan dengan rasa percaya dirinya yang terlampau tinggi sonder mempertimbangkan sosialisasi yang masif.
Apalagi, kita tahu sebagai Gubernur Lampung Ridho masih banyak peluru untuk menarik simpati dan dukungan. Antara lain program bantuan Pemprov Lampung yang prorakyat yang bisa menyapu pelbagai kalangan: petani, nelayan, guru, pelajar SMA, masyarakat perdesaan, dan lain-lain. Ibarat jejak kaki, karena dia seorang Gubernur maka langkah Ridho lebih panjang dibanding Walikota Bandarlampung Herman HN dan Bupati Lampung Tengah Mustafa.
Meski begitu, sebagaimana Pilgub 2014 lalu, ada beberapa faktor yang tidak terprediksi yang bisa saja tiba-tiba muncul dan memengaruhi akseptabilitas dan keterpilihan calon gubernur. Pada Pilgub 2014 misalnya, publik di Lampung seoalah-olah dibikin lelah dengan tarik ulur jadwal Pilgub. Bisa diyakini, tarik ulur dengan alasan penganggaran di Pemprov Lampung itu permainan tingkat tinggi yang mungkin hanya segelintir orang saja yang tahu motif di baliknya.
Kala itu, beberapa bulan sebelum pelaksanaan Pilgub hasil survei selalu memosisikan Herman HN sebagai paling unggul dan diyakini menang jika saat itu Pilgub digelar. Namun, di tengah permainan politik tingkat tinggi yang berakhir dengan terdepaknya Herman HN dari pencalonan PDIP — PDIP menjagokan mantan Sekdaprov Berlian Tihang dan Bupati Lambar Mukhlis Basri — muncullah fenomena calon gubernur muda yang kala itu gencar wayangan di perkampungan Jawa di Lampung.
Pelan dan pasti, nama pasangan Ridho Ficardo dan Bakhtiar Basri makin populer. Kehadiran Jokowi ke Lampung untuk berkampanye bagi pasangan Berlian Tihang – Mukhlis Basri tidak terlalu berpengaruh bagi jago PDIP. Hasil akhhirnya: Pilgub Lampung 2014 dimenangi Ridho Ficardo – Bakhtiar Basri.
Faktor “X” lain yang juga berpeluang muncul dan akan menggerogoti akseptabilitas-elektabilitas calon gubernur adalah kasus hukum. Sudah banyak contoh calon kepala daerah gagal memang karena menjelang proses pemilihan terjerat kasus hukum. Dan, kita tahu, beberapa bakal calon Gubernur Lampung ada yang berpotensi untuk terjerat kasus hukum. Itu setidaknya bisa kita baca dari aneka berita di media Lampung beberapa waktu lalu.
Oyos Saroso HN