Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
Judul tulisan ini diambil dari potongan ceramah Ustaz Das’ad Latif, dai kondang asal Sulawesi Selatan yang juga seorang dosen perguruan tinggi negeri terkenal di sana. Kebetulan perguruan tinggi itu pernah jadi tempat sekolah penulis sebelum ada program pascasarjana, bernama Pusat Latihan Ilmu-Ilmu Sosial pada zamannya. Penggalan ceramah itu mengingatkan perjalanan hampir setengah abad mengarungi dunia interaksi antarmanusia, baik di tengah masyarakat saat melakukan penelitian, maupun di dunia kampus. Tentu dengan segala macam riak gelombang dan hempasan badai kehidupan. Terutama yang berkaitan dengan pilih memilih, baik dalam masyarakat kebanyakan maupun di dunia kaum cerdik pandai.
Ternyata dunia kampus yang konon adalah kumpulan para intelektual, tidak bisa melepaskan diri dari badai dan topan saat pemilihan apapun jabatan; sampai dengan jabatan tertinggi sekalipun yaitu rektor. Dinamika pemilihan bisa berlangsung terbuka, bahkan yang lebih seru yang tertutup, atau yang ada di dasar sana. Jika di tengah masyarakat kebanyakan cenderung fulgar dalam tampilan kontestasinya; namun di dunia kampus tampak tenang, walaupun sebenarnya ada tsunami yang sedang mempersiapkan tenaga besarnya guna menggulung siapa saja.
Kalau ditengah masyarakat tampak kedewasaan mereka setelah pemilihan, apapun jabatan yang dipertaruhkan untuk di pilih; bagi mereka yang ada pada posisi kalah, tindakannya sudah bisa diprediksi; kebanyakan diam dan biasa-biasa saja. Walaupun ada salah satu sub-etnik di Sumatera Selatan jika kalah mencalonkan diri atau bahasa setempat disebut “mancang” untuk jabatan Pasirah pada waktu itu; maka mereka sekeluarga akan meninggalkan kampung, dan kemudian membuka lahan baru sebagaia cikal bakal perkampungan baru. Namun, ada juga peristiwa yang setelah terpilih menjadi orang nomor satu di salah satu provinsi; satu dua hari masih mau menerima telpon dari mantan sebelumnya. Hari berikutnya sudah tidak mau lagi mengangkat telpon; sampai-sampai sang mantan mengeluarkan umpatan isi kebon binatang, karena saking kesalnya. Tidak jarang hal seperti ini menjadi semacam api dalam sekam, yang terus membara dengan posisi “saling berhadapan”.
Berbeda lagi pada masyarakat kolonisasi pada masa-masa awal mereka melakukan pemilihan kepala desa; waktu itu mereka cukup berbaris sesuai pilihan dan dihitung oleh tetua kampung. Demokrasi pada jamannya memang berevolusi terus menerus mengikuti perubahan. Sampai akhirnya menggunakan pola modern seperti saat ini, tentu dengan segala macam riak gelombangnya.
Ada sesuatu yang menarik adalah peristiwa setelah pemilihan, apapun namanya; biasanya disertai “efek ekor komet”, yaitu akibat lanjut dari setelah pemilihan. Jika mereka yang terpilih adalah pribadi yang matang berdemokrasi dan mampu menerima perbedaan sebagai keharusan, maka setelah pelantikan apapun jabatannya dan dilanjutkan menyusun kabinet; didalamnya disertakan orang-orang yang pernah menjadi rivalnya. Kemudian mereka yang selama ini termasuk barisan pendukung rivalnya, tidak akan dimusuhi atau bahkan “dibunuh kariernya”. Mereka akan diberlakukan sebagai mitra dalam berdemokrasi, dan dipelihara sebagai penyeimbang untuk didengar masukannya.
Jika yang terpilih mereka yang tidak memiliki kematangan pribadi untuk berdemokrasi, maka yang terjadi adalah “sikat habis”; bila perlu dialirkan thsunami untuk menghabisi mereka yang tidak segaris, dan inilah efek ekor komet yang sering terjadi pada saat selesainya pemilihan; tidak terkecuali di dunia kampus yang konon katanya gudang orang intelektual. Tidak jarang bahkan lebih seru dibandingkan dengan diluar kampus; sebab pada akhirnya menimbulkan kelompok mana dan orang siapa. Kondisi seperti ini bisa lebih lama dan makin parah.
Pemilihan apa pun bisa berlangsung kapanpun; namun efek ekor komet inilah yang biasanya menjadi tsunami untuk membuat garis “orang saya dan bukan orang saya”. Lebih seru lagi efek ini bisa mengubah karakter orang menjadi paradog. Semula berteman bahkan saling bahu membahu dalam berjuang. Karena sekarang ada pada posisi yang diuntungkan atau berhadap-hadapan, maka WA pun dari semula sahabat, menjadi musuh berat. Berita yang semula dirindukan, menjadi yang memuakkan. Karena itu apa pun pesan yang dikirim selalu dilabeli dengan prasangka negatif dan selalu berada pada posisi tidak menyenangkan. Bahkan ada pejabat hanya karena tulisan orang yang menulisnya tidak dianggap segaris, maka selamanya diposisikan semua tulisannya tidak baik untuknya, meskipun tidak ada hubungan antara yang ditulis dengan dirinya.
Tidaklah salah jika Sang Dai mengatakan bahwa memilih pilihan tidak harus disertai dendam pada yang tidak memilihnya. Sebab apa yang disebut memilih pada hakikatnya adalah ada yang di pilih dan ada yang tidak dipilih. Konsekuensinya ada yang kalah dan ada yang menang. Dikatakan menang karena ada yang kalah. Dikatakan kalah karena ada yang menang. Berarti kalah dan menang adalah bagai dua sisi mata uang yang saling meneguhkan satu dengan yang lain.
Mari bersikap dewasa dalam memilih, apapun pilihan kita bukan berarti menceraikan kita.