Oyos Saroso H.N.
Peta calon gubernur yang akan maju pada Pemilihan Gubernur Lampung 2018 sudah makin jelas. Kemungkinan besar calon gubernur Lampung akan ada empat: petahana Ridho Ficardo, Herman HN, Mustafa, dan Arinal Djunaidi. Mereka kini makin gencar melakukan komunikasi untuk menyeleksi calon wakil gubernur yang akan turut maju ke palagan Pilgub Lampung 2018.
Hingga memasuki minggu ketiga Oktober 2017, belum ada satu pun bakal calon Gubernur Lampung yang sudah memastikan pendamping. Bahkan, sampai kini masih berkembang hitung-hitungan spekulatif untuk ‘mengawinpaksakan’ atau ‘mengawin-suka-sama sukakan’ di antara mereka.
Misalnya, ada spekulasi Arinal akan berpasangan dengan Ridho Ficardo. Spekulasi ini dibumbui dengan bumbu-bumbu dan hitung-hitungan ‘drama’. Prolognya: PT Sugar Companyy yang dulu mendukung Ridho Ficardo pada Pilgub Lampung 2014 marah karena Ridho tidak mau dipasangkan dengan Arinal Djunaidi pada Pilgub Lampung 2014. Lalu, digamitlah Arinal untuk melawan Ridho. Sosialisasi digencarkan dengan masif. Endingnya : terjadi kompromi Ridhon jadi cagub dan Arinal jadi cawagubnya.
Namun, spekulasi itu terbilang sangat lemah pijakan logikanya. Pasalnya, Arinal konon sudah telanjur ‘memborong perahu’. Dan, saat melobi pimpinan DPP partai untuk memakai perahu tidak ada ‘deal’ ia hanya cukup jadi cawagub.
Ada pula spekulasi Herman HN terpaksa ‘kawin paksa’ dengan Ridho Ficardo. Spekulasi ini bisa muncul karena sejauh ini Herman HN belum mendapatkan rekomendasi dari DPP PDIP untuk menjadi cagub pada Pilgub Lampung 2018. Surat yang diterima Herman HN dari DPP PDIP beberapa waktu lalu hanyalah Surat Tugas.
Karena judulnya hanya mendaparkan “Surat Tugas”, maka aneka spekulasi pun muncul. Misalnya, dugaan bahwa DPP PDIP sebenarnya hanya memberikan mandat kepada Herman HN untuk mencari atau menentukan pasangan yang akan menaiki perahu PDIP menuju samudera Pilgub Lampung 2018. Artinya, calon gubernur dan calon wakil gubernur yang akan diusung PDIP bukanlah Herman HN.
Nah. dalam sengkarut persepsi publik dari luar pagar PDIP itulah muncul spekulasi lain: PDIP mengusung pasangan Ridho Ficardo – Herman HN pada Pilgub Lampung 2018.
Tentu saja, spekulasi ini lemah dasar pijakan logikanya. Kalau hal itu ditanyakan kepada Herman HN, ia pasti akan membantah keras. Herman HN sudah pasti sudah cukup percaya diri untuk mendaku bahwa dirinyalah calon gubernur yang akan diusung PDIP.
Bagaimana dengan Mustafa? Ia juga ‘masuk ke ‘irisan’ spekulasi yang berkembang. Misalnya, ia diisukan akan bergandengan dengan Ridho Ficardo. Sama seperti Herman HN, Mustafa selama ini juga tampak terlihat vis-a-vis dalam hal menguarkan isu kebijakan pembangunan dengan Ridho Ficardo.
Meski tampak sering berhadap-hadapan seperti hendak perang dan saling sindir, mereka hidup dalam ekosistem politik. Yakni sebuah ekosistem yang memiliki adagium “tidak ada lawan abadi” dan “semua serba mungkin”. Makanya, meskipun Ridho, Herman, Mustafa, dan Arinal saat ini sedang kerja keras untuk memilih dan memilah daftar calon wakil gubernur yang akan mendampingi mereka, spekulasi bahwa di antara mereka ‘saling kawin’ pun tetap muncul.
Jika Ridho berpasangan dengan Herman HN peluang menang satu putaran akan sangat besar. Begitu juga jika Herman berpasangan Mustafa atau Ridho berpasangan dengan Mustafa. Ini jika dasar pijakan logikanya adalah hasil dua kali survei lembaga survei Rakata Institute dan Kuadran beberapa waktu lalu.
