Opini  

PIlpres, Cepatlah Berlalu

Bagikan/Suka/Tweet:
Oleh Jauhari Zailani*
Pemilihan
Presiden 2014, cepatlah berlalu. Ungkapan perasaan itu, muncul selama masa
kampanye. Cemas oleh polarisasi dalam masyarakat. Membingungkan dan melelahkan. Tiba-tiba saja semua
orang bicara politik. Banyak pengamat di banyak tempat. Di mesjid, di warung
makan, di pangkalan ojek, di pangkalan becak, di kantor, di kampung dan di
kota. Apalagi media sosial.
Pergulatan politik dalam
Pilpres 2014, seperti sebuah sandiwara kolosal. Aktor utama dan figuran dan kru
bukan hanya melibatkan capres dan timnya. Tetapi juga para pendukungnya yang
berserak di setiap ruang kehidupan. Rakyat bukan hanya penyorak tepuk, tetapi
sudah menjadi aktor-aktor politik. Panggung-panggung politik pun tumbuh subur,
menyita ruang publik.
Betapa tak melelahkan.
Orang Muhammadiyah terpecah. Dukung Prabowo, menjadi arus utama. Syafii Maarif
membela Jokowi. Ketua NU, mendukung Prabowo. Khofifah, Hazim Muzadi dan Yusron
mendukung Jokowi. Teman-teman beda pilihan.
Gairah politik pun
menjalar ke keluarga. Sang ayah pilih Jokowi, Prabowo menjadi pilihan sang ibu.
Pepatah lama “tidur dalam satu ranjang, tetapi beda mimpi”. Pagi ini, perbedaan
itu, terjadi di meja makan. Saat makan sahur. Itulah yang terjadi di
keluargaku, dengan narasi berikut.
Sahur pagi ini, terasa
lebih seru. Di meja makan, ada “rendang” dan pindang Patin ala Jawa. Dengan
bumbu-bumbu “bincang politik”.
Anak sulung membuka
pembicaraan “Kasihan TVOne, kantornya di Yogya dan Jakarta“digerudug”
orang-orang PDIP.  Anak yang lain menukas
“tak heranlah”. PDIP memang partainya “wong beringas”, sesuai dengan logo
“kepala banteng moncong putih”. 
Sialnya, Jokowi salah
ucap. Jokowi tak sanggup mencegah kader PDIP untuk menyatroni TVOne.  Kata Jokowi “Jangan salahkan kader PDIP,
salahkan saja yang memfitnah”. 
Presentasinya diakhiri dengan pertanyaan yang tendensius “Layakkah
Jokowi menunjukkan kelemahan seperti itu. Bagaimana negara sebesar ini mau
dipimpin oleh orang yang lemah begitu? ”.
Anak ragilku mendesah
jengah “Hah, semoga tanggal 9 juli cepat berlalu”. 
Istriku yang biasanya
abstain, kini berceloteh juga. Memang televisi sudah keterlaluan. Bukan saja
berpihak. Tetapi telah menyebar gosip murahan. Membaguskan capres yang
didukung, seraya menjelekkan capres lawan. Parahnya, kita sebagai rakyat kecil,
tak lagi bisa membedakan info “benar dan bohong”. Opini dan fakta campur aduk.
Pokoknya “adu omong dan seru”. Tak cukup pendapat pakar politik, ekonomi,
perminyakan, ahli survei dan pakar gestur. Orang asing  “Allan” dan orang yang sudah ninggal  (Gus Dur) pun dibawa-bawa. 
Dalam desahan nafas,
anakku berbicara “kita memang sedang belajar berdemokrasi”. Dalam masa belajar
ini, kita masih dalam taraf bebas berpendapat, bebas memilih. Orang tua beda
pilihan dengan anak-anaknya, itu biasa. Suami beda pilihan dengan istrinya, itu
luar biasa. Yang lebih luar biasa, mereka tetap hidup dalam suasana yang
biasa-biasa saja. Tanpa ketegangan. Damai-damai saja. Semua belajar terlibat
dalam politik. Semua merasa bisa menganalisis. Semua merasa bebas memilih.
Semua belajar berbeda.
Sesungguhnya capaian itu
dapat menjadi modal sosial yang amat berharga. Tak perlu cemas. Kecemasan hanya
mengundang kembalinya masa ketika “beda pilihan” itu dosa. Bagi yang
“mengharamkan” konflik, tentu mengkuatirkan situasi seperti ini. Tetapi bagi
yang memandang konflik sebagai “berkah”, bisa menikmati “beda pilihan” sebagai
yang menggembirakan.

Kini, 10 juli 2014,
harapan itu sirna. Perbedaan dan diskusi masih terus berlanjut.

* Mengajar di Universitas Muhammadiyah Lampung (UML)