Oyos Saroso H.N.
Judul tersebut di atas mungkin terlalu gagah di mata sebagian orang. Namun, bagi sebagian lainnya judul tersebut setidaknya bisa menggambarkan keprihatinan sebagian kader dan simpatisan PDIP ketika melihat gelagat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menjelang pilkada serentak –termasuk Pilgub Lampung 2018. Sebab, ketika sedang berada di puncak harapan masyarakat untuk dipilih pada pemilu mendatang (setidaknya menurut sejumlah lembaga survei), DPP PDIP justru acap membuat sebagian kader dan kostituennya kecewa. Paling gress adalah masalah penunjukan Ketua DPD PDIP Provinsi Lampung. Dan, naga-naganya, hal itu akan diperpanjang dengan pemberian restu membawa perahu dalam Pilgub Lampung 2018.
“Sandyakalaning PDIP dan harakiri” jelas bukanlah frasa yang enak dan indah. Apalagi kalau frasa itu diterapkan untuk mendeskripsikan fakta perpolitikan Indonesia mutakhir. Sebab, faktanya saat ini PDIP sedang moncer. Bukan saja karena jagonya menang pada Pilpres 2014 lalu, tetapi juga karena sebagian besar lembaga survei baru-baru ini menempatkan partai banteng moncong putih sebagai partai dengan elektabilitas tertinggi pada Pemilu 2019 mendatang. Elektabilitas tertinggi berarti daya pikatnya untuk dipilih masyarakat paling besar. Bahasa mudahnya: akan menjadi pemenang pemilu.
Sejak era reformasi bergulir PDIP dua kali menang Pemilu Legislatif. Yakni pada Pemilu 1999 dan Pemilu 2014. Pada Pemilu 1999 PDIP menang dengan 35.689.073 suara (33,74 persen), disusul Golkar memperoleh 23.741.758 suara (22,44 persen), dan PKB dengan 13.336.982 suara (12,61 persen)
Pada Pemilu 2004, PDIP kesalip Partai Golkar. Ketika itu Partai Golkar menang dengan 24.480.757 suara (21,58 persen), disusul PDIP dengan 21.026.629 suara (18,53 persen), dan PKB 11.989.564 suara (10,57 persen).
Pada Pemilu 2009 PDIP kembali kalah. Yang mengalahkan adalah Partai Demokrat, partai ‘debutan baru’ yang dikomandani mantan menteri kabinetnya Megawati, yakni Susilo Bambang Yudhoyono. Kala itu PDIP kalah cukup telak. Partai Demokrat meraup 21.703.137 suara (20,85 persen), Golkar 15.037.757 (14,45) persen, dan PDIP hanya 14.600.091 (16,03 persen)
Menang pada Pemilu 1999 dan baru menang kembali pada Pemilu 2014, itu artinya butuh waktu 15 tahun bagi PDIP untuk meningkatkan penampilan, membangun dan memperkuat basis dukungan, serta meyakinkan rakyat konstituennya bahwa partai tersebut layak menjadi pilihan.
PDIP adalah partai pemenang Pemilu 2014. Meskipun tidak mutlak benar, tetapi perolehan suara PDIP perbedaan sangat signifikan dibanding partai lain yang menjadi pesaing utama seperti Partai Gerindra, Partai Golkar, dan Partai Demokrat. Pada Pemilu 2014 PDIP memperoleh 23.681.471 suara, disusul Golkar dengan 18.432.312 suara, Gerindra 14.760.371 suara, dan Demokrat 12.728.913 suara.
Meskipun begitu, harus dicatat, karena ‘kekurangligatan’ para politikus PDIP di Senayan– atau kehebatan ‘koalisi partai pesaing’ di parlemen– PDIP gagal menempatkan wakil-wakilnya di pos-pos penting DPR RI. Pos terpenting (Ketua DPR RI) seolah menjadi hak mutlak Partai Golkar. Dan, PDIP tidak bisa berbuat banyak.
Jauh sebelum itu, pada Pemilu 1999, PDIP juga menjadi pemenang pemilu dengan 33 persen suara. Namun, kala itu PDIP gagal mendudukkan ketua umumnya (Megawati Soekarnoputri) sebagai Presiden RI. Kekuatan ‘mahabesar’ lewat koalisi Poros Tengah yang dipimpin Amien Rais membuat ‘skenario politiik’ berantakan. Pemilihan Presiden yang kala itu dilakukan melalui MPR membuat Megawati terpental dan K.H.Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI.