Soal popularitas, menurut survei Rakata dan Kuadran beberapa waktu lalu, Ridho masih unggul. Namun, soal keterpilihan (elektabilitas) Herman HN unggul tipis. Masih bisa dikatakan bahwa Ridho, Herman, dan Mustafa elektabilitasnya bersaing ketat. Kemudian ditempel dengan sangat ketat dan gigih oleh Arinal Djunaidi.
Di luar itu semua, calon wakil Gubernur Lampung kini bermunculkan meramaikan bursa. Ada mantan Kapolda Lampung Irjen Ike Edwin, Bupati Lampung Barat dan kader PDIP Mukhlis Basri, Ketua DPRD Lampung dan kader PDIP Dedi Afrizal, Bupati Lampung Timur dan kader PKB Chusnania Chalim, Ketua DPD Partai Gerindra Lampung Gunadi Ibrahim, Wakil Bupati Tulangbawang Heri Wardoyo, anggota DPRD dari Gerindra Patimura, pengusaha muda dan putra Menteri KLH Ananda Tohpati, Walikota Bengkulu Helmi Hasan, Bupati Pringsewu Sujadi, dan lain-lain.
Probabilitas Ridho, Herman, Mustafa, dan Arinal untuk berpasangan dengan salah satu di antara nama-nama tersebut di atas sangat besar. Ridho misalnya, bisa saja berpasangan dengan Chusnania Chalim dengan deal ia mendapatkan perahu PKB dan dengan harapan akan bisa mendulang suara dari Lampung Timur dan kalangan NU.
Chusnania Chalim juga bisa saja “direbut” Arinal Djunaidi untuk memudahkannya melenggang menuju arena pertarungan Pilgub Lampung.
Herman HN bisa saja berpasangan dengan Ananda Tohpati dengan deal akan mendapatkan pasokan logistik untuk memenangi Pilgub. Mustafa mungkin saja menggandeng Ike Edwin untuk memperkuat ‘jualan’ program rondanya.
Sayangnya, membaca peta perebutan bakal calon wakil gubernur Lampung lumayan sulit karena sejak dari sononya para bakal calon Gubernur tidak pernah transparan soal dana yang mereka miliki untuik berani maju Pilgub. Publik di Lampung tidak pernah bisa meneropong isi kantong Ridho, Herman, Mustafa, dan Arinal. Publik hanya bisa membaca dari gejala yang tampak dan mendengar dari kabar yang berembus bak angin sepoi-sepoi. Gejala dan kabar sepoi-sepoi itu masih dengan kata kunci sama: modal Pllgub dari dana APBD, dmodalin cukong, dana investor, dan sejenisnya.
Soal calon wakil gubernur Lampung, dalam situasi normal, berdasarkan pengalaman sejumlah pilkada di Indonesia pada dasarnya pilihan logisnya cuma dua. Pertama, jika bakal calon wakil gubernur itu daya ungkitnya kuat, maka ia tidak harus bermodal duit yang sangat besar. Sebab si calon gubernur sudah bermodal besar — entah sumber modalnya dari mana.
Kedua, jika si bakal calon gubernur itu daya ungkitnya lemah maka ia harus setor modal yang sangat besar. Sebab , si calon gubernur yang modalnya tidak besar-besar amat itu butuh dukungan logistik yang kuat.
Yang dimaksud daya ungkit di sini adalah popularitas dan elektabilitas yang berkorelasi signifikan dengan peluang mendulang suara dan bisa menopang calon gubernur memenangi Pilgub.
Sampai di sini tahulah kita: pemilihan kepala daerah selalu elitis dan perhitungannya kapital. Mat Dra’up yang cuma tukang becak tidak akan pernah bisa mengusulkan calon gubernur. Mas Joko si penjual tahu bulat juga tidak pernah punya suara untuk bisa mengusulkan calon wakil gubernur.
Ah, jangankan Mat Dra’up dan Mas Joko yang bukan orang partai, orang-orang yang sudah puluhan tahun bersetia dengan partai dan selalu jadi mesin saat musim pemilu pun tidak punya suara untuk bisa menentukan calon kepala daerah yang menurut mereka pas….