Oleh Nusa Putra
Ini bukan rumah sakit jiwa. Tetapi teras sebuah toko yang terletak di pojokan. Lebarnya sekitar satu meter dan panjangnya lebih kurang lima puluh meter. Karena terletak di pusat pertokoan daerah pecinan, maka selalu terjaga kebersihannya. Pukul sepuluh pagi toko-toko pada buka dan sekitar jam sebelas malam tutup.
Menjelang toko-toko tutup mulai berdatangan sejumlah orang dengan baju kumal, jumlahnya kadang sampai lima belas orang. Ada dua perempuan, yang satu gendut berumur sekitar dua puluh delapan, satunya lagi sangat kurus berusia di atas lima puluh. Selebihnya pria dengan umur yang bervariasi. Pria paling muda berusia dua puluhan dan yang paling tua melampaui tujuh puluhan. Semua mereka membawa gembolan. Ada yang berupa tas kresek hitam besar, dan ada pula tas kain yang sudah sangat kumal. Yang pasti mereka gelandangan dan semuanya merupakan keturunan Tionghoa.
Rupanya teras ini tempat mereka istirahat sampai pagi. Bila tengah malam, duduk dan berkeliaran di sekitar mereka wanita-wanita yang menjajakan diri. Kebanyakan ABG. Di sekitar tempat itu banyak warung kaki lima yang berjualan makanan. Sungguh pusat hiburan yang ramai.
Menurut komandan satpam, mereka bukan gelandangan biasa. Hampir semua masih memiliki rumah tidak jauh dari tempat ini. Semua mereka mengalami gangguan jiwa. Beberapa malah masih satu keluarga. Sang komandan satpam menunjuk wanita muda, lelaki yang berusia tiga puluh tahunan dan bapak tua yang berusia lebih dari enam puluhan itu anak beranak. Dulu lelaki tua itu kaya raya, pengusaha, memiliki banyak toko, kemudian bangkrut karena judi. Sejak saat itu dia jadi sableng, duduk saja di sini tak mau pulang. Tentang mengapa anaknya juga mengalami gangguan jiwa, komandan satpam bilang karena kebanyakan mengkonsumsi alkohol dan narkoba.
Sementara lelaki tua yang rambutnya telah putih semua dan selalu menggunakan kaos kaki yang berbeda warna, diusir anak istrinya karena menghamili pembantu. Ia yang paling tua, usianya lebih dari tujuh puluh tahun. Ada juga lelaki tua lain yang suka ngatur-ngatur mobil keluar masuk sambil teriak-teriak. Ia jadi sableng karena rumahnya terbakar dan istrinya ikut hangus. Meski punya dua anak yang memiliki rumah bagus, ia memilih tinggal di sini bersama dengan teman-teman sejenis.
Jika dilihat sepintas, sulit dipercaya bahwa mereka sakit jiwa alias sableng. Mereka ngobrol seperti kebanyakan orang yang nongkrong di situ. Malah sering mengajak orang lain yang kebetulan duduk di situ ngobrol. Topik yang diobrolin juga macam-macam. Mereka juga terlihat asyik membaca koran. Beberapa malah terlibat perbincangan serius dengan tukang parkir, tukang sapu, dan satpam.
Menurut lelaki paruh baya asal Bogor yang sudah lebih dari dua puluh tahun jualan bubur ayam di tempat itu, mereka itu orang-orang stres yang kadang-kadang kumat gilanya. Ada waktu-waktu kumat, katanya. Kadang tengah malam, sering juga pagi-pagi. Dulu saat pertama mereka muncul sekitar lima tahun lalu memang orang-orang pada kaget dan jadi tontonan. Sekarang semua orang sudah terbiasa, jadi tak ada lagi yang perhatikan mereka.
Perempuan yang muda jika kumat tertawa ngakak dan teriak-teriak. Ia memaki siapa saja yang lewat. Biasanya tidak pernah lama. Setelah kumat ia kembali seperti biasa. Ngobrol-ngobrol dengan orang yang duduk di situ. Sementara lelaki tua yang diduga ayah perempuan itu jika kumat membuka bajunya dan mengucapkan kata-kata makian pada dinding atau tempat sampah dalam bahasa Tionghoa. Tidak pernah dalam bahasa Indonesia. Yang paling sering kumat adalah lelaki yang suka ngatur-ngatur mobil. Ia nantangin satpam atau siapa saja untuk berkelahi. Ia selalu bilang kalau dirinya adalah pendekar naga.
Selebihnya jika kumat biasanya ngomong sendiri. Mbak-mbak yang jualan kopi dan mi instan bilang, seru juga kalu sebagian besar mereka kumat bareng. Lucu dan sangat menghibur. Omongannya aneh-aneh. Ada yang ngaku bila dirinya adalah penjelmaan Budha.
Komandan satpam yang merupakan pensiunan angkatan darat bilang ia tidak mau mengusir mereka karena kasihan. Apalagi beberapa keluraga dari mereka ada yang telah memimta tolong padanya agar ikut menjaga anggota keluarganya tetap dibiarkan di situ agar tidak pergi jauh. Bagusnya mereka sangat manut atau patuh pada komandan satpam ini. Karena itu mereka bisa ikut menjaga kebersihan tempat ini.
Semua mereka menjadi seperti ini karena beragam persoalan hidup yang tak mampu diatasi. Boleh jadi karena persoalan itu memang sangat berat atau kepribadian mereka yang lemah, atau kedua-duanya. Yang pasti semua mereka tadinya adalah orang-orang normal yang memiliki hidup normal. Memiliki keluraga dan usaha untuk hidup normal. Bahkan dari segi ekonomi termasuk di atas rata-rata.
Namun, inilah hidup manusia. Tak seorang pun pernah tahu akan seperti apa hidunya nanti atau besok, minggu depan, bulan depan atau tahun depan. Hidup terus berubah, seringkali kita tak bisa tentukan ke mana arahnya atau akan jadi seperti apa.
Sekarang hidup dalam serba kecukupan. Semua tersedia, dan sehat-sehat saja. Namun, petaka, musibah, penyakit, kebangkrutan, kesialan, kecelakaan, ketakberuntungan bisa tiba-tiba, mendadak sontak menyergap, mirip burung elang yang menyergap anak ayam dari arah yang tak terduga. Inilah hidup kita, manusia.
Betapa sangat rentan hidup kita, manusia. Apapun bisa terjadi, tanpa izin dan tanpa setahu kita. Kapan dan dimana pun. Wajar jika Kansas, sebuah grup band tahun tujuh puluhan bilang kita bagai dust in the wind. Debu yang diterbangkan angin. Tak pernah tahu ke mana arahnya, dan akan sampai dimana.
HIDUP MANUSIA MEMANG SANGAT RENTAN.