Ketika pemilihan presiden digelar secara langsung pada 2004 Megawati yang ketika itu maju bersama K.H. Hasyim Muzadi pun kembali gagal. Ia dikalahkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)– mantan menterinya dan pendiri partai baru bernama Partai Demokrat.
Tidak hanya kalah dalam pilpres langsung yang baru pertama kali digelar di Indonesia tersebut. Pada pemilu legislatif PDI juga kalah.
Megawati kembali kalah bersaing dengan SBY pada Pemilu Presiden 2009. Kala itu Megawati berpasangan dengan Prabowo Subianto, sedangkan SBY berpasangan dengan Boediono. SBY-Boediono menang telak dengan 73.874.562 suara (60,80 persen), Megawati-Prabowo mendapatkan 32.548.105 (26,79 persen), sedangkan Jusuf Kalla-Wiranto memperoleh 15.081.814 suara (12,41 persen).
Itulah momen-momen paling menyakitkan bagi Megawati dan sepertinya membekas hingga sekarang. Setidaknya, hingga saat ini rakyat Indonesia belum pernah melihat atau mendengar kabar mantan Presiden Megawati dan mantan Presiden SBY bertegur sapa di acara resmi maupun acara santai sebagaimana fatsun orang Timur.
***
Pemilihan Presiden baru akan digelar pada 2019 mendatang. PDIP (mungkin) kini sedang dalam puncak terang. Senyampang dengan itu, presiden petahana yang diusung PDIP pada Pilpres 2014 lalu (Joko Widodo) kini juga sedang menunjukkan performa yang baik. Meski begitu, puncak terang bisa saja akan pelan-pelan (bahkan mungkin tiba-tiba) meredup jika PDIP salah strategi dan salah langkah dalam menapaki jalan menuju Pemilu 2019.
Jalan menuju 2019 rambu-rambuya sudah sangat jelas. Tahap-tahapnya pun jelas: harus melintasi 2018, yakni tahun pilkada serentak (pemilihan gubernur, bupati, dan walikota).
Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden (Pilpres) akan digelar setelah pilkada langsung. Itu artinya perhitungan atawa strategi politiknya akan berbeda jika dibandingkan dengan pilkada serentak berbarengan atau digelar setelah Pileg dan Pilpres. Hasil pilkada serentak sedikit-banyak akan mempengaruhi perolehan suara pada Pemilu Legislatif dan Pilpres.
Logika sinyalemen tersebut bisa sangat sederhana: saat ini tidak ada satu pun partai politik akan memberikan perahunya kepada calon kepada daerah tanpa ada konsesi calon kepala daerah yang akan memakai perahu mau memberikan jaminan untuk memenanhkan parpol atau memenangkan capres yang akan diusung parpol pemilik perahu.
Itulah sebabnya, perburuan perahu para calon kepala daerah yang akan maju pada pemilihan gubernur, pemilihan walikota, dan pemilihan bupati pada pilkada serentak 2018 mendatang sangat alot. Alot, karena partai menjadi sangat mahal. Masing-masing partai adu strategi dan bisa “saling mengunci”.
Di sinilah loyalitas dan dedikasi kader partai terkadang harus ‘tergadai’ oleh kepentingan praktis sesaat elite parpol. Di sinilah perlu fatsun politik. Elite parpol harus hati-hati dan bijaksana. Jika tidak hati-hati, elite parpol bisa-bisa mennggelincirkan partaiya sendiri yang selama ini dibesarkannya ke jurang gelap.
Salah dalam memilih calon kepala daerah yang diusung pada pilkada dan mitra koalisi untuk mendukung calon kepala daerah akan bisa berdampak buruk pada Pemilu 2019. Dalam konteks ini pula ihwal PDIP akan terus menemu puncak terang atau justru terpelanting ke masa senja kala (sandyakala) –bahkan bunuh diri ala Jepang (harakiri) — menemukan signifikansinya.
Di Lampung, batu ujinya adalah Pilgub Lampung 2018.