Oyos Saroso H.N.
Wak Kajol warga biasa. Ia bukan te-es salah satu calon capres. Ia juga bukan PNS, pengusaha, pedagang kelontongan, belantik kambing, atau makelar sepeda motor.
Sebenarnya Wak Kajol warga Negeri Rai Munyuk yang sangat bersahaja. Dulu Wak Kajol bekerja menggembalakan kambing milik para tetangganya. Ia juga menjadi buruh serabutan. Rumahnya sederhana. Penghasilannya pas-pasan.
Ketika usia Wak Kajol makin menua, tsunami melek politik melanda di Negeri Rai Munyuk pun datang. Hal itu ketika telepon genggam sudah bukan lagi jadi barang mewah dan warga Rai Munyuk dianggap tidak menjadi warga dunia kalau tidak punya akun Facebook, Twitter, dan Instagram.
BACA: Musim Pilkada, Tuan Segala Tahu Terus Bergentayangan
Di era membeludaknya sampah informasi, Wak Kajol pun menjadi sosok beringas di media sosial. Foto profilnya terpampang gambar ia mengenakan surban, meskipun di dunia nyata ia jarang shalat dan tak peduli lingkungan sekitarnya. Ia hajar semua pemilik status yang mendukung pasangan capres-cawapres yang tidak didukungnya.
Wak Kajol merasa senang jika serangan-serangannya terhadap capres-cawapres yang dibencinya dikasih tanda ‘like’ atau jempol.
“Kalau pak dosen, bu guru, pak PNS, dan Mang Midin bisa,kenapa saya tidak bisa eksis seperti mereka?” begitulah Wak Kajol berpikir.
Maka, sejak setahun menjelang Pilpres ia pun makin aktif di medsos. Ia sangat serius menekuni profesi sebagai pengamat politik, profesi baru yang ia yakini akan mengantarkannya menjadi manusia yang menangguk banyak pahala.
Begitulah Wak Kajol. Saking sibuknya menjadi pengamat politik dan kritikus di fesbuk ia sampai lupa cara tersenyum. Ia juga lupa merawat bunga. Padahal, dari senyum manis dan tanaman bunga itulah ia dan istrinya dalam lima tahun terakhir bisa hidup agak mendingan. Perekonomian meningkat karena banyak pembeli tanaman bunganya.