Feaby Handana
Kasus ijazah palsu yang melibatkan Kepala Desa Subik, Lampung Utara, Poniran HS, masih ruwet hingga hari ini. Setelah kasus dugaan ijazah palsu milik Poniran itu mencuat, Poniran pun kemudian menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandarlampung. Hasilnya: PTUN Bandarlampung memutuskan bahwa ijazah Paket B yang dimiliki Poniran tidak sah.
Poniran kemudian diberhentikan dari jabatannya. Masalah menjadi ruwet ketika Pemkab Lampung Utara melantik Yahya Pranoto, pesaing Poniran pada Pilkades Subik, sebagai kepala desa pengganti Poniran. Sementara Poniran terus melakukan perlawanan hukum. Makin runyam ketika Kementerian Dalam Negeri menyatakan bahwa pengangkatan Yahya Pranoto tidak sah.
Surat Kementerian Dalam Negeri tentang tidak sahnya pengangkatan Yahya Pranoto sebagai Kepala Desa Subik sudah tiga pekan lamanya diterima oleh Pemkab Lampung Utara. Namun, polemik mengenai hal tersebut hingga kini belum memperlihatkan tanda-tanda akan berujung.
Jangankan menunjukkan tanda ke arah sana, sepotong kata maaf pun tak pernah terlontar dari mulut pejabat di sana. Padahal, publik sangat layak mendengar kata tersebut. Sebab, kegaduhan yang terjadi ini bukan karena salah mereka melainkan salah pemkab sendiri.
Dasar pemikiran publik adalah surat dari Kementerian Dalam Negeri selaku lembaga yang memiliki otoritas tertinggi dalam urusan pemerintahan. Orang-orang yang ada di dalamnya pun bukanlah orang sembarangan atau istilah anak zaman sekarang bukan kaleng-kaleng.
Dengan demikian, setiap keputusan atau pendapat yang mereka keluarkan sudah pasti tak boleh lagi diragukan kebenarannya. Sebab, kajian mendalam yang berpedoman pada aturan tentu telah mereka lakukan sebelumnya. Pun demikian dalam polemik pemberhentian dan pengangkatan Kepala Desa Subik.
Menariknya, apa yang disampaikan oleh mereka sepertinya dibantah mentah-mentah oleh pihak Pemkab Lampung Utara. Mereka tetap ngotot bahwaa pemberhentian atau pengangkatan Kepala Desa Subik yang baru sudah sesuai aturan. Dalih-dalih yang menjadi pembenaran atas terbitnya kebijakan sibuk mereka paparkan. Tujuannya? Apa lagi kalau bukan untuk membenarkan kebijakan yang telah mereka buat.
Sejatinya yang mereka perlihatkan tersebut sah-sah saja. Bahkan, salah rasanya jika mereka tak melakukannya. Sebab, sebagai lembaga pemerintah yang berisikan orang-orang ‘pintar, setiap kebijakan yang mereka buat tentu telah mereka ANGGAP mengacu pada aturan.
Bagi mereka yang jeli dan melihat persoalan ini dari sudut pandang netral, apa yang dilakukan oleh pemkab itu semakin membuat mereka terlihat konyol. Sebab, dengan bantahan itu mereka hendak mengatakan bahwa kepintaran mereka dalam menerjemahkan aturan jauh di atas orang-orang Kemendagri. Padahal, di Kemendagri sana, tak kurang jumlahnya orang-orang yang memiliki gelar yang berderet-deret.
Yang tak kalah konyolnya lagi, pemkab berani menyebut-nyebut bahwa dugaan adanya maladministrasi dalam polemik Kepala Desa Subik sama sekali tidak terbukti. Dasarnya adalah Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan dari Ombudsman Perwakilan Lampung. Belakangan, apa yang disampaikan itu dibantah oleh pihak Ombudsman Lampung.
