Oyos Saroso H.N.
Herman HN mengibakan bendera putih tanda menyerah. Itulah kesimpulan prematur setelah saya membaca berita ihwal sangat permisifnya Herman HN untuk dipasangkan dengan Ridho Ficardo dan sejumlah bakal kandidat lain pada Pilgub Lampung 2018. Kabar itu beredar sejak Senin (13/11/2017).
Sejumlah media online termasuk Teraslampung.com melansir: Herman menegaskan dirinya juga siap jika bersanding dengan sejumlah nama lain, baik mantan Kapolda Lampung Ike Edwin, Arinal Djunaedi, maupun Sekdaprov Sutono, Ananda Tohpati, maupun Edi Irawan Arief.
“Sepanjang hal tersebut merupakan arahan dari DPP dan mereka siap menjadi wakil. PDIP itu kan cukup dukungan untuk mengusulkan calon sendiri, jadi tidak mungkin saya jadi nomor dua,” kata Herman.
Entah serius atau asal menjawab pertanyaan wartawan, penyebutan nama-nama tersebut di atas menunjukkan dua hal: percaya diri (dan atau) tidak terlalu percaya diri.
Jika nama-nama yang disebutkan Herman HN itu dalam pemikiran Herman HN maksudnya adalah sebagai bakal calon Wakil Gubernur, maka Herman HN sangat percaya diri. Bagaimana tidak disebut sangat percaya diri kalau Herman HN berani menyebut Ridho Ficardo sebagai bakal calon Wakil Gubernur yang akan maju bersama dirinya pada Pilgub 2018?
Kesangsian akan hal itu wajar terjadi mengingat Ridho Ficardo adalah calon petahana dan menurut hasil survei beberapa lembaga survei namanya masih bertengger di ‘pucuk’. Artinya., agak muskil Ridho mau hanya menjadi wakilnya Herman HN.
Sebaliknya, jika yang dimaksud Herman HN adalah ia menempati posisi sebagai bakal calon Wakil Gubernur, maka bisa disebut bahwa Walikota Bandarlampung itu tidak terlalu percaya diri untuk mendapatkan perahu PDI dan maju sebagai calon gubernur.
Jauh sebelum pernyataan kesiapannya maju bareng Ridho Ficardo pada Pilgub Lampung 2018, sebenarnya berembus rumor yang lumayan kencang bahwa Ridho Ficardo punya peluang lebih dari 50 persen untuk mendapatkan rekomendasi dari PDIP.
Entah dari mana sumber aslinya, yang pasti rumor itu kemudian diolah menjadi isu yang dikemas dengan pijakan atau dasar yang logis. Itulah sebabnya, pada beberapa kesempatan para wartawan lokal sering bertanya kepada Herman HN dan Ridho Ficardo tentang peluangnya untuk maju bareng pada Pilgub 2018.
Benarkah Ridho berpeluang lebih besar mendapatkan rekomendasi dari DPP PDIP untuk maju pada Pilgub Lampung dibanding Herman HN yang “orang dalam”? Terlalu dini menjawabnya sekarang. Sebab, pendaftaran bakal calon gubernur dan bakal wakil gubernur baru akan dibuka pada Januari 2018 mendatang. Selama pasangan bakal calon gubernur dan bakal calon gubernur belum mendaftar bersama dan kemudian ditetapkan sebagai calon pasangan peserta Pilgub oleh KPU, maka semua kemungkinan masih bisa terjadi.
Arinal Djunaidi yang selama ini diyakini akan melenggang dengan perahu Partai Golkar, Gerindra, dan PKB , misalnya, bisa saja disalip kandidat lain. Hal itu terjadi jika dukungan PKB dan Gerindra tiba-tiba berubah. Di internal Gerindra, sinyal perubahan dukungan untuk Arinal setidaknya bisa dibaca dari beberapa pernyataan Ketua Partai Gerindra Lampung, Gunadi Ibrahim.
Dalam bahasa lain, selama calon partau pendukung belum mendeklasikan pencalonan kandidat maka berita seputar rekomendasi kepada kandidat tertentu bisa dikatakan sebagai kabar bohong alias hoax. Kenapa kabar bohong? Sebab, faktanya belum tentu seperti yang diwartakan. Ketika fakta itu diverifikasi maka ada ketidaksesuaian antara data yang dari DPP partai dengan DPD I atau DPW partai.
Dengan alasan itu pula, maka agak aneh jika Herman HN terlalu percaya diri atau — sebaliknya — terlalu terburu-buru mengibarkan bendera putih. Aneh, karena kalau bicara soal kecemasan, maka bukan hanya Herman HN yang layak cemas karena bisa terancam tidak mendapatkan perahu partai untuk bisa nyagub. Ridho Ficardo, Arinal Djunaidi, dan Mustafa pun layak diyakini saat ini sedang cemas karena dukungan partai untuk mereka sewaktu-waktu masih bisa berubah.
Aneka goyangan masih dimainkan oleh para pejabat teras parpol. Siasat menang Pilgub dan mendapatkan keuntungan luar-dalam sekaligus memenangi Pilpres dan Pileg pun bisa jadi juga sedang diterapkan. Makanya, jangan heran jika ada ketua partai level provinsi begitu kencang bersuara, sementara ketua parpol lainnya tampak slow dan adem ayem saja karena tak berdaya memprotes DPP atau bertindak melangkahi DPP.