Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu Ilmu Sosial di FKIP Unila
Dalam peringatan Hari Guru Nasional (HGN) ke-76 tahun 2021, Direktorat Lalu Lintas (Ditlantas) Polda Lampung bersama Jajaran (Satlantas) menyambangi sejumlah siswa dan siswi serta dewan guru di Pulau Harimau tepatnya di SDN 5 Sumur, Kecamatan Ketapang, Lampung Selatan, Kamis (25/11/2021). Selain melakukan kunjungan, Ditlantas polda Lampung dan Jajaran memberikan bantuan berbagai perlengkapan sekolah seperti alat tulis dan sembako serta uang tunai untuk dewan guru. Bantuan tersebut, diserahkan langsung Wakil Direktur Lalu lintas (Wadirlantas) Polda Lampung, AKBP M. Ali didampingi Kasatlantas Polres Lamsel, AKP Edwin dan Kasat Pol Air Polres Lamsel Ipda Fahrul Arif.
Membaca kutipan tulisan berita di media online yang kita cintai ini beberapa hari lalu saat diperingatinya Hari Guru Nasional yang ke 76; perasaan haru membuncah, bagaimana tersanjungnya Guru mendapatkan perhatian yang begitu besar dari kesatuan Kepolisian Republik Indonesia. Atas nama profesi dan pribadi hanya sanjungan “terimakasih” yang bisa terucap, semoga semua menjadi amal ibadah yang diganjar berlipat oleh Sang Khalik.
Ada guyonan teman bagaimana seorang Polisi Lalu Lintas menangkap seorang guru yang lupa memakai pelindung kepala saat mengendari kendaraan, karena terburuburu kesiangan menuju Sekolah. Sang Polisi dengan arief memerintahkan pak guru untuk menulis pada selembar kertas dengan kalimat “saya tidak akan mengulangi lagi” sampai penuh kertas itu. Lelucon ini menggambarkan bagaimana hormatnya petugas tadi kepada pak guru yang harus sigap menuju kelasnya karena kesiangan, namun aturan akan pelanggaran tetap dijalankan.
Guru dan polisi adalah dua profesi “layanan” kepada masyarakat yang serupa tetapi tak sama. Serupa; karena menghadapi resiko yang sama beratnya saat menegakkan aturan. Jika guru dan polisi terlalu lunak dalam menegakkan aturan, akan mendapatkan cemoohan dari masyarakat sebgai “tidak berwibawa”; jika tegas menegakkan aturan mendapatkan cap “kejam”. Sehingga, tidak jarang kedua profesi ini menjadi bahan olok olokan masyarakat jika tidak bisa “memenuhi” selera masyarakat.
Bedanya, jika guru melakukan kesalahan, maka kesalhan itu akan bergenerasi, terus mengalir sampai jauh. Sementara kalau pak Polisi jika melakukan kesalahan, maka kesalahan itu akan berhenti pada kesatuannya. Oleh karena itu, kedua profesi ini orang orangnya akan selalu berupaya untuk mencapai “nol kesalahan”. Namun hal itu tidak mungkin terjadi, mengingat kesempurnaan manusia itu justru ada pada kealpaannya.
Sisi lain kedua profesi ini jadi sumber belajar, yang Guru sumber belajar formal, sementara Pak Polisi sumber belajar nonformal. Oleh karena itu berlaku hukum: Guru tidak bisa jadi polisi, sementara Pak Polisi bisa jadi guru. Namun pengertian “guru” dimaksud dalam koteks ini berpengertian sangat luas, bukan berarti hanya masuk kelas, tetapi lebih kepada pemberian “edukasi” kepada masyarakat.
Demikian halnya guru, jika bertindak keras dan otoriter, seperti misalnya Guru BK yang berdiri di pintu masuk sekolah guna memberi tindakan anak anak yang tidak disiplin, maka sebenarnya Guru ini sedang berperan sebagai “Polisi Sekolah”; dan sejauh itu pada koridor dedaktik-metodik pembelajaran, maka hal itu sah sah saja. Hanya saja apakah di era milenial sekarang metoda itu masih relevan? Itu menjadi persoalan. Sama halnya Bapak Polisi yang sedang mengatur lalu lintas, ada masyarakat yang bandel menerobos saja diketiak Pak Polisi; ketidaaksopansantunan ini menjadikan Pak Polisi geleng geleng kepala; karena jika diberi teguran, bukan berterimakasih, malah marah duluan ketimbang polisinya.
Tampaknya Polisi dan Pak Guru adalah profesi garda depan yang harus menanggung langsung gejolak masyarakat, terutama pada masa puncak pandemi kemarin. Bisa dibayangkan kepusingan guru harus mendadak mengubah strategi pembelajaran dari tatap muka ke daring. Belum lagi penguasaan akan teknik penggunaan media sosial dengan pengalihan ke media pembelajaran.
Demikian halnya juga polisi; karena tugasnya harus berada pada garis depan dalam penanganan Covid-19, akibatnya berapa banyak dari mereka harus menjadi korban keganasan virus, itu sebagai bagian kecil dari contoh tugas mereka. Jika ingin dirinci tugas tugas itu tidak cukup halaman untuk menulisnya. Namun ada satu titik kesamaan dari kedua profesi ini yaitu “memanusiakan manusia, agar tetap menjadi manusia” sehingga tidak menyalahi kodratnya.
Bergandengnya tangan antara polisi dan guru adalah suatu keniscayaan; oleh karena iru saling bahumembahu memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, adalah sesuatu keharusan. Selamat Hari Guru ke 76, dan terimakasih Pak Polisi telah menjadi mitra membangun negeri.***