Menurut mereka, penghentian penanganan persoalan yang dilaporkan oleh mantan Kepala Desa Subik tersebut semata-mata karena terbentur aturan yang ada. Sebab, substansi laporan ternyata sedang berproses di pengadilan. Aturan mewajibkan mereka untuk menghentikan penanganan setiap laporan saat substansi laporan tersebut masuk ke sana atau ke penegak hukum lainnya. Artinya, penghentian persoalan ini murni karena itu dan bukannya karena dugaan maladministrasi tersebut tidak terbukti.
Jika kita mau meluangkan sedikit waktu untuk membaca secara saksama isi LAHP tersebut maka akal sehat kita pasti akan mencium kuatnya aroma dugaan maladministrasi dalam persoalan ini. Pelbagai dugaan maladministrasi itu terendus terjadi jauh sebelum Poniran HS dilengserkan dari kursinya. Kala itu Poniran ditawarkan untuk turun dari posisinya. Sebagai gantinya, ia akan menempati posisi Badan Permusyawaratan Desa/BPD. Posisi yang ditinggalkan, nantinya akan diisi oleh Yahya Pranoto.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2024 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 110 Tentang Badan Permusyawaratan Desa, penawaran itu sepertinya tidak ada. Ada tahapan-tahapan yang harus dilalui. Tidak serta-merta ditawarkan begitu saja seperti itu.
Secara garis besar, isi LAHP menyebutkan bahwa pemberhentian kepala desa lama terlihat bertentangan dengan aturan. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Bandarlampung tidak dapat dijadikan dasar pemberhentian yang bersangkutan. Sebab, putusan PTUN Bandarlampung tidak pernah mengamanatkan untuk mencabut keputusan pengangkatan kepala desa lama.
Selain membahas pemberhentian kepala desa lama, LAHP tersebut juga membahas tentang pengangkatan kepala desa yang baru. Disebutkan bahwa pemkab tidak menggunakan secara utuh peraturan yang mengatur tentang pengangkatan kepala desa. Pelbagai ketentuan mengenai pelaksanaan pemilihan kepala desa antarwaktu banyak yang terlewatkan.
Meskipun mungkin telah secara nyata melakukan kesalahan, publik sepertinya harus memaklumi kengototan yang diperlihatkan pemkab persoalan ini. Mungkin mereka baru menyadari bahwa imbas dari kesalahan ini begitu menakutkan jika masuk ke ranah politis.
Taruhannya bukan main-main. Jabatan bupati dapat melayang begitu saja. Sebab, aturan memang membuka peluang seorang kepala daerah diturunkan dari jabatannya jika kedapatan melanggar aturan. Ketentuan mengenai itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.
Kita semua tentu tidak berharap itu terjadi. Tak adil rasanya bagi bupati harus terkena sanksi gegara itu. Toh, perumusan mengenai kebijakan tersebut bukan datang darinya melainkan dari bawahannya. Pengkajian atau penelahaan dasar hukum setiap kebijakan sudah menjadi tugas bawahannya. Tugasnya hanya mencap dan menandatangani setiap kebijakan yang telah dibuat oleh bawahannya.
Melihat dahsyatnya daya rusak dari polemik ini maka tak ada pilihan lain bagi pemkab selain menyampaikan permohonan maaf pada publik. Maaf atas kegaduhan yang begitu menguras energi percuma. Tentu akan lebih bijaksana lagi jika mereka mau melakukan pemberhentian kepala desa yang baru itu.
Jika semua itu telah dilakukan, publik rasanya tidak akan menarik-narik persoalan ini ke arah yang lebih jauh. Mereka lebih menghargai sikap kesatria seperti itu ketimbang sikap ‘pengecut’ yang dikemas dengan kata-kata indah. Efek dominonya bisa jadi mereka akan siap berada di sisi pemerintah jika memang masih ada pihak yang mencoba menarik persoalan ini untuk menjungkalkan bupati dari singasananya.